Sua kedua tanpa kata

21 4 0
                                    

“Jadi, kemarin Bian diomelin sama si Popon, gara-gara telat nyerahin revisian tugas pak Banar. Makanya hari ini, tu anak ngelembur di perpustakaan.”

Lelaki berwajah tegas itu menyeletuk, lalu menyendok kuah pangsit super pedasnya dengan lahap kedalam mulut.

Makan siang di kantin menjadi pilihan alternatif Gagat setelah berdiskusi panjang dengan ketiga teman sejawatnya-Danang, Cakra, Nata. Dikarenakan Bian, yang tengah menjadi bahan pembicaraan, menitahkan mereka berempat untuk menunggunya membuat revisi tugas kelompok.

Sebenarnya sih, Bian menyuruh mereka untuk menunggu di perpustakaan, namun keempatnya kompak menolak dengan keras.

Berdalih perut keroncongan, Danang, Cakra, Nata, dan juga Gagat akan menunggu Bian di kantin kampus saja. Menjauh dari tempat laknat seperti perpustakaan merupakan pilihan yang di rasa paling tepat bagi keempat sekawan itu.

Meskipun harus mengorbankan uang mereka untuk makan di kantin kampus dengan porsi sedikit namun harga selangit.

Dan jika sudah seperti itu, Bian tak memiliki pilihan selain mengiyakan saja dirinya untuk ditinggal sendirian bersama si Popon-wanita berwajah galak, di perpustakaan. Disaat-saat seperti ini, Bian kerap meragukan kesetiaan keempat kawannya itu.

“Ya lagian, udah tau si Popon paling anti sama yang namanya revisi, eh tu anak masih aja buat tugas asal-asalan. Akhirnya sekarang kena batunya kan. Mana tugas pak Banar lagi.” Yang barusan bicara itu Nata, lelaki asli Jakarta dengan rambut lurus gondrong yang menjadi ciri khasnya.

“Itulah bukti ketololan seorang Bian.” Gagat ikut menimpali.

“Nah itu, tololnya udah mendarah daging.” Danang, si lelaki Sunda turut ikut serta.

“Emang si Popon kui sopo to?”

Dan secara tiba-tiba, suara berat dengan logat Jawa kental terdengar. Berhasil mengambil seluruh atensi ketiga pemuda yang duduk di kursi panjang samping kanan dan kirinya.

Seriously, lo kagak tau si Popon itu siapa?” Nata terlihat geram dengan kelemotan satu temannya ini. Sedangkan yang di tanya-Cakra, menggelengkan santai kepalanya.

“Itu, si Vonia. Cewek tinggi yang mukanya cenderung mirip Medusa.” Danang mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Cakra, di karenakan air muka Nata yang sudah terlihat ingin memakan temannya hidup-hidup.

Sing endi to? Jenenge apik, kok di celok Popon?” Lagi-lagi Cakra berhasil membangkitkan sisi lain Nata.

“Wah sumpah ya Kro, kalau ngejedugin kepala lo ke meja kantin itu dihalalkan, udah gue jedugin berulang kali ampe bocor tu kepala. Biar rada’ encer dikit gitu peredaran darah di kepala lo. Biar lemot lo ilang!”

Keluar sudah sisi lain seorang Nata. Nataraja Prastio Wijaya yang terkenal dengan temprament serta mulut berisi umpatan kala emosi mulai merajai.

Salahkan sendiri si Cakra, sudah tau satu temannya itu sulit mengendalikan emosi, malah memancing emosi.

Tapi, Cakra kan hanya manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan dosa? Jadi wajar saja dong jika Cakra bertanya?

Ah, entahlah semesta. Bagaimana bisa ceritanya perkumpulan pemuda tak tahu arah ini bisa terbentuk. Apakah saat itu bumi serta langit sedang tak akur? Sampai-sampai lengah membiarkan lima orang pemuda kurang akal ini bertemu?

Namun, selengah-lengahnya semesta tak mungkin membiarkan kelimanya terjun ke arah lembah tak berguna begitu saja. Tenang saja, semesta masih menyelipkan sedikit otak kok kepada salah satu dari lima pemuda itu.

Siapa? Tentu saja, Gagat Sangajineru.

Maka dari itu, sebelum penghuni kantin lainnya merasa terganggu, Gagat yang sedaritadi memilih diam sambil menikmati pangsit pedas kesukaannya, kini menghentikan sejenak aktivitas mengisi perut lalu beralih menatap ke arah Nata dan juga Cakra yang berada di samping kanannya.

“Lo berdua kalau mau ribut mending pindah tempat aja deh. Ini gue sama Danang masih belum kelar makan.”

Kedua temannya itu seketika diam, setelah mendengar Gagat berujar kelewat tenang.

Mereka tahu, jika Gagat yang biasanya makan dengan tenang tanpa merasa terganggu saat mereka ribut, namun kini bersuara dengan nada kelewat tenang, itu sama saja dengan artinya, “lo berdua kalau masih mau nelan makanan pakai tenggorokan, mendingan diam!”

Jadi, lebih baik menghindar dari segala kemungkinan yang merugikan bukan?

Dan kini, suasana sudah kembali kondusif, meskipun Nata masih terlihat sewot dengan Cakra yang terlihat biasa saja. Cakra tak merasa bersalah telah memancing emosi Nata, jadi kenapa harus marah?

“Ekm, ini teh kita mau nungguin Bian sampai kelar tugas?”

Danang membuka suara. Lelaki berdarah Sunda itu berusaha mencairkan suasana yang sempat mencekam.

Lagian, Danang juga heran, mengapa hari ini Nata sensitif sekali? Nata masihlah seorang lelaki tulen kan?

“Gue ngikut aja.” Nata menjawab singkat. Nampaknya ia lelah sehabis melakukan sesi pisuh-memisuh batin tadi.

“Mau langsung ke studio? Mengko Bian nggolek’i piye?” Cakra berujar santai, sembari menikmati jus jeruk Kalamansi kesukaannya.

Terkadang keempat temannya itu heran, melihat Cakra hobi sekali dengan buah yang memiliki rasa cenderung kecut itu. Terlebih Gagat, tiap melihat Cakra begitu menikmati olahan dari jeruk itu, ia malah bergidik ngeri.

“Bian peka orangnya Kro, ntar tu anak pasti ngerti kalau kita langsung cabut ke studio. Lagian gue juga males lama-lamaan di kantin.”

Gagat yang sedari tadi asik memainkan ponsel jadulnya beranjak berdiri, berjalan menuju kedai. Bermaksud membayar seluruh makanan serta minuman yang telah dilahap habis ketiga temannya, termasuk dirinya sendiri.

“Bang, pangsitnya empat, jus Kalamansi satu, teh hangat dua, sama kopi satu, berapa?” Gagat terlihat melonggok kan kepalanya ke arah abang-abang yang sedang terlihat sibuk meramu pangsit.

“Tujuh puluh satu ribu, Mas.” Si Abang menjawab sembari menatap Gagat, namun tangannya tetap cekatan memasukkan rebusan sawi ke dalam mangkuk.

“Kagak ada duit pas, pas-passin aja dah ya, Bang. Makasih, Bang.”

Belum sempat si Abang menjawab, Gagat sudah memutar badan. Namun pergerakan kakinya tiba-tiba terhenti, selepas mendengar protes yang aneh baginya.

“Maaf Bang, ini pesanan saya salah. Abang ngasihnya yang pakai bumbu lengkap, saya maunya bening, sama daun seledrinya di lebihin, Bang.”

Kedua netra Gagat menangkap presensi seorang gadis di sampingnya, sedang meletetakkan nampan berisikan semangkuk bakso dengan racikan bumbu lengkap.

Sejujurnya, Gagat tak merasa terganggu. Sungguh. Hanya saja, setelah si gadis menuturkan supaya si Abang mengganti pesanan dengan bakso kuah bening, serta daun seledri yang biasanya Gagat hindari, malah meminta porsi lebih?

Bukankah daun seledri akan terasa banger jika dimakan dalam porsi lebih ya?

Sebentar, apakah barusan Gagat menghentikan langkah hanya untuk sekedar memikirkan keanehan dari selera makan si gadis? Yang benar saja!

Ada apa dengan Gagat? Apa urusannya sampai memikirkan hal seperti itu?

Dan tak ingin berlama di sana, Gagat lanjut mengayunkan kaki menuju ke arah ketiga temannya yang sudah berdiri, terlihat menunggu Gagat, sembari melupakan kejadian yang membuat dirinya merasa aneh sendiri.

Gagat, aneh.

-----

Si Gagat teh kunaon?

Dear LeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang