Selayaknya Bunga

39 15 3
                                    

Atas setiap perasaan yang mana akhirnya mulai semakin merekah layaknya bunga yang bermekaran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atas setiap perasaan yang mana akhirnya mulai semakin merekah layaknya bunga yang bermekaran. Perlahan namun pasti. Menciptakan banyak hal-hal baru yang bisa kembali aku dapatkan, setelah sempat sedikit menata hati perlahan dari patah hati yang lalu.

Pada akhirnya aku tidak tahu kapan tepatnya aku menyerah. Enggan kembali menolak manakala sebersit perasaan itu mulai mengetuk hatiku tanpa henti, membawa namamu ikut serta dan memintaku menyimpan dengan baik di dalamnya. Sa, asal kamu tahu bahwa itu tidaklah hal yang mudah. Sama sekali tidak lantaran aku yang terus didera perasaan takut untuk jangka waktu yang panjang.

Berpikir apa ini adalah hal yang tepat? Apa resikonya tidak besar? Hal-hal terkait itu yang mungkin saja kamu tidak akan paham karena bukan kamu yang merasakannya. Sejatinya, perasaan ini milikku dan hanya aku satu-satunya yang benar-benar paham, kecuali kamu pernah merasakannya sebelumnya.

Dan pertanyaan selanjutnya yang mulai mengganggu pikiranku adalah 'apa kamu adalah orang yang tepat?'.

Mungkin kita sama-sama belum bisa menjawabnya. Kita sama-sama tidak tahu akan seperti apa semesta membawa cerita kita. Kita tidak tahu bagaimana drama roman picisan milik kita mulai berjalan karena sesungguhnya kita hanya manusia, Sa. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjalani apa yang seharusnya kita jalani. Berencana pun percuma karena kita bukan Tuhan. Hasil akhir yang tidak akan kita tahu bagaimana hasilnya, baik atau buruk, semua hanya Tuhan yang tahu dan kita hanya bisa menanti.

Tapi, Sa. Untuk hasil yang kita dibuat penasaran karenanya. Untuk akhir dari kisah kita yang sama-sama masih menjadi tanda tanya besar. Setidaknya di jangka waktu yang masih ada, di sisa-sisa waktu sampai kita benar-benar tahu akhir kisah milik kita bagaimana.

Setidaknya sampai saat itu, biarkan aku berjuang.

―Aruna Lilian

***

Sepanjang jalan itu tidak ada satupun yang membuka pembicaraan. Membiarkan hening menyapa dengan suara bising kendaraan di tengah keramaian ini. Mahesa membiarkan saja bagaimana kedua tangan Aruna meremat sisi jaketnya. Motor ia hentikan saat berada di persimpangan jalan dan lampu menunjukkan warna merah. Melalui kaca spion, Mahesa dapat melihat bagaimana Aruna yang tengah mengarahkan pandang ke gedung-gedung dan bangunan yang ada di sekitar mereka.

"Aku perhatiin kamu sering banget merhatiin jalan kalau lagi sama aku, Ru." Membuka topik, Mahesa menyudahi hening di tengah keramaian itu.

"Iya," sahut Aruna, "aku selalu suka kalau aku dibonceng gini. Karena aku bisa lihat jalanan."

"Kamu sukanya jalanan pagi, sore, atau malam?"

"Kenapa siang nggak disebut?"

"Karena aku yakin tipikal kamu kalau siang lebih milih molor dibanding jalan."

Malam & Mahesa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang