Harga Diri

1.3K 111 7
                                    

Happy Reading! 😘

💍💍💍

Sudah memasuki minggu kedua sejak Adel dan Danu kembali masuk kerja setelah 'libur panjang' waktu itu. Akan tetapi, gossip panas yang disampaikan Aden kala itu masih saja menyebar luas dengan bebas, berkeliaran dari satu mulut ke mulut lain sehingga berhasil menyebar sempurna ke seluruh penjuru kantor pusat perusahaan Winata Group yang dipimpin oleh Adel, salah satu keturunan keluarga Winata langsung.

Adel memijat pangkal hidungnya. Saking hebohnya, gossip panas itu pun berhasil sampai ke telinga Adel juga.

Adel membanting berkas yang baru saja ia bubuhi tanda tangan miliknya ke atas meja kerjanya. Ia menatap kesal ke arah luar ruangan kerjanya. Tampak bawahannya duduk mengelilingi sebuah meja seraya berbisik-bisik sambil mencuri-curi lihat ke arah dirinya.

Mereka tidak tahu saja kalau Adel bisa melihat dengan sangat jelas apa yang sedang mereka lakukan di jam kerja begini bahkan tanpa hengkang dari singgasananya. Mereka pikir dengan mereka yang tidak bisa melihat apa yang sedang Adel kerjakan di dalam ruangannya, maka Adel pun demikian.

Dan tentu saja, dugaan mereka itu salah total.

Ruangan Adel memang sengaja dipasang kaca spesial, dimana hanya Adel seorang yang bisa melihat melalui kaca itu. Maksudnya, orang yang berada di luar ruangannya, sama sekali tidak bisa melihat ke dalam ruangan Adel. Tapi, sebaliknya, Adel bisa melihat dengan jelas apapun yang sedang terjadi di luar ruangannya melalui kaca spesial itu.

"Dasar orang-orang tidak berguna! Dibayar buat kerja, malah sibuk bergosip yang bukan-bukan. Hobi banget makan gaji buta. Giliran gaji diturunin sedikit aja, langsung protes dengan cara bar-bar. Mana pake demo-demo segala lagi!"

Yang membuat Adel marah sebenarnya bukan karena karyawannya sedang tidak melakukan tugas semestinya. Kadang Adel memang bisa memaklumi hal itu karena dia tahu kalau mereka pasti merasa jenuh kalau bekerja tanpa henti. Adel memang tipe atasan yang walau galak tapi perhatian juga pada semua bawahannya.

Tetapi, hal yang membuat Adel merasa marah campur kesal adalah karena karyawannya itu pada menggosipi dirinya dan Danu. Mana semua yang mereka katakan itu adalah hal-hal yang salah lagi! Kalau benar kan masih mending. Nah, kalau salah? Mencemarkan, merusak dan menghancurkan nama baik itu namanya!

Adel mengelus-elus dadanya. Mulutnya berkomat-kamit merapalkan mantra sabar.

"Sabar Del... sabar. Tunggu tanggal mainnya aja. Kalau mereka semakin menjadi-jadi..." Tangan kanan Adel memperagakan seolah-olah ia sedang mencincang badan seseorang menggunakan pisau Santo*ku. "...Baru deh lo sikat sampe habis anggota tubuhnya! Sampe puas sekalian! Biar mereka tahu rasa dan nggak bakal nge-gosip hal-hal yang tidak benar lagi."

Kalau Adel sedang mencak-mencak tapi berusaha untuk tetap sabar, Danu hanya berjalan dengan kedua telinga yang pura-pura tidak mendengarkan desas-desus yang sedang melayang kesana kemari, terombang-ambing dengan bebas di udara.

Aden yang kebetulan berada tak jauh dari tempat Danu pun buru-buru menghampirinya, menanggalkan tugasnya untuk sementara waktu. Menghibur teman yang lagi jadi bahan gossip panas lebih penting daripada bekerja membersihkan dispenser. Toh, dia masih bisa bersih-bersih nanti, setelah urusannya yang satu ini selesai. Setidaknya, Aden bukan salah satu pekerja yang suka makan gaji buta.

Tonjokan ringan di lengan atasnya membuat Danu menolehkan kepalanya ke arah samping kanannya. "Kenapa bang?"

Aden tersenyum tipis. "Lo beneran ngikutin arahan dan saran gue ya?"

Danu menatap Aden dengan raut tak mengerti. "Maksud abang?"

"Maksud gue, pas gue nyuruh lo buat siapin diri dengan cara membuat mental dan hati lo sekuat baja, lo benar-benar ngelakuin hal itu." Aden kemudian tersenyum senang. "Baguslah, gue senang kalau lo bisa sekuat ini menjadi pusat perhatian dan bintang utama kantor satu bulan ini."

DANDEL | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang