"Hati manusia ada dalam genggaman Allah, catat!"
______________
Ujung hijab segi empat itu sudah basah oleh air mata yang sejak tadi terus diseka. Film yang terputar begitu hebat memainkan perasaan seorang Arsyana, sehingga ia larut begitu khidmat. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan tiga puluh, tapi ia masih asik mengikuti setiap alur film bollywod yang ia tonton.
“Assalamu’alaikum, Sya!” pekikan dari pintu ditambah gedoran kuat, membuat Arsyana tersadar. Buru-buru ia membuka pintu, yang menampilkan sossok Amalya yang terengah-engah, kesulitan mengatur napas.
“Kamu kayak habis dikejar Jin Ifrit saja,” ledek Arsyana.
“Upilmu Jin Ifrit, Sya! Bu Intan murka nyariin kamu di ruang guru. Kamu ngapain saja di sini? Jam delapan sampai jam setengah sembilan, kamu gantin jamnya Bu Intan, Sya!” pekik Amalya.
Arsyana terhenyak, ujung matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam sudah menunjukkan setengah sepuluh, yang maknanya dia sudah lalai dari tanggung jawabnya hari ini.
“Bu Intan kena teguran dari kepala sekolah, karena kelasnya kosong. Anak-anak berhasil bolos, dan parahnya lagi, mereka tawuran dengan SMA sebelah. Bu Intan marah besar sama kamu,” tutur Amalya, membuat Arsyana semakin gelagapan.
Disambarnya tas yang berisi buku dan laptop di atas meja. Menarik Amalya setelah mengunci kamar kos. Gadis itu bahkan tidak sempat mengeluarkan motornya, ia memilih menumpang pada Amalya. Arsyana itu gadis cengeng, hatinya mudah tersentuh dan mudah menangis. Lihat saja sekarang, dia menangis sepanjang perjalanan menuju SMAN Nusa Bakti.
Selain menangisi kecerobohannya, ia juga takut akan dimarahi Bu Intan. Padahal Amalya sudah menenangkannya, bahwa kemarahan manusia tidak perlu ditakuti, cukup takut pada murka Allah saja.
Setelah menempuh perjalanan sepuluh menit lamanya, akhirnya mereka sampai di SMAN Nusa Bakti. Arsyana berusaha menahan air matanya yang terus melesak keluar. Amalya menggenggam erat tangan sahabatnya selama menuju ruang guru, ia kenal betul sifat gadis di sebelahnya.
***
“Dia itu kekanak-kanakan, seperti remaja labil. Cengeng mudah menangis, manja juga,” tutur gadis yang rambutnya dikuncir dengan kacamata minus yang setia bertengger di hidung peseknya.“Dan jangan lupakan, gaya ngambeknya seperti anak TK,” lanjut gadis itu seraya melepas almamaternya. Suaranya ia pelankan, karena di sebelah meja mereka, duduk mahasiswa dari universitas gadis yang mereka bicarakan.
“Siapa namanya, Nul?”
Kini pemuda dengan rambut gondrong itu tertarik untuk mengulik lebih dalam. “Arsyana Laila,” jawab yang lainnya.
Di SMAN Nusa Bakti, ada dua universitas yang sedang menjalani masa PPL-nya di sini. Kedua universitas yang bersaing ketat, untuk menunjukkan performa masing-masing, mencetak guru baru yang lebih berkualitas.
Gerombolan itu tertawa, terkecuali salah satu pemuda yang hanya diam mengaduk bakso dalam mangkok miliknya. Ia tidak tertarik sama sekali untuk membicarakan gadis malang yang kini tengah berurusan dengan Bu Intan.
Pemuda itu beranjak, padahal makanannya belum ia makan, hanya diaduk tidak jelas. Temannya yang berambut gondrong menghentikan langkahnya yang belum sampai keluar meja. “Mau ke mana lo, Bro?”
“Cabut. Tenang, makanannya gue bayar, gue tahu lo takut ditinggal karena belum bayar makananya,” jawab pemuda itu seraya menaruh selembar seratus ribuan. Setelahnya pergi begitu saja, entah akan ke mana dia, yang pasti dia sudah tidak berminat bergabung dengan rekannya yang sibuk membicarakan nasib Arsyana.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Imam Harapan
ChickLit[TELAH TERBIT] Arsyana Laila, gadis yang tengah menjalani masa PPL di salah satu SMA di Yogyakarta. Hidupnya mulai berubah, saat bertemu dengan sosok pria yang ia juluki 'bunglon'. Sifatnya kadang berubah-ubah, pun dengan kejanggalan-kejanggalan yan...