Sang Penolong

29 2 0
                                    

"Hujan saja diatur di mana ia akan turun. Skenario Allah itu sempurna, semuanya berguna tanpa ada percuma."

____________

Di tepi jalanan raya seperti ini, seharusnya gadis itu tidak akan mendapatkan masalah sesepele itu. Memang zaman sudah berubah drastis, tidak ada lagi rasa peduli pada sesama. Kini, manusia hanya hidup untuk memenuhi ambisi pribadi. Mungkin di zaman yang akan datang, manusia bukan lagi mahluk sosial yang bergantung kepada orang lain, tetapi menjadi mahluk mandiri.

Gadis dengan motornya yang mogok karena kehabisan bensin di seberang sana, terlihat hanya menelepon salah satu kerabatnya yang dapat ia mintai pertolongan. Melihat hal itu, pemuda yang sejak tadi duduk di dalam café, beranjak dari duduknya. Mungkin ia adalah salah satu spesies manusia yang masih punya hati untuk menolong sesama yang mulai langka.

Saat mulai menyebrangi jalan, rintik hujan sudah menyapa bumi. Sepertinya, langit tengah bersedih. Gadis dengan khimar hitam itu tampak ingin menangis, dapat ditebak, teleponnya tidak kunjung tersambung ke orang yang dituju.

“Permisi, assalamu’alaikum,” sapa pemuda itu ramah.

“Wa-wa’alaikumussalam,” balasnya meski sempat terbata, mungkin efek dari keterkejutannya.

“Arsyana Laila?” Pemuda dengan kulit sawo matang itu berusaha membaca nama yang tertera di name tag yang tersemat di khimar gadis itu.

Gadis yang baru saja diketahui namanya Arsyana itu hanya mengangguk mengiyakan. Arsyana kembali menekan salah satu kontak yang ada di ponselnya, tapi hanya suara operator yang membalas sebagai jawaban. Dia sesekali mengeluh, tapi detik berikutnya membaca istighfar membuat pemuda di sampingnya tersenyum karena tingkah konyol Arsyana.

“Mau aku antar?” tawar pemuda asing itu.
Gurat wajah Arsyana terlihat menimbang tawaran orang asing di depannya. Pandangannya ikut teralihkan ke langit yang tengah mendung. Percayalah saat ini masih jam empat sore, tapi langit sudah seperti langit Magrib menjelang Isya, sangat gelap.

Wajah pemuda itu berhenti menengadah, menatap Arsyana dengan senyuman manisnya. Arsyana sontak melakukan hal yang sama, menatap pemuda itu untuk menimbang tawaran baiknya. Satu tetes gerimis jatuh tepat di wajahnya, membuat anggukan persetujuan akhirnya didapat oleh pemuda di depan.

Arsyana menaiki motornya, sedangkan pemuda yang belum sempat ia tanya siapa namanya, akan mendorong menggunakan kakinya dari atas motor miliknya. Cara ini membuat mereka secara tidak langsung berdampingan. Arsyana masih penasaran dengan sesekali mencuri pandang ke arah kaum adam di sebelahnya.

Alam rupanya tidak mau berkonspirasi dengan keadaan keduanya, hujan turun dengan deras disertai angin kencang. Akan sangat berbahaya melakukan hal yang ditawarkan oleh pemuda itu, mengingat jalanan sangat licin.
Akhirnya, café bernuansa eropa itu menjadi pilihan dadakan keduanya untuk berteduh. Di sinilah Arsyana terduduk di sudut café yang tersedia perapian, tujuan adanya perapian agar nuansa eropa semakin kental di café ini. Gadis yang kini telah basah kuyup itu tetap menikmati sisa-sisa panasnya perapian yang telah dipadamkan beberapa menit lalu karena hujan.

Segelas minuman jahe hangat tersodor di depannya, gadis itu melirik sang pemberi yang merupakan pemuda tadi. Arsyana tersenyum menerima minuman hangat itu. Deringan benda pipih dalam tas Arsyana mengalihkan atensi keduanya, Arsyana dengan cepat mengangkat ponsel miliknya yang ternyata masih berfungsi meski sempat terkena air hujan.

“Assalamu’alaikum, Bu.”

Percakaapan itu mengalir begitu saja antar Arsyana dengan ibunya yang terpisah bentangan pulau. Ya, Arsyana memang bukan penduduk asli Yogyakarta. Dia hanya perantau untuk menimba ilmu di kota orang, dia hanya gadis biasa dari Lombok yang bisa mengenyam pendidikan di sini dengan beasiswa.

(Bukan) Imam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang