9. Harapan yang tidak sampai

1 0 0
                                    

Sunyi menyelimuti kamar bernuansa putih-krem itu. Antara Kiku dan Blossom membisu. Mereka saling menatap, diliputi perasaan yang berbeda. Kiku yang penasaran, sedangkan Blossom kelimpungan.

"Maaf, Nona. Sebenarnya, aku mau membantumu, tetapi tidak mudah keluar dari sini. Kamu tahu, penjagaan di kota ini sangat ketat. Terlebih Tuan Arnold, tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja, Nona," jelas Blossom dengan alis melengkung ke bawah.

"Aku tidak mau menghabiskan hidupku di sini. Aku harus mencari suamiku. Tolonglah, aku, Blossom. Hanya kamu, orang yang kupercaya di sini," sahut Kiku bermuka kusut.

"Tapi...."

"Sebagai gantinya, aku akan membantumu untuk mendapatkan hati Arnold."

"Hah? Ma-maksudnya?"

"Aku tahu, kamu menaruh rasa terhadap Arnold. Kamu mencintainya, 'kan?"

Kiku tersenyum dengan paras yang berseri-seri. Berusaha membius hati Blossom untuk tergerak membantunya. Blossom melebarkan mata karena perkataan Kiku barusan, menggenggam kuat baju bagian dadanya. Merasakan jantungnya berpacu laju seiring semburat merah tipis menghiasi kedua wajahnya.

"Ba-bagaimana bisa kamu tahu kalau aku mencintai Tuan Arnold? Setahuku, aku tidak memberitahukannya padamu, 'kan?" ujar Blossom gugup setengah mati.

"Aku bisa melihatnya dari mata dan sikapmu," tukas Kiku tersenyum lagi.

Blossom membelalakkan mata lagi. Mulutnya sedikit terbuka. Kemudian menampilkan senyum yang menawan. Wajahnya memerah lagi. Bersikap malu-malu kucing.

"Ya, aku mencintai Tuan Arnold sejak kecil. Aku selalu bersamanya karena menjadi pelayan pribadinya. Kami sangat dekat. Tuan Arnold selalu bercerita padaku tentang apa saja yang dirasakannya dan dialaminya. Hingga aku mengetahui Tuan Arnold menyukai gadis yang memberikannya setangkai bunga Krisan," tutur Blossom menerawang jauh ke masa lalu, "Tuan Arnold pun berusaha mencari tahu tentang gadis Krisan putih itu. Dia menemukanmu saat melihat berita di televisi."

Blossom telah menceritakan perihal Arnold yang mengurung Kiku selama setahun itu. Kiku sudah mengetahui semuanya. Dia juga tidak ingat tentang dirinya yang pernah menolong Arnold. Karena sudah banyak orang yang dibantunya, tentu otaknya tidak bisa mengingat wajah-wajah yang pernah ditolongnya itu.

"Kebiasaanku yang suka memberi bunga Krisan putih pada orang-orang yang kutolong, itu hanya sebagai penyemangat agar mereka tetap kuat melanjutkan hidup, walaupun telah kehilangan harta benda dan orang-orang terdekat. Tapi, aku tidak menyangka bunga itu bisa memunculkan cinta di hati orang yang kutolong," papar Kiku panjang lebar, "aku tidak bisa menerima cinta Arnold itu, karena aku sudah bersuami. Tapi, dia tetap tidak mau mendengarkanku."

"Aku juga sudah menjelaskan itu padanya, Nona Kiku. Tapi, Tuan Arnold tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Dia akan tetap mengejarmu sampai kapanpun," tandas Blossom bermuka kusut seraya menghelakan napas.

"Ya. Dia memang keras kepala, dan terlalu terobsesi padaku. Karena itu, aku harus pergi dari sini."

"Aku tidak yakin aku bisa membantumu, Nona. Permisi!"

"Blossom! Tunggu!"

Tapi, terlambat, Blossom langsung pergi meninggalkan Kiku. Kiku tidak bisa memanggilnya lagi karena pintu kamar itu terkunci lagi. Blossom menggunakan rekaman suara Arnold lewat Bookpad miliknya untuk menyegel pintu kamar Kiku. Metode itu dilakukannya ketika tidak ada Arnold.

"Maafkan aku, Nona Kiku. Aku tidak bisa menentang perintah Tuan Arnold," bisik Blossom usai menyegel pintu kamar Kiku. Dia memeluk erat Bookpad di dadanya, sementara baki yang berisikan makanan dan minuman terbaring di dekat kakinya.

"Bagaimana caranya lagi agar aku bisa keluar dari sini?" Kiku menghentakkan meja berkali-kali. "Blossom yang kuharapkan, tidak mau juga membantuku."

Kiku meredupkan matanya. Merasakan tubuhnya lesu, tidak sanggup lagi berdiri. Dia ambruk di lantai. Menunduk.

"Ya, Tuhan. Hanya padamu, aku berharap. Tolonglah aku agar bisa keluar dari sangkar yang memenjarakanku. Berikan aku petunjuk sekarang juga," gumam Kiku dengan nada yang seakan bergetar. Merasakan bulir-bulir air yang mengalir di dua pipinya. Menghangatkan jiwanya yang sangat terguncang.

***

"Maggie, sudah berapa hari kita di sini?" tanya Izzi yang mondar-mandir seperti setrika di hadapan Maggie.

"Sudah seminggu," jawab Maggie mengangkat salah satu alisnya.

"Selama itu, kita tidak melakukan apapun!"

"Ya, semua barang yang kita miliki, disita oleh orang-orang aneh itu."

"Sialan!"

Izzi menendang dinding keras seperti besi itu berkali-kali untuk melampiaskan kekesalan. Kepalanya sudah panas sekali, siap meledakkan emosi yang telah mencapai ubun-ubun. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Hanya bengong seperti orang bodoh.

"Kita tidak memiliki kekuatan sihir seperti manusia-manusia daratan. Kita hanya mampu membuat ramuan," ucap Izzi memegang dinding dengan perasaan yang sedikit dongkol. Berdiri membelakangi Maggie.

"Lalu?" Maggie memeluk kedua lututnya. Bermuka polos, tidak bisa berpikir jernih lagi.

"Apa hanya kita berdua saja yang disekap di sini?"

Izzi berbalik, menghadap Maggie yang berjarak beberapa meter darinya. Dia menunjukkan tampang lusuh seperti orang yang putus harapan. Maggie menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Izzi tadi.

"Banyak yang disekap di sini," tutur Maggie menunjuk ke kanan-kiri dan ke depan, "tapi, aku bingung. Mengapa mereka tidak menggunakan sihirnya agar bisa keluar dari sini?"

"Entahlah," tukas Izzi berjalan mendekati Maggie, "tidak ada orang yang bisa kita tanyakan di sini."

"Kita bisa tanyakan pada orang-orang yang berseberangan dengan kita."

Maggie menunjuk ke depan, ada bilik bui yang berhadapan dengan bilik buinya. Izzi melihat ke arah yang ditunjuk Maggie, lantas mengangguk mengerti.

"Sekitar seminggu ini, banyak penjaga yang berkeliaran di sini, makanya kita tidak bisa bertanya, 'kan?" Sekarang, penjaga-penjaga itu tidak ada, kita mulai mencari informasi itu sekarang." Maggie menyelonjorkan kakinya.

"Benar. Tunggu apa lagi? Kita harus bertanya sekarang." Izzi menarik tangan Maggie.

"Iya."

Maggie mengangguk. Dia terseret oleh langkah Izzi. Mereka tiba di dekat pintu berterali laser merah. Melambaikan tangan pada sekelompok orang yang ada di bilik penjara di depan. Salah satu dari sekelompok orang itu, menyadari kode yang diberikan Izzi dan Maggie. Kemudian dia bangkit dari keterpurukan yang semakin merajalela.

"Hai," sapa gadis berambut jingga yang bermata berbeda warna, turut melambaikan tangan.

"Wah, ada yang merespon kita!" seru Maggie tersenyum lebar, "hai, namaku Maggie, dan ini temanku, Izzi. Kalau namamu siapa?"

"Aku Aiyin. Ada apa sehingga kalian melambaikan tangan ke arah sini?"

"Ada apa, Aiyin?" tanya seorang laki-laki berambut pirang berjalan menghampiri Aiyin Suknessia.

"Ini, Tolya. Orang-orang ini melambaikan tangan ke arah kita, seperti ingin meminta pertolongan."

Tolya West memandang Izzi dan Maggie. Dia, Aiyin, Azlea Mimiya, dan Midorikawa Kokio, sudah tergabung dalam organisasi Venus Beat. Mereka berseragam serba jingga-merah dengan lambang khas Venus Beat di bahu kirinya.

Tolya memicingkan matanya. "Aku Tolya West, Kapten pemimpin tim Andromeda. Apa ada yang bisa kubantu?"

Maggie tersenyum. "Tuan Tolya West. Aku Maggie, dan ini temanku, Izzi. Kami ingin bertanya pada kalian. Apakah kalian tahu di mana Ratu Kiku Lyall sekarang?"

Tolya dan semua tim Andromeda, membeliakkan mata. Mereka saling pandang. Hanya raut muka kesedihan yang terpancar dari mereka.

***

Daybreak in the Venus 2: The Secret of the Sun TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang