Studio Enam Hari adalah tempat favorit Gagat setelah rumah, terutama kamar kesayangannya, yang bahkan menggeser posisi Waroeng Kampoeng yang dulunya berada pada urutan teratas. Gagat sangat menyukai suasana di sini. Pencahayaan ruangan yang bisa diatur, serta AC yang senantiasa membantunya menghilangkan panas kala sampai setelah seharian belajar di kampus.Selain itu, biaya sewa studio ini tak terlalu mahal, sebab Gagat mengenal pemiliknya, lantaran si pemilik yang tak lain dan tak bukan adalah teman lesnya dulu.
Orang bilang dunia itu sempit, dan Gagat percaya akan hal itu. Ia kembali dipertemukan setelah Gagat dan keempat temannya mengisi acara disalah satu cafe, yang ternyata adalah kakak dari temannya itu. Dari situlah, awal mula Gagat memilih studio Enam Hari sebagai tempat favoritnya.
“Ah sial!” teriakan Nata berhasil mengembalikan Gagat ke dunia nyata, setelah sesi mengenang kenangan empat tahun lalu.
“Kunaon Maneh, Nat? Kesurupan?” belum sempat Gagat bertanya, suara Danang lebih dulu menginterupsi.
“Biasa, paling juga kalah main game tuh anak.” Ujar Bian yang terlihat sedang memainkan senar Bassnya.
“Eh, lo pada laper nggak? Jajan depanlah.” Nata beranjak dari duduknya, mendekati Gagat yang tengah asik memandangi ponsel jadulnya. Heran, dari ponsel berantena seperti itu, Gagat bisa apa selain telpon dan sms? Oke, hiperbola.
“Ya terus ngapain lo ngedeketin gue?” Ujar Gagat tenang.
“Dompet gue ketinggalan, gara-gara si Cokro ngasih tau dadakan. Gue lagi asik molor, dia dateng kerumah buat ngingetin kalo hari ini kita latihan.”
“Eh sontoloyo, sampeyan kalo ndak diingetin mana inget?” Sahut Cakra tak terima.
“Yaudah, lo pada mau apaan?” Gagat berujar sembari berdiri tegak, menjatuhkan pandangan kepada empat temannya. “Yang biasa Gat, sama es teh kayaknya enak dah.”
“Ett dah, bener-bener nggak tau diri ni anak.” Bian melempar nyaris melempar Bassnya jika ia tak ingat bahwa harganya yang lumayan.
“Gue cabut.” Gagat melenggang pergi, meninggalkan keempat temannya yang asik dengan aktivitasnya sendiri-sendiri.
Terkadang Gagat heran, kenapa ia selalu rela mengorbankan diri sebagai pesuruh dadakan? Padahal masih ada Cakra yang biasanya akan menurut jika disuruh.
Jika ditanya, mengapa Gagat bersedia ialah, sebab memang diantara keempat temannya, Gagatlah yang paling muda. Mungkin karena itulah mengapa Gagat tak marah jika ia disuruh-suruh seperti ini contohnya. Definisi adik yang baik, mungkin?
Wajar saja, Gagat masih muda atau keempat temannya itu yang sudah tua?
Tak masalah, yang penting kehadiran mereka berempat didalam kehidupan Gagat telah membawa banyak perubahan pada dirinya.
Nata, Bian, Danang dan Cakra telah berhasil menarik Gagat keluar dari lembah hitam. Ketika Gagat hampir tenggelam, mereka mengulurkan tangan, menarik Gagat agar kembali kepermukaan.
Gagat, amat sangat bersyukur akan hal itu. Setidaknya, Tuhan masih memberinya waktu untuk sekedar kembali mengerti makna hidup yang sesungguhnya. Menyadarkannya, bahwa hidup tak melulu tentang bahagia. Sebab derita, selalu menjadi teman berjalannya waktu sampai batas akhir milik manusia.
Tak ada manusia yang bisa memilih takdirnya sendiri. Tak ada manusia yang bisa mencegah derita untuk datang kepadanya. Tak ada tenang yang selalu setia menemaninya. Dan, tak ada yang rela bahagianya direnggut begitu saja oleh semesta.
Dulu, Gagat tak rela saat semesta mengambil hangat berharganya secara paksa. Dulu, Gagat tak rela saat tawa renyah rendah kesukaannya pergi begitu saja. Dulu, Gagat tak rela tatapan teduh favoritnya itu menutup tanpa bicara. Dan sekarang, Gagat masih tak rela saat senyum indah milik guru kehidupannya itu berubah menjadi kelabu.
-----
Hola!
Apa kabar kalian semua? Senantiasa baik saja, kan? Sebab pandemi yang sampai saat ini belum bisa di basmi, mari jaga diri juga mereka yang ada di sekitar kita.
Senantiasa pakai masker juga jaga jarak yaa.Salam, pejuang kebahagiaan!
Adios!