1. embun kaca

315 52 13
                                    

Jajaran rak makanan, dipenuhi warna dan kemasan memikat. Tak heran, terkadang terlihat beberapa orang diam cukup lama, sekedar memilih produk menuju meja kasir.

Rasa lapar yang semakin meningkat, membuat cacing di perut memaksa Rasen mengambil produk makanan sesegera mungkin.

Sesampainya di meja kasir, Rasen membayar total belanjaan lalu keluar dari super market. Berbekal jaket dan beberapa lapis baju musim dingin, ia menghalau salju seraya berjalan ke arah parkir mengambil mobil untuk pulang.

Tiga puluh menit kemudian, Rasen telah memindahkan belanjaan ke meja di dapur. Ia membuka jaket, mencuci tangan, memakai apron dan membersihkan bahan makanan.

Setiap irisan sayur dan daging, bumbu hingga cara Rasen memasak hidangan makan malamnya yang sudah terlambat itu, dilakukan dengan sebaik mungkin. Tekadnya hari ini hanya satu hal sederhana, menikmati makanan enak. Dan, haruslah masakan Indonesia.

Selepas mempersiapkan hidangan, Rasen menyiapkan meja makan. Ia menata piring, lalu sendok, dan serbet. Meski tak ada tamu yang ia undang, tapi mempersiapkan semua hal dengan sempurna, tak ada salahnya, bukan?

Begitu makanan di piring berpindah ke meja, senyum kelegaan bertengger manis di wajah tampan Rasen.

"Akhirnya..." Ucap Rasen, sudah tak sabar memakan hidangan di depannya.

"Hi!"
"Oh?"

Tubuh Rasen berbalik. Ia mendapati seorang gadis memberikan pelukan dari belakang dengan erat. Walau Rasen sudah hapal dengan suara familiar itu, tapi tetap saja sentuhan tiba-tiba selalu berhasil mengejutkannya.

"Vio?"
"Ah, gue jadi laper. Mau juga dong." Pinta gadis itu, memasang wajah murung dengan sengaja agar Rasen berbaik hati mau berbagi makanan.

"Boleh. Masih ada kok di dapur."
"Yes! Kita makan bareng ya."
"Ok. Btw, Kaka juga ke sini, Vio?"
"Iyalah! Tapi, dia masih di mobil."
"Oh gitu. Yaudah kita makannya bertiga aja."
"Ok. Gue ambil dulu."

Lima menit berlalu, Vio kini berada di samping Rasen ikut menyantap makan malam. Dan, seorang lelaki duduk manis dengan segelas wine memperhatikan mereka dari arah berlawanan.

"Lo masih gak butuh ART, Sen?"
"Full-Time maksud Lo?"
"Iya semacam itu. Gimana?"
"Belum butuh. Beres-beres rumah sama cuci baju juga udah cukup kok. Makan kan gue bisa beli atau bikin sendiri kayak gini. Lihat? Lebih mandiri."
"Gue gak ngerti sama orang kaya yang suka banget mempersulit hidup kayak Lo."

Rasen tak berkomentar. Ia melanjutkan santapan dalam rangka mengatasi rasa lapar. Semetara Vio masih asik berbicara ini dan itu tak peduli walau tak ada yang menyahut ucapannya.

"Tahun ini Kaka pulang ke Indonesia."
"Kaka bakal tinggal di Indonesia?"
"Um, bisa jadi. Kamu tenang aja, Kaka bakal sering-sering datang ke Jepang."
"Aku baik-baik aja kok Ka."
"Kaka tahu. Tapi selama kamu tinggal di sini, Kaka bakal tetep datang ke sini."

Rasen terlihat berhenti untuk melanjutkan aktivitas makannya, sementara Kakanya sama sekali tak menyentuh makanan sejak tadi. Wajah Rasen terlihat tenang, meski tak bisa menyembunyikan perasaan sedih.

Vio yang telah selesai makan, pergi ke dapur menyimpan piring kotor di wastafel. Walau sebenarnya bisa ia lakukan nanti, namun ia ingin memberikan sedikit ruang untuk Rasen dan Kakaknya saling berbicara.

"Berkabar kalau udah mau pergi."
"Pasti Sen. Kaka nanti kasih tau kamu."
"Zior! Kamu udah kasih tau Rasen, kamu ganti asisten pribadi lagi?" Ucap Vio, dari arah dapur dengan cup yogurt di tangannya.

"Ah itu," Wajah serius Zior berubah lebih hangat kala Vio kembali duduk di hadapannya seraya menyantap yogurt. "Kaka punya asisten baru. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungin Nich. Atau langsung hubungi Kaka juga gak apa-apa."

Rasen cukup terkejut, meski ia berusaha untuk tetap bersikap biasa saja.

"Kali ke-tiga? Kalau aku gak salah hitung."
"Empat, Sen."
"Rekor Ka."
"Yah, rekor." Tandas Zior, menyesap kembali wine seraya menatap Vio.

"Bukan salahku." Balas Vio, seolah menjawab tatapan Zior. "Itu pilihan kamu, Zior."

Ah, sudahlah. Wanita memang selalu benar, tak ada gunanya Zior mengajak berdebat. Oh? Bukan kah Zior memang tak mengajaknya berdebat? Lupakan, Vio hanya membuat sakit kepala.

Obrolan santai menjadi kegiatan lainnya yang mereka lakukan seraya menyantap cemilan. Dan, tepat pukul 10 malam, Zior juga Vio memilih untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing.

"Kalau masak lagi, kasih tau gue ya, Sen. Please! Gue suka banget masakan Lo."
"Vio, kamu bisa minta chef buat masak makanan kesukaan kamu. Jangan nyusahin, Rasen."
"Zior, adik kamu itu gak bisa dibandingin sama chef. Masakan dia itu otentik."
"Jangan mau ya Sen, Vio jangan terlalu dimanja."

Rasen hanya tersenyum, melihat Vio yang memelas sementara Zior dengan tenang menanahan kesal. Hingga, tak lama kemudian mereka pun pergi, meninggalkan Rasen.

Baru Rasen hendak beranjak, saku celananya bergetar. Ia mengangkat telpon dari seseorang yang selalu ia nanti.

"Halo?"

Lalu, Rasen lanjut berjalan, seraya melakukan panggilan namun di tengah obrolan ekspresi tenang di wajahnya perlahan memudar menjadi keterkejutan. Ia terdiam. Pikirannya begitu penuh dan sibuk, menerka mencari sebuah jawaban paling tepat.

Hingga, sambungan telepon pun berkahir.

Dingin malam dan salju yang masih turun menyentuh bumi, tiba-tiba saja menjadi sebuah momen sentimental bagi Rasen dan air matanya yang hampir terjatuh menuruni pipi.

"Sial. Dada gue, kenapa?"

Rasa sakit yang semakin menjadi membuat Rasen masuk ke dalam rumah, mencari kehangatan. Apapun yang telah terjadi, Rasen belum ingin mati, apalagi hipotermia karena salju.

catatan akhir tahun : Halo!!!!!!!!!!! Waduh gue comebacknya kecepatan gak, sih? Sumpah gue takut lupa sama cerita ini jadi gue putusin yaudah lanjut aja, sekalian ngerjain yang lain juga. Habis kalau udah lupa suka lama lagi nulisnya :( btw, itu Rasen dapet telpon apa? Dari siapa? Eh, Rasen beneran ada ternyata wkwkwk

Kira-kira Rasen bakal ketemu Neira gak ya?

∆Palindrome∆
a usual story

PalindromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang