Kuminta dia, bisakah?

19 4 0
                                    

Bersama hamparan luas berwarna jingga di cakrawala, serta bunyi deburan ombak yang tak pernah absen menyapa rungu, gadis itu terduduk seorang diri, terlampau menikmati suasana ditengah keramaian yang tetap terasa sepi.

Bukan, bukan sepi. Nyatanya, memang gadis itu itulah yang memilih menjauh dari jangkauan teriakan kebahagiaan.

Begitu banyak lontaran kebahagiaan yang ia dapatkan sore ini. Sampai-sampai ia berharap untuk segera menghilang dari sana. Berharapnya sih begitu, tapi ia tak bisa, mengingat beberapa tuntutan yang memang seharusnya cepat diselesaikan.

Tangan si gadis terlihat lihai menari-nari di atas papan ketik dengan indahnya. Seolah telah benar-benar ahli dengan apa yang sedang dikerjakan.

Ia mengeluarkan apa-apa saja dari kepalanya dengan terus mengetik tanpa henti, walaupun sesekali si gadis memberi jeda dengan menyesap teh hangat yang memang sengaja ia ikut sertakan di dalam termos kecil pemberian sang bunda.

“Buku ini memang banyak menyimpan berbagai teka-teki yang sekilas nampak mustahil untuk dipecahkan. Agaknya, si penulis sedang berusaha mengajak para pembaca untuk bermain sebentar, dengan cara mengetahui apa makna sebenarnya dibalik kalimat yang tertuang apik dalam tiap paragrafnya.”

Begitu sekiranya yang berhasil ia tuliskan ke dalam lembaran kertas elektronik kosong yang berada di hadapannya.

Si gadis kembali mengambil jeda, seraya tangan kanan mungilnya bergerak merayap di meja kayu bulat yang saat ini sedang ia tempati. Mencari ponsel berwarna hitam yang merupakan hasil kerja tangannya sendiri.

17:40.

Menghela napas panjang, tak sadar jika sudah hampir 2 jam ia habiskan dengan duduk sendirian di pinggiran pantai bertemankan laptop serta segala hal yang tak menyenangkan. Lelah, lesu, lapar.

Sepertinya Lea memang harus secepatnya sampai di rumah sebelum hari semakin larut. Sebab tak mungkin ia berhasil menemukan angkutan umum yang masih beroperasi jika malam dingin lebih mendominasi. Orang akan malas keluar rumah, dan angkutan umum lebih memilih rehat lebih awal.

Akhirnya Lea memutuskan untuk beranjak dari duduknya. Sembari membawa ransel hitam kesayangannya setelah dikira tak ada lagi barang yang tertinggal di meja sana. Dengan langkah santai, Lea meniti jalan pinggiran pantai.

Dilihatnya masih banyak orang yang berlalu lalang, entah lari santai, ataupun bersepeda. Lea menangkap kebahagian dari sana. Sudut bibir Lea terangkat sedikit, menandakan bahwa hatinya turut ikut merasakan bahagia di sana.

Namun tak lama, rasa getir kian menyelimuti. Dan secara perlahan senyum bahagia itu berubah menjadi miris, ditujukan untuk dirinya sendiri.

Drrrtt..drrttt..

Ponsel yang berada di dalam saku hoodie Lea bergetar lama, menandakan adanya panggilan masuk dari sana. Dan kini, terlihat tangan Lea dengan tanggap mengangkat ponselnya ke arah telinga.

“Iya Bun? Lea masih di jalan, baru mau pul-, iya nanti Lea mampir ke apotek, Nek.”

Setelahnya, panggilan diputus secara sepihak. Lea menunduk lesu, setelah mendapat kabar bahwa penyakit sang bunda kembali kambuh. Bunda memiliki asma, dan akan kambuh jika menangis terlalu lama.

Lantas, mengapa bunda menangis? Ah! Lea sadar, jika dirinya memiliki seorang ayah. Penyebab apalagi yang akan Lea pikirkan jika bukan karena ayahnya? Lea menduga dengan pasti bahwa asma bundanya kambuh sebab beliau barusan ribut dengan suaminya-ayah Lea.

Terdengar jahat memang, sebab Lea menduga dengan pasti penyebab penyakit sang bunda kembali kambuh.

Tapi semesta, memang praduga seperti apalagi yang akan Lea pikirkan selain sang ayah yang menjadi penyebab, serta kambuhnya asma ibun sebagai akibat?

Dear LeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang