12. Sosok yang hilang, kembali lagi

1 0 0
                                    

Tolya menahan laju dorongan gravitasi dengan roket turbo yang terpasang di punggung, tangan, dan kakinya. Dia tetap maju merangsek, melepaskan sejumlah missil dari punggungnya. Missil-missil itu menghantam tubuh Arnold dari segala arah.

Arnold yang duduk di kokpit, merasakan tubuhnya mengalami ledakan besar beberapa kali. Getaran yang dihasilkan dari ledakan-ledakan itu, membuat otaknya sempat terombang-ambing. Tubuh robot tempurnya telah mengalami kerusakan di beberapa bagian karena sempat terkena serangan dari Zian.

Aku tidak boleh kalah, batin Arnold.

Arnold memusatkan pikirannya untuk mengumpulkan sebagian manna yang diambilnya dari musuh. Manna itu berkumpul di tamengnya, membentuk segitiga cokelat. Kemudian Arnold membaca mantra.

"Penyerapan ganda!" seru Arnold dengan suara yang keras.

Pola segitiga cokelat dengan simbol dan huruf yang sulit dibaca oleh manusia biasa, mengudara bagai hologram. Dia bisa mengeluarkan gelombang elektromagnetik yang mengacaukan sistem semua robot tempur sehingga mesin tidak bekerja. Gelombang-gelombang itu berbentuk garis cokelat yang menusuk langsung ke pusat sistem semua robot tempur.

Robot-robot tempur yang terhubung dengan mesin Mayor, jatuh satu persatu ke permukaan tanah yang telah bersatu dengan reruntuhan bangunan. Manna para pilot yang mengendalikan mereka, tersedot habis oleh Mayor. Mengakibatkan semua orang menjadi manusia biasa.

Sunyi. Seluruh warga tak sadarkan diri usai manna mereka diserap. Robot-robot yang mereka miliki, pupus dari dunia itu. Kekalahan yang didapatkan oleh kebaikan, dan kemenangan berpihak pada kejahatan.

***

"Begitulah. Kami tidak sadarkan diri saat robot kami mengalami mesin mati. Kami tidak tahu apa yang terjadi," tutur Aiyin dengan muka kusam.

"Benar. Setelah sadar, kami sudah ada di sini. Aaah," kata Tolya menghelakan napas panjang berkali-kali, "tidak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu orang yang bisa menolong kita."

"Kalau menunggu saja, itu tidak ada gunanya. Itu namanya kita putus asa. Jika pertolongan itu tidak datang, bagaimana? Apa kalian mau mati sia-sia di sini?" timpal Izzi dengan alis yang menurun. Menunjukkan muka serius.

Tim Tolya terdiam. Mereka membesarkan mata, lalu saling jeling. Hati mereka terketuk karena perkataan Izzi. Senyuman menghiasi wajah mereka.

"Ya, kamu benar, Izzi. Tapi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Tolya mengerutkan kening. Sedikit memiringkan kepala ke kanan.

Izzi tertawa malu. "Aku sendiri juga tidak tahu."

Maggie menepuk jidatnya. "Dasar, kamu pandai berbicara saja, Izzi. Tolong, pakai sedikit otakmu itu."

"Maaf, Mag."

"Aku sudah memikirkan ini sejak lama." Tolya memegang dagu dengan tangan kanannya. "Pintu penjara ini tersegel oleh pola segitiga. Pola segitiga itu hanya dimiliki oleh penyihir yang bisa menyerap manna penyihir lain seperti kamu, Aiyin. Kalau kita berhasil membuka segel pola segitiga itu, kita bisa terbebas dari sini. Tapi, Aiyin...."

Tolya melirik Aiyin. Aiyin menunduk sedih. Semua mata kini tertuju padanya.

"Hanya keturunan Suknessia yang bisa menyerap manna penyihir, lalu manna itu tersimpan di mata Atsuksans Acis, tepatnya di mata kiriku ini." Aiyin menengadah seraya menunjuk mata aquamarine-nya yang berbeda warna dengan warna dengan mata kanannya. "Aku baru tahu ada penyihir yang bisa menyerap manna selain aku. Arnold, kaisar baru itu juga sudah menyedot manna-ku. Jadi, kemampuan mata Atsuksans Acis milikku telah hilang."

"Memang tidak ada harapan, ya?" Maggie menunduk, menghembuskan napas pasrah.

"Hanya Arnold yang bisa membukakan pintu semua penjara ini karena dia yang sudah menyegel pintu ini," ungkap Kokio dengan sorot netra meredup.

"Memang tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang." Tolya menunduk, memegang rambutnya yang sudah lusuh dan kotor.

Semua orang tenggelam dalam lamunan ombak putus harapan. Otak mereka tidak bekerja lagi karena mampat di dalam kekelaman tempat yang kering dan panas itu. Hanya mengandalkan keberuntungan dan kepercayaan pada Tuhan. Semoga ada secercah pelita yang menghampiri mereka.

***

Aku terbangun dan memegang kepalaku yang tidak terbalut kain perban lagi. Menyadari seluruh tubuhku yang hanya terbungkus baju kaos dan celana panjang serba hitam. Kakiku telanjang. Badanku tetap terkapar di atas ranjang yang berbahan lunak dan terasa cukup dingin.

"Siapa yang telah melepaskan perbanku ini?" tanyaku bingung. Mataku menyapu bersih ke seluruh kamar batu itu. Tiada siapapun selain aku sendiri. "Maggie, apa kamu yang melepaskannya?"

Tidak ada jawaban apapun dari Maggie. Entah kemana gadis itu pergi, padahal aku telah memanggilnya berkali-kali. Sudah lama sekali, dia tidak mengunjungiku. Selama itu, aku tidak makan ataupun minum. Kini kurasakan, lapar menyiksa perut dan haus menyerang tenggorokanku.

Aku mencoba bergerak sedikit demi sedikit. Mulai dari tangan kanan. Enteng, aku leluasa menggerakkannya seperti biasa. Apa yang terjadi? Aku sudah sembuh? Ya, aku sudah sehat. Bisa bergerak sesuka hati. Aku bisa duduk di atas ranjang.

"Syukurlah. Semua tulangku sudah kuat." Aku mencoba melakukan gerakan senam dasar, "terima kasih, Tuhan. Engkau sudah menyembuhkanku."

"Ya. Karena Tuhan telah berbaik hati juga, aku dikirim ke sini untuk merawatmu, Zian." Tiba-tiba, muncul sosok dari portal bercahaya putih. Dari suaranya yang besar, sudah dipastikan dia adalah laki-laki.

Portal bercahaya yang muncul tak jauh dariku, langsung lenyap. Sosok yang datang tanpa diundang, berdiri dengan senyuman menawan.

"Dia ... mirip sekali dengan Kiku?" ucapku melongo.

Sosok asing itu berambut putih di atas bahu. Berpakaian kasual serba biru-jingga. Matanya lebih tampak bersinar dibanding mata Kiku. Kulitnya putih pucat.

"Cantik," ujarku spontan karena terpana.

"Apa? Cantik?" Laki-laki itu tercengang. "Aku ini laki-laki!"

"Maaf, habisnya wajahmu mirip sekali dengan perempuan."

"Aaah. Kenapa setiap orang yang bertemu denganku pertama kali, pasti mengira aku ini perempuan? Kenapa? Kenapa?"

Laki-laki itu menunduk lesu. Seolah muncul aura hitam yang merayap-rayap di atas kepalanya seperti adegan yang ada di komik dan anime. Aku menahan tawa sambil menggaruk-garuk kepalaku yang memang gatal.

"Jimm Lyall, itu namamu, 'kan?" Aku tersenyum, dan menurunkan tangan kanan dari kepalaku.

"Ya. Kenapa kamu bisa tahu namaku?" Jimm Lyall mengerjapkan mata beberapa kali.

"Tentu saja. Aku tahu namamu dari istriku, Kiku Lyall."

"A-adikku menjadi istrimu?"

"Iya. Aku menikah dengannya, dua tahun lalu."

"Wah, aku baru tahu itu! Senangnya, karena sekarang aku punya adik ipar!"

Jimm memegang kedua tanganku dengan erat. Matanya berbinar-binar. Wajahnya berkilauan. Senyumnya melebar, hampir menyerupai bulan sabit. Biarpun dia kembaran Kiku, tetapi sifatnya berbeda dari Kiku.

"Ya, aku juga senang bisa punya kakak ipar. Jimm, apa aku boleh memanggilmu begitu?" tanyaku mengangguk, tersenyum canggung.

"Boleh saja," jawab Jimm juga mengangguk, "kamu manis juga. Adikku memang pintar memilih suami. Hm ... kira-kira apa kalian sudah memiliki anak sekarang?"

"So-soal itu ... aku dan Kiku belum siap melakukan itu. Kami berhubungan seperti sepasang kekasih pada umumnya."

"Oh, begitu. Ya, sudah. Aku akan menjelaskan sesuatu sekarang. Pasti kamu bingung dengan kemunculanku yang mendadak begini, 'kan?"

"Ya, begitulah."

"Begini...."

Jimm menjauh dariku. Kedua tangannya berada di sisi-sisi tubuhnya sekarang. Jimm bercerita panjang lebar, dan aku mendengarkannya dengan teliti.

***














Daybreak in the Venus 2: The Secret of the Sun TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang