1. Serangan di dunia normal

3 2 0
                                    

Gerakan tangan kananku yang menggenggam pena terhenti sejenak, karena melirik seorang gadis berambut hitam panjang. Gadis manis yang duduk tak jauh dariku, Yukimura Kiku atau Kiku Lyall. Dia anak baru yang masuk ke kelasku, dua tahun silam.

Aku Alzian Ekadanta, dan Kiku telah mengalami petualangan yang mendebarkan di dunia lain. Dunia yang penuh dengan pertempuran robot dan sihir. Kini kedamaian yang didapatkan di negeri Sembilan Planet itu.

Kamu pasti tidak percaya dengan ceritaku ini, karena kamu beranggapan dunia lain atau dimensi lain itu tidak ada. Dunia lain itu ada, dan aku telah masuk ke sana. Aku juga dinobatkan menjadi Kaisar pemimpin negeri Sembilan Planet. Lalu mendapatkan istri, yaitu Kiku sendiri.

Mengingat negeri Sembilan Planet, aku tidak tahu bagaimana kabar keadaan di sana sekarang. Aku juga penasaran, ingin mengetahui kabar teman-teman Kiku seperti Aiyin, Tolya, dan semuanya. Hatiku ingin sekali bertemu dengan mereka. Tapi, kehidupan di dunia ini, belum mengizinkanku untuk kembali ke dunia asalku yang sebenarnya.

Tiba-tiba, sesuatu menghantam kepalaku dengan keras. Mengagetkanku. Refleks, aku melihat ke depan. Seorang wanita separuh baya berambut hitam, sedang menggenggam rotan sepanjang satu meter. Dia berdiri di samping mejaku. Mengeluarkan aura membunuh yang siap menerkamku.

"Alzian Ekadanta!" bentak guru Kimia melototiku, "apa kau berniat ingin mencontek?"

"Ti-tidak, Bu," jawabku menggeleng kuat. Tersenyum, lalu melanjutkan membaca soal ujian sekolah. Tangan kananku sedikit bergetar ketika hendak menulis jawaban di kertas jawaban. Ketakutan.

"Kalau begitu, selesaikan ujianmu, Alzian."

"Ba-baiklah, Bu."

Semua orang pasti menahan tawa karena perbuatanku tadi. Aku tetap menunduk, berusaha konsentrasi untuk menyelesaikan ujian terakhir ini. Sebisa mungkin aku harus lulus sekolah dengan nilai terbaik agar bisa membanggakan ibuku.

Pada pukul sepuluh pagi, semua kelas dua belas telah menyelesaikan ujian. Mereka menunjukkan wajah ceria, dan bercengkerama bersama orang-orang terdekat. Mengisi setiap bangku panjang yang tersedia di dekat jendela-jendela kelas. Mengobrol seputar ujian dan rencana pendidikan selanjutnya. Sebaliknya, beberapa orang yang lain, memilih pulang dengan menggunakan motor dan angkot, seperti aku yang juga menggunakan motor.

Aku dan Kiku kini berada di tempat parkir. Kami bersiap hendak pulang, tetapi pikiran yang terpaut pada negeri Sembilan Planet itu, menghentikan diriku. Aku termenung, bergeming.

Samar-samar, suara Kiku menyentuh gendang telingaku. "Zian, kamu kenapa?"

Aku terhenyak, membulatkan mata sempurna dan menyadari tangan Kiku memegang bahuku. "Bukan apa-apa, Kiku."

"Pasti ada yang kamu pikirkan, 'kan? Akhir-akhir ini, kamu terlihat aneh."

"Kiku, apa kamu tidak merindukan negeri Sembilan Planet?"

Senyap, padahal suasana sedang ribut karena suara percakapan dan kendaraan. Aku dan Kiku mengalami keheningan itu. Kemudian senyuman tipis terpatri di wajah Kiku yang berseri-seri.

"Aku rindu, tetapi kamu memilih tinggal di sini, tentu aku mengikuti keinginanmu itu," kata Kiku bersuara lembut, "apalagi hubungan kita yang sebenarnya, belum kamu ungkapkan pada ibumu."

"Kalau aku mengatakan kita sudah menikah, pasti ibuku jantungan. Tunggu waktu yang tepat, kita pasti akan memberitahu semuanya pada ibu," sahutku tersenyum kikuk, lantas memakai helm.

"Aku setuju saja dengan apa yang kamu katakan."

Kiku tersenyum lagi, menebarkan keceriaan yang menenangkan hatiku. Semula dia adalah gadis bermuka tembok dan sadis, tetapi lama-kelamaan telah berubah menjadi gadis yang lemah lembut. Bahkan dia diakui sebagai gadis tercantik di sekolahku --- SMA Teknologi.

Aku segera menghidupkan motor saat Kiku duduk di belakangku. Kiku juga memakai helm, langsung membelit pinggangku erat sekali. Membuat orang-orang mungkin cemburu karena kedekatan kami yang dianggap terlewat batas. Tapi, demi keselamatan di jalan, Kiku harus berpegangan denganku.

Motor matic hijau yang kukendarai berjalan pelan dulu di halaman depan sekolah berlapis beton ini. Satu persatu motor lain juga mengikuti kami dari belakang. Mereka pergi ke tujuan masing-masing atas arahan pemilik.

Pagi yang masih segar ini, menemani perjalanan di antara aku dan Kiku. Matahari bersinar, tetapi tersembunyi di balik awan-awan yang berjalan berdampingan. Tidak membuat kami kepanasan, syukurlah.

Selama hidup di dunia normal ini, kami tidak menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya. Menjalani kehidupan layaknya orang-orang normal. Berharap bisa menjalani kehidupan rumah tangga setelah tamat sekolah nanti.

Jalan di kota Tembilahan cukup ramai. Banyak kendaraan yang lalu-lalang sehingga menimbulkan polusi udara dan suara. Debu beterbangan, mengenai para penjalan kaki.

Aku berhati-hati saat berkendara, terdiam dan tetap menatap lurus ke depan. Membayangkan senyuman ibu saat menyambutku di rumah. Namun, angan itu pupus seiring terdengar suara keras yang memekakkan telinga.

"Apa itu, Zian?" tanya Kiku menunjuk ke langit.

Aku juga melihat langit, mengerutkan kening. "Apa itu suara pesawat terbang? Ah, bukan. Itu...."

Suaraku tercekat di tenggorokan. Menyadari suara keras dari langit itu adalah sebuah benda raksasa. Lebih tepatnya, rudal. Apa, rudal? Karena itu, orang-orang panik setengah mati. Teriakan terjadi di mana-mana.

Ledakan besar tidak terelakkan. Rudal tadi menimpa sebuah bangunan berlantai tiga, yang merupakan rumah toko. Efek ledakannya menyebar hingga membakar bangunan-bangunan lain. Orang-orang berlarian tidak tentu arah. Kendaraan-kendaraan terhenti. Kemacetan terjadi mendadak.

"Rudal!" teriak Kiku.

"Apa yang terjadi, Kiku?" tanyaku seraya mengerem paksa motorku di antara kendaraan-kendaraan yang berserakan di jalan.

"Aku tidak tahu, Zian!"

Rudal yang sama, datang lagi dari balik awan. Dia menyerbu ganas ke arah aku dan Kiku. Sebelum ledakan terjadi, Kiku menggunakan kekuatan sihirnya untuk menghindari serangan rudal itu.

Aku dan Kiku berteleportasi ke tempat lain. Mendarat di sebuah lapangan yang dipenuhi rerumputan hijau, jauh dari pusat ledakan. Hanya ada aku dan Kiku. Sunyi.

"Sepertinya ada yang menyerang kita, Zian. Pasti robot tempur dari dunia kita," ungkap Kiku menggeretakkan gigi-giginya. Dia kembali berwujud menjadi dirinya yang asli --- berambut perak dan bermata biru.

"Robot tempur dari negeri Sembilan Planet? Tidak mungkin, Kiku!" tandasku seraya mengernyitkan dahi.

"Bisa saja, Zian. Ada yang bisa membuka portal perbatasan dimensi itu selain aku sendiri."

"Siapa yang bisa melakukannya?"

Sebelum pertanyaanku dijawab, tiba-tiba, muncul sebuah benda raksasa dari balik awan. Benda yang menyerupai robot hewan berkaki empat. Itu adalah robot berbentuk Singa.

"Yupiter Alliance!" seruku dan Kiku kompak. Mata kami membelalak.

"Bagaimana bisa?" Kiku tampak kalang kabut. "Setahuku, semua anggota Yupiter Alliance sudah ditangkap dan dipenjara. Tapi, ini...."

"Kita harus menghadapinya, Kiku."

"Iya, Zian. Amor Apparel!"

Aku mengucapkan mantra yang sama --- amor apparel --- untuk berganti pakaian. Pakaian zirah besi hijau-kehitaman membungkus sekujur tubuhku. Kulihat, pakaian zirah besi juga membalut seluruh badan Kiku. Kami bersama mengatakan, "izsaukt, Alpha A!/ izsaukt Centauri!"

Muncul lingkaran bercahaya putih di udara. Benda raksasa berbeda ukuran keluar dari lubang lingkaran itu. Dimulai dari kepala hingga ekornya. Berwujud Rubah berkaki empat.

Alpha A dan Centauri adalah nama robot tempur milikku dan Kiku. Mereka mendarat di hadapan kami. Menggeram layaknya Rubah asli. Bersiap bertempur kembali setelah lama berdiam diri di dimensi penyimpanan.

***

Daybreak in the Venus 2: The Secret of the Sun TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang