"Berdamai dan jadikan masa lalu teman, bukan musuh."
________________
"Ini dari siapa?" Arsyana bergumam, seraya mengambil benda persegi berwarna biru itu. Dari mereknya dan gambar depan benda itu, dapat Arsyana tebak, itu adalah jas hujan.
[Hallo, Arsyana.
Hari ini akan hujan, maka penyelamat bumi sudah menyediakan jas hujan untukmu.]Dua kalimat, tapi mampu membuat Arsyana tertawa sendiri di parkiran, hal itu mengundang atensi semua siswi yang tengah mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran. Menyadari hal konyol yang ia lakukan, Arsyana melipat sticky note yang sudah pasti dari pria yang ia pikir bernama Zayan.
Ada-ada saja, pikir Arsyana. Matahari terik seperti ini, dia bilang akan hujan. Baru saja Arsyana memasang tali helm, gerimis sudah menyapa bumi. Padahal matahari tengah bersinar dengan teriknya, tapi begitulah alam, tidak ada yang bisa menebak.
Gadis itu menggeleng pelan, mengeluarkan kembali jas hujan yang sempat ia simpan tadi. Selesai mengenakan benda ringan itu, Arsyana berniat membuang bungkusnya ke tong sampah. Namun, satu lagi sticky note berwarna abu yang tertempel di balik kemasan jas hujan itu, membuat Arsyana mengurungkan niat.
“Harganya cuma sembilan ribu rupiah, jangan marah!”
Lagi-lagi, Arsyana menggeleng dengan tingkah pemuda satu itu. Benda pemberiannya memang kecil dalam hal materi, tapi besar dalam hal manfaat.
***
Pintu itu terbuka, menampilkan sosok pemuda dengan balutan baju koko dan peci. Ia baru saja pulang dari masjid selepas menunaikan salat subuh. Jaket kulit itu ia lemparkan pada pemuda yang masih bersembunyi di balik selimut tebal abunya.“Woy! Tidur gue terganggu!” teriaknya.
“Bangun! Arsyana tidak suka pemuda yang ngebo di jam lima pagi,” sindirnya, sebelum kemudian berlalu dari kamar itu.
Pemuda itu meraba nakas, mengambil benda kotak persegi, yang menampilkan jam analog. “Ya Tuhan! Baru jam lima pagi, gue lanjut tidur saja.” Setelah mengatakan kalimatnya, ia kembali membenarkan posisi tidur.
Baru masuk tahap semi rem, tidurnya kembali terusik. “Anvi! Bangun, pagi ini kamu harus berdoa sama nenek, ‘kan?”
Anvi membuka matanya sebelah, menatap kembarannya yang telah mengganti kokonya dengan kaos hitam. Ia mengangkat kelima jarinya, menandakan ia lebih memilih lanjut tidur daripada harus berdoa di depan dewa Krisna.
“Anvi bangun!” sekali lagi Zayan berteriak nyaring, kali ini sukses membuat pemuda blasteran India itu bangkit dari tempat tidurnya.
Dia bergegas menuju kamar mandi yang ada di dalam satu ruangan dengan kamar tidur bernuansa abu itu. Kegiatan rutin mencuci wajah, dan mandi tentunya. Neneknya sangat perfeksionis dalam hal kebersihan. Jika ia datang berdoa di depan dewa Krisna dan Rada dalam keadaan belum mandi, bisa-bisa dia akan dapat ceramah.
Anvi keluar dari kamar mandi, mendapati Zayan yang masih fokus dengan buku tebal terjemahan Al-Qur’an di atas kasur king size miliknya.
Pemuda itu meraih handuk kecil, guna mengeringkan rambutnya yang basah. Ia melirik kembarannya yang masih asik dengan buku tebal yang sebagian berbahasa arab, yang sudah jelas Anvi tidak mengerti. Jangankan mengerti, cara membacanya saja ia tidak tahu.
“Zayn,” panggilnya. Zayan menoleh, detik berikutnya, ia protes terhadap Anvi. “Nama gue, Zayan, tingggal nambahin ‘a’ doang satu, Vi.”
“Tidak-tidak, Zayn lebih keren daripada Zayan,” tolaknya, yang tidak mendapat respon apapun dari Zayan.
Dua menit hening, Anvi kembali memanggil Zayan. “Zayn?”
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Imam Harapan
ChickLit[TELAH TERBIT] Arsyana Laila, gadis yang tengah menjalani masa PPL di salah satu SMA di Yogyakarta. Hidupnya mulai berubah, saat bertemu dengan sosok pria yang ia juluki 'bunglon'. Sifatnya kadang berubah-ubah, pun dengan kejanggalan-kejanggalan yan...