Maling Soleh

11 3 0
                                    

"Cinta itu dua fase. Benci dan sayang, jangen terlalu membenci jika tidak ingin jatuh dalam fase sayang."

_Salah Khitbah_

________________

“Eh, bu-bukan saya, Mbak. Demi apapun bukan saya,” elaknya.

Dia pikir aku akan percaya begitu saja? Aku kembali meneriakinya maling, membuatnya semakin gelagapan. Sesekali ia terlihat ingin menutup mulutku tapi selalu ia urungkan. Awas saja kalau dia berani menyentuhku.

“Maling! Anda maling, 'kan?! Ngaku Anda!”

“Nggak.”

“Maling! Mph—“

Tangan Amalya membungkam mulutku, gadis itu tidak mau  membebaskanku, padahal sudah kuberi pelototan paling tajam. Seorang pria paruh baya dengan jengggotnya yang sudah mulai memutih itu datang dengan tergopoh-gopoh.

Beliau adalah marbot masjid. Aku tahu saat bertemu dengan beliau di tempat wudu tadi. Namannya Pak Shadiq, beliau mengusap dadanya teratur sembari terus beristighfar di depanku.

“Mana malingnya, Nak? Dia maling apa?” tanya Pak Sadhiq.

“Dia, Pak. Dia ma—“

Sial! Amalya berhasil kembali membekap mulutku, padahal laporanku belum selesai. Pak Shadiq menatap pria yang menjadi tersangka itu, satu senyuman lebar tergambar di wajah Pak Shadiq. “Nak Zayan,” sapanya ramah. Maling itu menyalami pak Shadiq, menyebalkan sekali. Akan ku juluki dia ‘Maling Soleh’.

“Pak, Mas, maafkan sahabat saya yang suka su’udzon, tanpa berusaha tabayyun terlebih dulu,” ucap Amalya yang kusangkal dengan raungan tidak jelas karena mulutku masih ia bekap.

Pak Shadiq membenarkan letak pecinya, detik berikutnya beliau berujar, “Nak Arsyana, pemuda yang kamu tuduh maling ini, namanya Zayan. Dia salah satu remaja masjid yang memberikan sumbangsih besar terhadap masjid ini.”

“Yang suara azannya tadi Nak Arsyana kagumi, itu suara dia, dan soal sepatu Nak Arsyana, tadi bapak yang menemukannya disembunyikan di atas tembok toilet. Kebetulan Zayan datang untuk berwudu, makanya bapak titip sepatumu pada Zayan,” jelas Pak Shadiq.

Lirikanku menangkap pria menyebalkan bernama Zayan itu, dia tersenyum miring. Mengejekku begitu? Awas saja dia. Lagi pula, kenapa Pak Shadiq harus jujur jika aku mengagumi suara azannya. Jika aku tahu Maling Soleh yang azan, akan ku cancel saja kekagumanku.

Zayan menyerahkan sepatu itu padaku, tapi tidak kuterima langsung. Sikutan Amalya, akhirnya membuat tangan ini terarah untuk menerimanya. Aku berbalik, jatuh harga diriku di depan pria itu. Tapi cengkraman di lengan, membuat niat itu harus terurungkan.

“Minta maaf sama terimakasihnya mana?” tegur Amalya.

Kembali mata ini melirik ke arah Zayan, terlalu malas untuk meminta maaf walau benar aku yang salah telah menuduhnya sembarangan. Astaghfirullah, ego manusia memang begitu.

“Maaf.”

Setelah mengucapkan kata itu, aku hendak berbalik lagi. Tapi Amalya yang mendadak mengesalkan hari ini, memaksa untuk mengulang maaf yang lebih tulus lagi.

“Tadi sudah diwakilkan sama kamu, Al,” rengekku.

Amalya menatap tajam, akhirnya aku mengalah juga. Tarikan napas dalam, aku lakukan sebelum mengucapkan kalimat maaf dan terimakasih pada ikhwan menyebalkan itu. Lihat saja, wajahnya yang tadi pias, kini tidak henti-hentiya tersenyum puas seperti seorang psikopat, astaghfirullah. Hamba terlalu kesal padanya ya Allah.

(Bukan) Imam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang