Kunjungan Dadakan

722 48 4
                                    

Happy Reading! 😘

💍💍💍

"Mantan istri saya. Namanya Ratih."

Itu adalah kalimat terakhir yang Adel dengar dari mulut Danu. Setelah itu, keduanya sama-sama sibuk dengan urusan dan pikirannya sendiri. Terlebih, pas nyampe rumah, Danu langsung saja pergi ke arah dapur untuk masak sarapan di siang hari untuk mereka berdua.

Bukan pura-pura nggak peka. Danu memang bukan tipe lelaki peka seperti yang diidam-idamkan oleh banyak perempuan di luar sana.

Sejuta kelebihan Danu, satu kekurangan Danu ini lah yang berhasil bikin Adel naik darah dan kesal setengah mati!

Apa lelaki itu tidak tahu kalau dia sekarang lagi ngambek? Lagi mogok bicara sama pria itu?

Lagian istri mana coba yang nggak kesal kalau suaminya dengan santainya baru mengatakan kalau sebelum menikah, statusnya adalah duda.

Duda loh ini! Adel rasanya mau-

Adel mengacak-acak rambutnya frustasi campur kesal campur marah. Argh, semuanya bersatu! "ARGHHHH! SIALAN!"

-mati aja 😭🙏

Menyentak nafas kasar, Adel meyakinkan dirinya sendiri bahwa everything's gonna be okay, everything's gonna be alright seperti yang sudah-sudah.

Bukan apa-apa, jujur, sebenarnya yang bikin Adel kesal bukan karena status Danu sebelum menikah dengannya. Dia tidak punya problem atau istilah gaulnya adalah beef dengan para kaum duda. Tidak. Bukan karena itu Adel kesal. Tapi Adel lebih ke merasa kesal karena ia kesannya seperti sedang menjilat ludahnya sendiri sekarang.

Mana dia udah bangga-banggakan Danu lagi di depan Genta! Bahwa calon suami—yang sekarang sudah jadi suaminya—itu masih perjaka. Makanya, ia tetap bersikeras untuk menikah dengan Danu Wijaya (despite his social status yang sekedar menjadi seorang office boy di kantor miliknya) yang ia yakini masih perjaka dan belum tersentuh perempuan manapun.

"ARGH, SIAL! KAMPRET! SITUASI APA-APAAN INI?! NGGAK ADIL BANGET! WHY ME, GOD, WHY??" Adel lalu mengumpulkan kewarasannya. Membuang semua pikirannya yang sudah menggila, nyaris tak terkontrol.

Untung ia bisa cepat-cepat cari solusi dari situasi membagongkan ini. Perks of having otak encer. Di situasi sedarurat apapun, otaknya masih bisa mengeluarkan ide dan solusi yang cerdas dan cemerlang.

"Oke, fine. Kita cari tahu dulu semua kebenarannya, baru tutup mulut. And don't let Genta take advantage of this fucked up situation! Not one bit!"

Baru saja Adel ingin membuka mulutnya, mengeluarkan suaranya untuk melontarkan pertanyaan kepada Danu, suara bel pintu menginterupsi niatnya duluan.

Danu yang memang sudah lebih dulu selesai makan pun mengajukan diri untuk membukakan pintu tersebut yang tentu saja diangguki setuju oleh Adel karena dia masih belum selesai dengan nasi goreng spesialnya.

"Loh, Mama, Papa? Kalian ngapain kesini? Kok tiba-tiba? Kenapa nggak kabari aku dulu?" tanya Adel secara beruntun (terobos terus Del, kek kereta api di Train to Busan), terheran-heran.

Setelah mengambil tempat duduk ternyaman di sofa ruang tengah dan duduk tepat di hadapan Adel yang duduk berdampingan dengan Danu, Santi pun menjawab dengan nada sewot dan raut ngegas, "Kenapa? Nggak boleh memangnya?"

"Astaga, Mama tercinta!" Itu tentu bukan pekikan Adel, melainkan Bima. "Bukan itu maksud Adel, ya ampun. Mengheran Papa, tuh."

Adel mengangkat alisnya. "Kok mengheran? Sudah hampir tiga puluh tahun loh, Papa terjebak hidup bareng dengan Mama, kok bisa-bisanya Papa baru sadar untuk bilang heran sekarang?"

DANDEL | ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang