Happy Reading! 😘
💍💍💍
Sinta Winata dan Bima Winata membelalak kaget mendengar jawaban Adel mengenai siapa gerangan pria yang duduk di hadapan mereka, tepatnya di sebelah Adel.
"Apa?! Office boy?! Calon suamimu?!"
Adel mengangguk santai. "Iya, Danu seorang office boy dan ya dia calon suamiku. Emang kenapa? Bukannya mama-papa sendiri yang bilang kalau status sosial nggak penting? Yang paling penting kan berbatang dan bisa buat aku hamil."
Bima menghela nafas. Putri satu-satunya ini memang kalau ngomong suka nggak difilter dulu. Apa yang ada di dalam otaknya, itu lah yang keluar dari mulut putrinya itu. Sifat yang diturunkan oleh nenek moyang dari pihak istrinya.
Sedangkan Sinta melotot memberi peringatan kepada Adel.
Adel hanya mengangkat bahunya acuh. Dia bahkan dengan santainya bertanya, "Kenapa sih ma? Ngapain mama melotot kayak gitu? Nggak cape tuh otot mata mama dipake buat memelototi aku?"
Sinta semakin melotot. Kalau saja Adel tidak duduk di seberang sana, dia pasti sudah menjewer telinga putri blak-blakannya itu sampai copot dari tempat semestinya! Sekalian bisa dijadikan donor bagi yang butuh organ pendengar itu.
Sedangkan Danu hanya bisa terduduk kaku dan sesekali tersenyum canggung.
Sinta mengalihkan tatapannya ke arah Danu. Ia meminta maaf pada Danu lewat matanya. Danu hanya mengangguk sambil tersenyum sopan.
Bima mengurut hidungnya yang terasa pusing. "Jadi ini beneran?"
Adel menaikkan satu alisnya. "Beneran apanya?"
Bima menatap Adel dengan sorot sebal. "Ya beneran nggak kalau nak Danu itu calon suami kamu!"
Adel manggut-manggut. "Oh... itu. Iya beneran lah pa, masa ecek-ecek? Aku mana ada waktu buat sekedar ngeprank papa sama mama."
Bima dan Sinta saling tatap lalu kompak menghela nafas.
"Ini kamu yakin bakal nikah lusa? Kenapa nggak minggu depan aja? Kok buru-buru banget sih?" tanya Sinta nggak mengerti.
Adel mendengus. "Kan mama sendiri yang bilang kalau aku harus dapat dan mengenalkan calon suamiku ke kalian hari ini juga. Terus, emang kenapa kalau aku nikahnya lusa? Perasaan nggak ada masalah deh. Lagipula, hanya lusa aku punya jadwal yang benar-benar kosong. Selebihnya ada banyak meeting dan jadwal lainnya, nggak bisa diundur, dimajuin maupun diganti. Entar jadi tambah ribet dan rumit. Susah ngecocokin dan ngejodohinnya. Mama-papa pasti paham dong, kan kalian pebisnis juga."
Ngecocokin dan ngejodohin yang dimaksud Adel adalah mencari waktu yang pas buat kedua belah pihak (Adel dan kliennya) untuk bertemu dan mengadakan meeting dan lain sebagainya.
Sinta mengangguk sambil tersenyum ala kadarnya. "Iya-iya, terserah kamu aja. Untung minggu hari yang lumrah buat kawin."
Bima menyenggol lengan istrinya pelan. "Nikah ma, bukan kawin. Nikah dulu baru kawin."
Sinta mendengus, bersidekap angkuh. "Sama aja, nggak ada bedanya! Lagian, serah mama dong, kok papa yang sewot?! Mulut juga mulut mama, bukan mulut papa!"
Bima pun memilih untuk mengalah saja daripada urusannya nanti tambah panjang. Ribet. Nggak enak juga. Bisa-bisa dia berakhir tidur di luar kamar hanya gara-gara masalah urutan antara nikah sama kawin. Mending nanti malam mereka berdua habiskan buat kawin beneran, bukan hanya sekedar berdebat masalah kawin-kawinan.
Danu yang melihat itu pun jadi tahu dari mana Adel mendapatkan sifat angkuhnya walau kalau diperhatikan lagi, Sinta masih lebih jinak dibandingkan dengan Adel. Atau mungkin karena Sinta sudah bertemu Bima yang berperan sebagai penjinak sikap angkuhnya Sinta?
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDEL | ON GOING
RomanceAdel Winata (25) dipaksa orangtuanya untuk segera menikah kalau tidak mau dijodohkan dengan anak teman mama-papanya. Adel yang frustasi pun mengatakan pada dirinya sendiri pria pertama (siapapun itu) yang masuk ke ruangannya akan dia jadikan suaminy...