Di balik pintu berwarna cokelat, terdapat dua wanita yang saling terdiam mengisi kesunyian. Ditemani dengan sebuah kotak berwarna putih berlambang tanda plus merah, keduanya masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lea dengan perban di tangan yang sedang berusaha menutupi luka di kaki kanan ibun, serta ibun sendiri dengan pikiran yang menerawang sembari memandangi wajah ayu putri kesayangannya.
BRAK.
Ibun terkesiap, kembali tersadar dari lamunan panjang tak berkesudahan miliknya. Mata ibun beralih dari wajah Lea yang kini sedang menatap beliau dengan sorot mata ingin tahu, lalu beralih ke arah kotak putih yang barusan Lea letakkan di atas nakas, dan kembali lagi pada wajah ayu anaknya.
Dari tatapan mata itu, ibun paham bahwa anak gadisnya ini tengah bertanya perihal kejadian siang tadi tanpa suara. Ibun paham dengan Lea yang malas mengeluarkan suara, sekedar untuk bertanya segala hal yang berkaitan dengan sang ayah.
Ibun paham. Sangat paham.
Namun kini, ibun lebih baik memilih diam. Ibun tak ingin memperkeruh suasana dengan membeberkan masalah yang terjadi antara beliau dengan suaminya. Yang ibun pastikan akan menambah daftar ketidakterimaan Lea terhadap ayahnya.
Sudah cukup Lea anaknya, yang tak pernah bersuara di depan suaminya. Sudah cukup dengan Lea yang tak pernah mau mencium tangan suaminya, ketika Lea hendak berangkat kuliah. Ibun, tak ingin hubungan anak dan suaminya bertambah kacau. Ibun tak ingin itu terjadi.
Tidak lagi.
Maka dari itu, ibun memilih diam. Sebab tak tahu juga, bagaimana cara beliau menjelaskan kepada anaknya ini. Yang pasti, ibun hanya berniat tak ingin memperkeruh suasana dengan memberitahukan penyebab suaminya memukul beliau siang tadi.
Sedangkan Lea yang kini melihat ibun menunduk, merasa kalah.
“Kenapa Ibun ribut lagi sama ayah?”
Lea bertanya dengan nada suara lembut, meskipun sebenarnya ia masih belum bisa meredam amarah yang bercokol di kepalanya. Namun, ibun masih tetap tak menjawab, hanya diam dan kembali menunduk. Lea menghela napas, berusaha sabar.
Lea paham dengan keadaan ibun yang tak ingin membicarakan masalah penyebab ributnya beliau dengan suaminya. Lea paham, hanya saja, lama-kelamaan Lea jengah.
Ia lelah menghadapi situasi seperti ini. Dimana ia diharuskan melihat berbagai luka serta memar ditiap inci tubuh bundanya. Lea lelah, sungguh lelah.
Hatinya sakit tiap mendengar suara lantang ayahnya memaki ibun tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Lea tak ingin ikut campur, namun jika dibiarkan lama-kelamaan tangan ayahnya akan mendarat tepat di pipi ibun ataupun di bagian tubuh ibun yang lain.
Lea menghela napas untuk yang kedua kalinya. Kembali bertanya dengan tujuan yang sama. Mengetahui penyebab sang bunda dipukul oleh ayahnya.
“Bun, Lea tahu kalau Ibun nggak ngebolehin Lea ikut campur masalah Ibun. Lagian, sebenarnya Lea juga nggak mau peduli dengan ayah. Tapi, tiap Lea lihat Ibun diteriakin apalagi sampai dipukul sama ayah, Lea sakit Bun. Lea ngerasa kalau Lea sebagai anak selama ini nggak berguna sama sekali.”
Oke, Lea lemah. Buktinya, kini air matanya mengalir begitu saja tanpa diperintah. Padahal ia sudah ber-amanah pada sang mata, untuk jangan pernah mengeluarkan air dari sana dihadapan sang bunda.
Namun kini, lihat apa yang terjadi? Matanya menolak berkompromi.
“Ayah nggak marah nak. Ayah cuma lagi banyak masalah.” Ibun akhirnya bersuara. Tangan ibun mengusap lembut pipi kiri Lea yang masih terlihat merah.
“Dari dulu Ibun selalu bilang gitu ke Lea.”
Ibun kembali tak bersuara. Beliau menatap tepat ke arah manik hitam tinta berkaca milik putrinya. Terlihat titik air yang masih menghiasi sudut mata Lea di sana.
“Lea ngerasa Ibun selalu ngebela ayah di depan Lea. Lea ngerti kenapa Ibun ngelakuin itu, tapi, Lea nggak bisa terus-terusan lihat Ibun dipukul ayah.”
“Beliau itu ayah Lea. Ibun tahu, pasti Lea ngerti, kenapa Ibun nggak pernah suka kalau Lea balas marah atau bentak ayah. Ibun nggak pernah ngajarin buat ngelakuin itu.”
“Tapi Bun, Ibun tau kalau sikap ayah makin kelewatan akhir-akhir ini? Ayah selalu bentak Ibun tiap pagi, dan itulah alasan Lea ngajak Ibun untuk tinggal di rumah nenek. Lea, nggak bisa diam terus, Bun.”
Makin runtuh saja pertahanan Lea. Suaranya bergetar terisak, air mata yang dengan tidak tahu malunya keluar begitu saja. Lea, merasa lemah tiap kali menangis di depan ibun. Lea, merasa tak berguna.
Bagaimana ingin melindungi ibun, jika menahan air matanya saja ia tak bisa? Ah semesta, mengapa Lea selemah ini?
“Maafin Ibun, Nak. Maafin Ibun.”
Ibun menarik tubuh Lea ke dalam pelukannya. Pelukan yang selalu hangat, mengalahkan perapian yang di bakar, bahkan berlapis-lapis selimut tebal di rumahnya.
Lea, menyukai ini, sungguh menyukainya. Tak ada hal lain yang Lea harapkan untuk bisa menenangkan dirinya dikala hancur. Cukup pelukan dari tubuh ringkih ibun, yang nyatanya selalu berhasil menghilangkan getaran di tubuhnya akibat menangis terlalu hebat.
“Bukan salah Ibun. Ini semua bukan salah Ibun.”
Perlahan namun pasti, Lea menepuk halus punggung ibun. Mengembalikan ketenangan dari sana, yang tadinya ibun berikan kepada Lea. Dan kini, dua wanita berjarak beberapa dekade itu diam-diam saling tersenyum. Bersyukur kepada Tuhan, karena sungguh, manusia yang berada di dalam pelukannya ini merupakan harta paling berharga, yang Tuhan titipkan kepada mereka.
Mereka bersyukur.
Hanya itu.
-----
Hi! I'm back!
Bagaimana kabar kalian?
Masih ingat saya kan?