5. Pergi ke dunia daratan

0 1 0
                                    

Aku menceritakan apa yang terjadi pada Maggie. Maggie manggut-manggut, tentu paham dengan apa yang kujelaskan. Dia bermuka kusut seraya mengepalkan kedua tangannya.

"Aku memang tidak tahu apa-apa tentang dunia daratan, tetapi dari ceritamu, aku cemas jika istrimu tidak bisa menghadapi pasukan musuh itu," ujar Maggie memandangku dengan sendu.

"Itu yang aku takutkan. Karena itu, aku harus segera melihat keadaannya sekarang," tukasku yang ingin berdiri, tetapi tidak bisa.

"Jangan memaksakan dirimu, Zian."

"Tapi, aku harus pergi. Aku mencemaskan istriku."

"Jangan! Untuk saat ini, kamu tidak bisa bergerak! Kalau tidak, susunan tulangmu tidak beraturan!"

"Aaah!"

Aku berteriak kesakitan saat mencoba menggerakkan seluruh tubuhku. Tidak peduli dengan kondisi ini, yang penting, aku bisa bertemu lagi dengan Kiku. Namun, Maggie mencegahku.

"Jangan, Zian! Kamu belum sepenuhnya pulih! Beristirahatlah dulu! Turuti kata-kataku ini!" sanggah Maggie dengan mata yang menajam.

"Tapi, Kiku, istriku ... aku tidak bisa membiarkannya sendirian di luar sana!" balasku dengan intonasi tinggi, "aku takut dia juga mengalami hal yang sama denganku."

"Aku yakin dia pasti baik-baik saja."

"Tapi...."

"Biar aku dan temanku yang mencarinya. Kamu tunggu di sini, beristirahatlah sampai sembuh. Jika kamu sembuh, kamu bisa kembali ke dunia daratan."

"Baiklah."

Aku terpaksa menuruti keinginan Maggie. Gadis berambut pirang itu menarik selimut hingga sebatas leherku. Dia sangat perhatian, yang mengingatkan aku pada istriku.

"Ya, sudah. Aku keluar dulu. Apa kamu ingin makan atau minum?" tanya Maggie tersenyum, berdiri di samping ranjang.

"Aku tidak mau makan ataupun minum," jawabku menggeleng cepat.

"Baiklah. Jika kamu butuh sesuatu, kamu panggil saja aku. Aku pasti akan datang cepat menemuimu."

Aku mengangguk sekali lagi. Tidak bisa tersenyum. Kulihat, Maggie melemparkan senyumnya sekali lagi. Kemudian dia berlalu. Tidak lupa menutup pintu kamar lagi.

Lengang. Kini aku sendiri, dengan bertemankan kesunyian. Aku memandang langit-langit kecokelatan. Umpama ada wajah Kiku yang muncul di langit-langit itu. Kiku, aku sangat merindukanmu.

***

"Dia sudah sadar, ya?" tanya seorang laki-laki berambut pirang-keputihan. Dia baru saja datang dari arah mulut kolam.

"Ya, sudah dari tadi," jawab Maggie mengangguk, berdiri menghadap teman lelakinya itu.

"Lalu, kenapa mukamu muram begitu?"

"Dia, Zian ... sudah beristri."

"Oh, beristri. Apa? Dia sudah punya istri?"

Izzy Laird, membelalakkan mata sempurna. Telunjuknya mengarah pada kamar yang ditempati Zian. Dia yang telah mengobati Zian selama ini, dengan ramuan ajaib buatannya, karena dia berprofesi sebagai dokter.

"Kenapa kau terkejut begitu?" Maggie yang balik bertanya. Keningnya mengerut.

"Tampangnya masih remaja begitu, sudah menikah?" Izzi balik bertanya begitu.

"Aku tidak tahu soal itu. Tapi, tujuan kita yang lain adalah mencari Kiku, istrinya Zian itu."

"Mencari istrinya di mana?"

"Di dunia daratan."

"Kau gila, Maggie. Di atas sana, sangat berbahaya. Leluhur kita melarang kita untuk datang ke dunia daratan."

"Aku tidak peduli itu!"

Maggie menggeleng kuat, lantas menarik kerah baju Izzi. Mereka berjalan mendekati kolam yang berbentuk bulat. Masuk ke air laut, berenang bagai ikan, menyusuri terowongan pendek yang gelap dan dingin.

Laut dalam di dunia itu memiliki kedalaman dua puluh ribu meter. Apa kau bisa membayangkan betapa mengerikan dasarnya itu? Sangat gelap, sangat dingin, dan nyaris tidak ada hewan laut. Hanya dihuni oleh bangsa manusia ikan seperti Maggie dan Izzi.

Bangsa manusia ikan berjumlah sangat banyak. Mereka tinggal di gua-gua atau bangunan yang terbuat dari rumput laut dan batu karang. Bernapaskan insang. Memiliki sepasang telinga yang berbentuk sirip. Kedua tangan dan kedua kaki berselaput seperti kaki bebek.

Mata manusia ikan sangat tajam, mampu melihat dalam kegelapan. Mereka memiliki sihir tertentu, yang bisa digunakan hanya lewat ramuan.

"Maggie, pikirkan dulu. Kita tidak bisa pergi tanpa izin dari raja," tutur Izzi menarik tangan Maggie sehingga Maggie tertarik ke arahnya. Mereka tiba di mulut gua.

"Jika kita memberitahu semuanya dengan jujur, raja tidak akan mengizinkan kita," kelakar Maggie menepis tangan Izzi dari tangannya.

"Patuhilah kata-kataku. Ini demi keselamatan kita."

"Kita tidak perlu melakukan itu!"

Maggie kembali mencengkeram baju Izzi. Mereka berenang menuju sebuah lembah. Lembah itu diapit pegunungan batu karang yang cukup lebar. Suasana sepi ketika mereka berusaha lewat untuk keluar dari wilayah kerajaan.

"Maggie, kita harus kembali. Perjalanan ini sangat berbahaya jika kita teruskan," ucap Izzi mencoba memperingati Maggie.

Maggie tidak menanggapi perkataan Izzi. Bungkam, tetap terus berenang menuju jalan keluar. Dalam hatinya, sudah bertekad bulat untuk membantu Zian.

Apapun yang terjadi, aku harus menemukan istri Zian, batin Maggie.

Pengembaraan Maggie dan Izzi tetap berlanjut. Mereka berhasil keluar dari wilayah kerajaan laut dalam. Kini mereka berenang ke atas. Butuh berjam-jam untuk mencapai permukaan laut.

Di tengah perjalanan, kerap kali Maggie dan Izzi menemukan hambatan seperti diserang hewan-hewan laut pemangsa. Dengan kekuatan sihir yang dimiliki Izzi, mereka bisa melumpuhkan biota laut yang mengganggu.

"Sampai kapan kita akan sampai ke atas, Mag?" tanya Izzi tidak sabar. Napasnya tersengal-sengal karena sudah banyak menggunakan manna untuk menghadapi para musuh.

"Sedikit lagi, kita akan sampai," jawab Maggie tetap kuat untuk menarik Izzi, "lihat, ada cahaya di permukaan sana!"

Senyuman lebar tercetak di paras Maggie yang semringah. Hatinya menggebu-gebu dirinya untuk mencapai cahaya mentari yang telah menghangatkan dunia. Pagi yang cerah, menyambut Maggie dan Izzi dengan desiran angin laut.

"Silau sekali." Izzi melindungi matanya dengan kedua tangannya. Dia dan Maggie mengapung di permukaan laut yang terombang-ambing.

"Ini yang namanya matahari, ya? Ada langit, awan, dan cahaya. Persis yang diceritakan oleh ibu dulu." Maggie tersenyum dengan perasaan girang. Mengedarkan pandangan ke segala arah.

"Lalu, kita akan kemana?"

"Ke dunia daratan."

"Semuanya laut. Jadi, di mana daratannya?"

Izzi cemberut, sedangkan Maggie melongo. Lantas mereka celangak-celinguk untuk mencari sesuatu yang menjadi petunjuk arah. Butuh beberapa saat, hingga indera pendengaran mereka menangkap suara keras dari langit.

"Apa itu?" tanya Izzi lagi sambil menunjuk ke langit. Tampak robot tempur berbentuk Kucing sedang lewat di atasnya dan Maggie. Jarak ketinggian antara robot tempur dan laut, lima meter.

"Itu benda aneh yang kulihat saat Zian jatuh ke laut," jawab Maggie melihat robot Kucing itu sedang dikejar oleh beberapa robot Singa, "pasti setelah itu, terjadi ledakan besar."

Ucapan Maggie menjadi kenyataan. Beberapa detik kemudian, ledakan hebat terjadi di angkasa. Robot Kucing tadi yang berdentum karena terkena missil dari musuh.

Entah apa yang terjadi. Perang kembali terjadi di dunia itu. Banyak nyawa yang berjatuhan. Perekonomian dan semuanya lumpuh. Semua orang harus menjadi pejuang agar bisa mengalahkan kelompok pemberontak. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka.

***

Daybreak in the Venus 2: The Secret of the Sun TreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang