Sebuah motor berwarna hitam terparkir rapi di depan rumah bercat hijau yang berhiaskan berbagai jenis tanaman hias berwarna-warni. Tertata rapi di pekarangan rumah, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasakan suasana rumah yang begitu indah dan asri.Pemuda itu turun dari motor, setelah melepas helm full-face berwarna biru miliknya. Terlihat kini ia sedang berusaha melepaskan kantong plastik berwarna pink yang tergantung apik di stang motor. Dan setelah terlepas, ia berjalan dengan senyum yang terpatri manis.
"Abang pulang!"
Suara baritonnya terdengar dengan jelas, mengabarkan kepada seluruh penghuni rumah perihal kedatangannya. Namun, bukannya sahutan yang ia dapatkan, melainkan kesunyian yang terasa jelas.
"Ma?"
Kaki jenjangnya menjelajah ruang keluarga bernuansa violet, beraromakan lavender, menuju dapur guna memastikan bahwa rumahnya tidak benar-benar ditinggalkan dalam keadaan sepi.
"Mama di dapur, Bang!"
Terdengar suara wanita dari arah dapur yang membuat pemuda itu memacu kakinya dengan kecepatan maksimal. Setelah sampai di dapur, manik hitamnya menangkap presensi sang Mama yang terlihat menghadap wastafel, dengan keran air yang menyala.
"Sore, Ma! Chuu." Si pemuda dengan tidak tau malunya mencium pipi sang Mama, membuat waita paruh baya itu berjingkat kaget.
"Abang! Sehari aja nggak ngagetin Mama bisa nggak sih? Heran." Mendengar omelan itu, bukannya merasa bersalah, si pemuda malah tersenyum manis, nyaris menghilangkan bola matanya.
"Ehee, Nia mana, Ma?"
"Itu, di kamar. Baru selesai mandi." Mama menjawab pertayaan Gagat, dengan mata tetap berfokus pada apa yang sedang dilakukan oleh kedua tangannya.
"Mandi? Kok sore banget, Ma?" Gagat mengernyit heran.
"Iya, tadi diajakin sama Gendis jalan-jalan sebentar." Mendengar nama yang familiar, Gagat mengangkat wajah, memasang ekspresi tak suka.
"Kenapa Mama izinin? Abang nggak suka Nia pergi keluar selain sama Mama atau Abang." Manik hitamnya mengikuti kemana Mama bergerak, menjauhi wastafel, menuju lemari pendingin.
"Mama nggak bisa nolak, Bang, Gendis jauh-jauh kesini cuma mau nemenin Nia jalan-jalan. Lagian Gendis ke sini nggak sendiri kok, dia datang sama maminya."
"Tapi kan Ma-," Gagat terlihat keberatan.
"Ini yakin Abang masih mau bahas Gendis terus? Mending sekarang Abang naik gih. Temenin Nia." Mendengar titah sang mama, Gagat memutuskan untuk beranjak dari duduknya, tak lupa dengan plastik pink titipan sang adik.
"Abang naik, Ma."
Pemuda berumur 22 tahun itu terlihat menjauh, menaiki tangga perlahan. Menapaki setiap langkahnya dengan bahagia.
Saat ini, ia merasa rindu. Rindu pada gadis kecilnya yang manis. Padahal Gagat hanya tidak di rumah jika kuliah, latihan di studio Enam Hari, menemani Nia berjalan-jalan ataupun chek up dan tak lupa menjadi ojek dadakan sang Mama kemanapun dan kapanpun beliau ingin. Iya, kegiatan seorang Gagat hanya akan berputar-putar di situ saja. Membosankan memang.
Tapi tak apa, Gagat bahagia dengan itu semua. Setidaknya ia bisa melakukan hal-hal kecil membahagiakan untuk dua wanita yang paling berharga dihidupnya. Gagat, mencintai keduanya.
Amat-sangat mencintainya.
TOK-TOK-TOK.
"Princess! Abang pulang!" Gagat membawa tubuhnya memasuki sebuah ruangan dengan nuansa biru tersebut.
"Abang!!"
Gagat tersentak. Dengan cepat maniknya menangkap gadis kecil kesayangannya tengah berbaring di ranjang yang juga berwarna biru, bertemankan boneka putih berhidung wortel favoritnya-Olaf.
"Hai Princess! Lihat Abang bawa apa?" Gagat mengangkat plastik berwarna pink yang tersangkut di tangan kirinya.
"Wah! Donat!!" Tangan kecil Adiknya terangkat kearah Gagat, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tak sabar ingin menggapai barang bawaan sang Abang.
"Donat dari toko Tante Vivi, sesuai pesanan Princess!"
"Abang terbaik pokoknya. Nia sayang Abang!" Nia merangkum tubuh kekar Abangnya erat, meski kesulitan ia tetap berusaha, sebab tangan kecilnya hanya dapat melingkari setengah tubuh Gagat.
"Nggak usah dikasih tau juga Abang tau kok." Gagat tak tinggal diam. Tangannya merangkum balik tubuh mungil Nia, serta mengusap lembut rambut pendek adiknya itu, sekaligus menghirup aroma sabun buah strawberry yang menguar dari tubuh Nia.
"Eum, Bang?" Nia menarik tubuh, kepalanya mendongak, menatap wajah Gagat yang berada jauh di atas kepalanya.
"Kenapa Princess?"
"Tadi mbak Gendis nemenin Nia jalan-jalan. Terus Nia dibeliin buah strawberry sama smoothienya sekalian. Terus Mbak Gendis nanyain Abang, katanya Nia tau nggak siapa yang lagi dekat sama Abang. Ya Nia jawab aja nggak tau. Terus mbak Gendis bilang kalau Nia harus tau, makanya Nia mau tanya ke Abang, Abang lagi dekat sama siapa? Kok Nia harus tau Bang?"
Mendengar pertanyaan beruntun yang dituturkan adiknya, Gagat sukses dibuat bingung dengan bagaimana cara menjawabnya. Bagaimana anak sekecil Nia bisa mencercanya dengan pertanyaan seperti itu?
Dan Gagat semakin yakin, bahwa kehadiran Gendis sore ini membawa pengaruh buruk bagi adiknya. Jika Gendis ingin tau, mengapa tak bertanya langsung saja padanya? Tak perlu mengikut sertakan anak kecil bukan?
"Maksudnya mbak Gendis bilang kalau Nia harus tau itu, biar Nia kenal semua temen Abang siapa aja. Masa Nia nggak tau yang dekat sama Abang siapa?" Gagat memperhatikan mata Nia yang mengerjap lucu.
"Oh gitu ya, Bang? Nia tau dong siapa yang deket sama Abang! Kak Nata, Bian, Cakra sama Danang? Nia bener kan, Bang?"
"Nia memang yang paling pintar deh!" Gagat kembali menarik tubuh mungil Nia ke dalam pelukannya, sedangkan Nia hanya terkikik bahagia yang suaranya teredam oleh dada bidang Gagat. Dan setelah Nia berhenti tertawa, suasana kamar Nia menjadi hening.
"Abang? Kemarin Nia nggak sengaja dengar mama sama tante Cici ngomongin kalau kemungkinan peluang Nia untuk pergi semakin besar, tapi mama diam aja. Memangnya kalau Nia pergi kenapa, Bang? Kan, setiap Nia pergi selalu sama mama."
Gerakan tangan Gagat di atas kepala Nia berhenti. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa kering, degub jantungnya tak beraturan, dan pikirannya sudah mulai berkelana kemana-mana.
Segala kemungkinan yang selalu Gagat pikirkan akhir-akhir ini benar-benar terjadi. Perihal dirinya yang masih belum siap menerima jikalau adiknya bertanya macam-macam seperti ini. Gagat menjadi resah.
"Ohh, mungkin mama sama tante Cici sedang ngobrolin Nia buat pergi liburan kerumah nenek akhir tahun nanti. Dan, kenapa mama diam- ah! Mungkin mama juga masih bingung mau liburan ke rumah nenek atau oma, makanya Mama diam aja."
Mendengar penjelasan Gagat, kepala Nia mengangguk-angguk seolah benar-benar paham akan apa yang dibicarakan oleh abangnya itu.
Dan disini, Gagat kembali berpikir. Apakah ia benar-benar rela? Apakah ia benar-benar siap?
Gagat, resah.
-----
Hi! Bagaimana kabar kalian?
Bahagia dong ya pastinya.
Iya, memang harus bahagia, nggak boleh sedih-sedihan!
Salam sayang!