[EBOOK VERSION] Bab 1. Kenal Tanpa Sapa

29 2 0
                                    

Lewat salah satu kota ikonik yang kerap menjadi sasaran wisatawan. Agaknya, sulit bagiku untuk sekadar beranjak barang sejenak. Menikmati bagaimana euphoria tiap penduduk kota yang beragam. Sayup-sayup suara kendaraan dan perbincangan tiap insan yang enggan mereda. Terlebih penting dari itu, kenangan lalu yang barangkali saja tidak berniat untuk terlupa.

Yogyakarta, lagi aku berpijak dan menyapa. Membawa setiap memori usang yang kerap disimpan baik di dalam kepala. Mencoba menerka apakah Mahesa yang dulu kerap bersama denganku kini juga baik-baik saja setelah sekian lama tak bertegur sapa.

Mahesa, sebuah nama yang barangkali sampai detik ini masih membekas sampai membuatku bersusah payah kembali di kota hanya untuk menebus kerinduan tanpa wicara. Hanya untuk kembali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sempat kami datangi. Dan hanya untuk kembali merasakan sebuah rasa yang dulu terus mengalir tanpa henti.

Mahesa, kamu apa kabar? Maaf karena aku menulis ini tanpa izinmu. Maaf karena aku memberitahukan semua orang tentangmu. Ku harap kamu tidak marah, ku harap kamu baik-baik saja. Tersenyum hangat dengan senyum kotakmu yang kerap kamu berikan padaku dahulu. Dan berakhir dengan mengalah serta memaafkanku seperti biasa.

Jadi kini―teruntuk, Mahesa. Seseorang yang sempat singgah dan enggan menetap. Cerita ini aku buat khusus untukmu. Untuk kita. Aku tidak berharap kamu akan baca. Melalui kisah ini, aku ingin semua orang yang mengenalmu itu akan mengenang sesuatu hal yang baik tentangmu. Seperti halnya ... sosok Mahesa yang sangat bermakna dan berharga bagi seorang Aruna Lilian.

—Aruna Lilian

***

Yogyakarta, 2019.

"Namanya Mahesa."

Suara Lestari mendadak mengisi penuh pendengarannya. Menarik sebuah atensi baru sampai-sampai membuat Aruna menoleh. Berpaling dari papan tulis yang sudah dipenuhi angka dan simbol yang membuat pusing kepala hanya untuk melihat sahabat yang duduk di sisi kanannya.

"Hm?" Aruna menggumam tak mengerti.

"Itu," Lestari menunjuk dengan arah pandang matanya. Pada seorang pemuda yang kini sedang berdiri di depan, "Namanya Mahesa," ulang Lestari sekali lagi.

"Oh," Aruna mengangguk paham, "iya. Tahu, kok. Kenapa memangnya?"

Lestari mendekatkan badan tak lupa menyondong. Berjaga agar pembicaraan tidak sampai terdengar Pak Bino, dosen mereka yang tengah berdiri di ambang pintu. Tangan yang bersidekap di depan dada memerhatikan pekerjaan Mahesa di depan, sembari sesekali mengintai perhatian seisi kelas.

"Mahesa itu pinter banget, ya, ambil hati para dosen. Otaknya encer gitu kayaknya empat tahun kuliah buat dia lancar-lancar aja deh. Iya, nggak, Ru?"

Aruna mengangguk setuju.

Perbincangan terpaksa harus berakhir. Lantaran suara tepukan pak Bino yang meminta perhatian karena orang yang beberapa detik lalu menjadi topik hangat antara Aruna dan Lestari, harus menjelaskan dan mempertanggung jawabkan jawaban yang baru saja selesai ditulisnya.

Sesaat di sana, Aruna lagi-lagi terkesiap. Dia tentu tahu bagaimana kesan pertama kenal dengan Mahesa sejak pertama kali menduduki kelas yang sama. Cerdas. Satu kata itu langsung menjadi hal pertama yang terlintas manakala Mahesa yang tetap saja aktif di kelas. Bertanya jika tak paham, menjawab jika tiba-tiba saja dosen melempar tanya, dan tentunya berani mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi kemudian maju menuliskan jawaban atas soal yang terpampang jelas di papan.

Malam & Mahesa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang