“Banyak banget Sam, buat siapa?”Lea mengekor di belakang Sam dengan dua keranjang di tangannya yang terlihat penuh oleh berbagai macam jenis makanan ringan. Bukan, semua makanan itu bukan punya Lea. Sebab, sesampainya Sam dan Lea di minimarket, Sam langsung berjalan menuju rak makanan ringan.
Entahlah, Lea pikir Sam itu peka, jadi ia tak perlu repot-repot menyampaikan keinginannya. Hanya saja, kenapa Sam mengambil banyak sekali? Kan hanya dia yang makan. Sam? Tidak-tidak. Lelaki berdarah Kanada-Jawa itu paling anti dengan ciki-ciki. Banyak micin, merusak otak katanya.
“Buat anak-anak, Ya.”
“Anak siapa!?” Lea berteriak, seketika lupa bahwa ia sedang berada di minimarket.
“Ck, anak-anak studio, Ya. Kamu mikir apaan sih? Nggak usah kaget banget gitu. Mukanya biasa aja.” Sam berdecak sebal, sembari berjalan menuju kasir setelah merampungkan urusannya memilah makanan. Meninggalkan Lea dengan segala prasangka anehnya.
“Ohh, anak-anak Enam Hari ya? Kamu murah hati banget ke mereka, sedangkan ke aku pelit banget. Dasar nggak adil!” Lea mengomel, merasa tak terima dengan perlakuan Sam yang dinilainya tak adil.
Sembari mengeluarkan isi belajaannya ke meja kasir, Sam berdecak, “ck, kurang adil dari segi mananya? Sekilo keripik di tanganmu itu masih kurang?” katanya sembari menyerahkan tiga lembar kertas berwarna merah pada kasir.
“Ya ini kan baru keripik, pocky yang kamu janjiin belum sampai di tanganku.”
“Nggak sampai di tanganmu tapi sampai di plastik ini. Ah bawel banget, nih bawa!”
Lea menerima plastik berisikan ciki yang diberikan Sam dengan bersungut-sungut. Lea ini perempuan, yang benar saja dipaksa menjadi buruh angkut dadakan seperti ini. Ingin melayangkan protes, namun ia takut. Sebab sudah berburuk sangka terlebih dahulu pada Sam.
Ia benar-benar tak tahu bahwa Sam ingat dengan pocky pesanannya. Lagipula, ia juga tak melihat Sam memasukkan pocky kedalam keranjang belanjaan tadi. Ah! Lea jadi pusing sendiri memikirkannya. Jadi, ia putuskan angkat kaki dari tempatnya, menyusul Sam yang ternyata sudah duduk manis di motor besarnya.
“Sam bodoh! Ini gimana bisa aku naik motor kalo kedua tanganku kamu buat repot kayak gini!? Lagian apa gunanya sih beli motor yang tinggi begini? Yang ada malah bikin susah. Ah ngerepotin banget!” Lea mengomel layaknya seorang Mama yang menangkap basah anaknya bermain tanah di halaman rumah.
“Sumpah, Ya, makin tua makin cerewet. Cepetan naik atau kamu lebih milih naik angkot? Siniin plastiknya!” Sam memandang Lea jengah, sembari menarik paksa plastik berisi makanan tadi dari tangan Lea.
“Jangan suka nyalahin cewek. Kena karma baru tahu rasa kamu.” Lea tak henti menggerutu saat terduduk manis di atas motor Sam.
“Kalo nggak amnesia, kamu bukan cewek, Ya.”
“Heh! Nggak sopan! Susah emang ngomong sama bule nyasar.” Lea mencibir, sedangkan Sam mendelik kesal yang hanya berakhir dengan helaan nafas sebab percuma saja jika ia mendebat Lea yang notebenenya keras kepala. Sam juga heran, bagaimana bisa ia mengalah begitu saja terhadap Lea? Harusnya kan ia yang bisa mendominasi Lea, bukannya malah di dominasi seperti ini.
“Udah selesai ngomelnya? Bisa kita berangkat sekarang?” Sam sedikit memutar kepalanya ke arah belakang, matanya menangkap kesibukan Lea yang tengah menyamankan diri di atas jok motornya.
Setelah dirasa Lea tak mengeluarkan protes, Sam melajukan motornya perlahan. Suasana hening menyelimuti keduanya. Baik Sam ataupun Lea tak ada yang berniat membuka percakapan. Sam sendiri heran, tumben sekali Lea tak mengeluarkan suara dari awal mereka melaju sampai setengah perjalanan.