Terungkap

2 0 0
                                    

Bismillah ...

_________

Rapat di café kali ini, tidak terlalu Zayan pahami. Bagaimana tidak, ia membawa Arsyana kemari dan memesankan satu meja untuk gadis itu, sedang ia bersama rekan bisnisnya memesan ruang khusus rapat yang terletak di lantai dua.

Sesekali, Zayan melirik ke arah jendela. Tidak jarang, Arsyana akan berdiri di sana, sembari tersenyum konyol, setelahnya berlari kembali ke lantai bawah. Hal itu membuat Zayan terkekeh pelan, seperti orang gila. Ya, dia tidak mendengarkan presentasi dari rekan bisnis yang akan menjalin kerja sama dengan perusahaannya.

Seperti kali ini, Arsyana kembali berdiri di balik jendela. Gadis itu menekuk lengan, menunjuk otot bisepnya untuk memberikan semangat pada Zayan. Setelah melakukan itu, ia melambaikan tangan kemudian kembali lagi ke lantai bawah, aneh sekali. Dan lagi-lagi, Zayan terkekeh pelan membuat pria empat puluh tahun di depannya jengkel.

“Pak, jika bapak sedang sakit, atau ada masalah sampai terbawa ilusi terus, lebih baik rapat kita tunda. Percuma anak buah saya menjelaskan apa yang kami tawarkan untuk kerja sama kita, jika bapak sendiri tidak fokus,” tegur pria itu.

Asisten Zayan menatap atasannya heran. Pemuda itu lantas memperbaiki posisi duduknya, menatap layar putih yang tersorot monitor. Zayan bersyukur, setidaknya hari ini bukan Rifqi yang mendampinginya rapat. Pemuda itu ia liburkan, digaantikan dengan Vio, asistennya yang lebih serius, tidak koplak seperti Rifqi.

***

Zayan menemui gadis itu yang tengah memutar ponselnya tidak karuan. Rifqi belum datang membawa motor Arsyana, Zayan meklumi karena siapa juga yang mau menerjang hujan sederas ini, dengan petir yang saling menyambar ditambah dengan suara alam yang tiap detik seperti ingin meruntuhkan langit.

“Bosen, ya?” tanyanya, membuat Arsyana terkejut dan seketika duduk tegap. “Mau makan apa?”

Arsyana yang ditanya seperti itu, langsung mengetuk dagunya dengan jari telunjuk. Gadis itu berpikir keras hanya untuk memilih makanan yang akan ia makan hari ini. “Mm … aku mau pesen dessert aja. Brownis cokelat,” putusnya cepat.

“Makannya apa?”

Arsyana menggeleng cepat, ia masih kenyang karena memakan bekal Zayan tadi. “Pesankan dua sup makaroni, lalu untuk kamu terserah,” titah Zayan pada asistennya.

Setelah Vio mencatat pesanan Zayan dan pesanan untuknya, pria itu izin ke toilet sebentar. Ini kesempatan emas untuk Arsyana bertanya.

“Hebat kamu, bisa menghabiskan dua mangkok sup makaroni,” celetuk Arsyana.

Alis pemuda di depannya mengait, lantas bertanya, “Siapa yang akan menghabiskan dua mangkuk sup makaroni?”

Arsyana menunjuk Zayan, yang sontak menahan tawanya karena jawaban polos Arsyana. “Satu mangkuknya lagi buat kamu,” jelas Zayan.

Gadis di depannnya menelan salivanya susah, seraya menunjuk dirinya sendiri dan ditanggapi angggukan oleh Zayan. “Yan, perutku bukan karung,” protes Arsyana.

“Tidak ada penolakan, harus dimakan.”
Keadaan kembali hening, hanya meja di sekitar mereka yang ramai dengan canda dan tawa disertai suara dentingan piring dan sendok yang beradu. Arsyana, gadis itu tengah menyusun kalimatnya agar menjadi satu pertanyaan yang mudah Zayan cerna.

Arsyana melirik sekitar, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk memanggil pemuda di depannya yang masih sibuk dengan berkas-berkas di dalam map berwarna biru itu. “Yan.”

Zayan menatap Arsyana, ia memberikan kode verbal agar Arsyana segera berbicara. “Bukannya kamu ... masih menjalani masa PPL. Mm, maksudku kamu masih jadi mahasiswa, ‘kan?” tanya Arsyana, ia menggigit bibirnya, melihat reaksi Zayan yang hanya diam.

(Bukan) Imam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang