Bila bumi dan seisinya berpihak pada Neira, saat tetap memberi nilai sempurna walau hanya belajar semalam untuk quiz paling sulit di semester ini, maka semua temannya diperbolehkan untuk meyakini sangat sulit mendapat keadilan.
"Besok tugas besar dikumpulin, Ra."
"Sumpah? Kok mendadak gini, sih?"
"Lho? Bukannya dari Minggu lalu udah dikasih tau sama asdos?"
"Aduh! Gue lupa."
"Progresnya udah sampai mana?"
"Baru selesai wawancara kemarin."
"Ra, mesti ngadu apalagi gue sama Tuhan? Lo kepalang males banget deh, tugas dikasih dari tiga bulan lalu masih belum kelar."
"Gue kan marathon Netflix, Win. Mana bisa gue ngerjain tugas."
"Alah, palingan nilai Lo tetep A+ meskipun ngerjain beberapa jam doang."
"Beda Win, beda. Ini tuh tugasnya susah."
"Udah ngumpulin dokumentasi buat pelengkap? Itu salah satu yang penting."
"Mampus gue lupa. Kemarin gue malah asik dengerin suara narsum, anjir."
"Bego Lo! Bego banget, sumpah."
"Ah, meninggal gue meninggal."
"Yaudah tinggal minta ketemuan, beres."
"Gak bisa. Narsum gue sibuk."
"Emang siapa?"
"Emang kalau gue kasih tau, Lo kenal?"
"Enggak sih. Yaudah jadinya gimana?"
"Tau ah, pusing gue."Percakapan santai selepas kuliah berubah menjadi kekhawatiran tak terkira, walau Winter merasa kesal pada Neira tapi diam-diam ia juga berdo'a agar Neira bisa menyelesaikan tugas meski mungkin harus merelakan jam tidurnya.
Tiga puluh menit kemudian Neira sampai di rumah, bangunan tua yang menemaninya sejak dalam kandungan. Ia membawa sepiring nasi makan siang dengan segelas air putih ke kamar, pesannya pada Ibu agar ia tak diganggu karena harus menyelesaikan tugas besar untuk besok. Ibu cuman mengangguk paham, tanpa sepatah kata.
Setelah laptop dibuka, seraya menyuapkan makanan, rekaman wawancara Neira transkrip manual. Suara Rasendra dan hujan, menjadi favorit barunya hingga tak terasa sulit untuk menyelesaikan komponen tugas dengan cepat.
Oh. Ada beberapa hal yang tak Neira mengerti, haruskah Neira menelpon Rasendra kembali?
Kebingungan melanda.
Neira terjepit, diambang 'mati'. Jika tak menyelesaikan tugas, ia mungkin akan mengulang mata kuliah tapi jika menelpon harus seberapa kurang ajar lagi Neira berlagak tak tahu diri menganggu Rasendra?
Cukup lama Neira berpikir... Terserahlah, toh, Neira juga tak akan bertemu Rasendra. Memang apa salahnya sedikit memanfaatkan orang yang gemar menolong?
"Halo?"
"Hi, Rasendra."
"Kenapa Neira? Ada yang bisa gue bantu?"
"Ah, ini gue ada yang gak ngerti sama beberapa istilah dari hasil wawancara. Boleh gak gue gangguin Lo sebentar?"
"Boleh dong. Yang mana yang gak ngerti?"Dan. Wajah tebal Neira memaksa diri menghadapi Rasendra yang terdengar tulus serta sabar mejelaskan semua hal mengenai tugas.
Tak terasa, tiga jam sudah Neira dan Rasendra saling menelpon. Tugas besar Neira bahkan nyaris selesai setengahnya, memang keberuntungan tak pernah lelah mengusik Neira.
"Ada lagi, yang masih Lo gak ngerti?"
"Kayaknya udah. Makasih banyak ya, Rasendra."
"Siap, Neira."
"Lo gak kuliah?"
"Kuliah gue udah selesai, tinggal wisuda."
"Oh, jadi Lo kating gue."
"Ya, kurang lebih."
"Gue beneran gak apa-apa nih, panggil Lo Rasendra doang?"
"Gak apa-apa. Atau biar lebih gampang, panggil Rasen aja."
"Rasen?"
"Ya, Neira."
"Ok, Makasih Rasen."
"Anytime."Panggilan pun berkahir.
Sejenak Neira terdiam. Ia tak pernah bertemu Rasendra tapi entah mengapa, suara sedikit berat dengan intonasi tenang itu selalu membuatnya ingin mendengar lagi dan lagi tanpa henti. Neira menggeleng pelan, apakah ini normal? Apakah ini hal yang lumrah? Apakah Suara Rasendra memang sangat menarik hingga membuat Neira sulit lupa? Atau ini karena Neira dan kejombloannya?
Lagi-lagi membingungkan.
Neira tak ingin buang waktu di saat jam terus berdenting menyempitkan jarak deadline, maka ia kembali fokus untuk menyelesaikan tugas besar.
Purnama nampak indah berselimut awan, meski kelabu mulai terlihat dan mungkin akan mengundang rintik hujan untuk membasahi tanah.
Setelah bergelut dengan laptop, catatan, printer, buku serta internet akhirnya tugas selesai. Ia melirik jam di dinding dan tak terasa sudah pukul enam pagi. Neira segera membersihkan diri lalu memakai setelan paling sederhana untuk pergi kuliah.
Dan, kini ia telah menuruni tangga, mengambil sandwich buatan sang ibu lalu pamit pergi.
"Neira berangkat ya, Bu."
"Iya, lancar ya kuliahnya."
"Iya Bu,"Oh?
Begitu keluar rumah, baru saja Neira menyadari sejak malam hujan dan baru reda. Jalanan basah, kubangan kecil terisi air, Neira memeluk diri yang kedinginan tak membawa jaket.
Mengendarai ojek online untuk sampai di kampus adalah pilihan yang efisien, tak perlu khawatir akan tiba terlambat walau artinya harus merelakan cukup uang jajan karena tak ada kode promo.
"Neira!"
"Oh, Winter!"Neira masuk ke dalam kelas, duduk manis menunggu asdos datang lalu mengumpul tugas dan belajar.
"Gimana tugas Lo?"
"Selesai dong."
"Tuh kan apa gue bilang, deadline gak ngaruh buat hidup Lo."
"Ngaruh lah, becanda Lo."
"Alah, paling pas pengumuman nilai entar nama Lo ada paling atas."
"Mana gue tau, ngumpulin tugas aja belum."
"Tebakan gue gak mungkin meleset."Neira tersenyum canggung, ia tahu winter hanya kesal saat usahanya mengerjakan tugas tak pernah bernasib semujur Neira, meski mereka tetap akrab dan berkawan.
"Gue mau nanya, Lo pernah gak suka sama suara seseorang?"
"Maksud Lo? Ya kalau dia penyiar radio atau podcast, pernah sih. Oh! Pernah juga gue suka sama yang ngisi suara iklan."
"Bukan, bukan. Maksud gue, ya, seseorang aja tanpa embel-embel kerjaan."
"Gebetan gitu? Atau pacar?"
"Maybe..."
"Pernah, ya namanya juga jatuh cinta, apapun tentang dia pasti gue suka."
"Jatuh cinta?"
"Kenapa? Lo lagi ngerasain?"
"Um, tapi gue gak pernah ketemu Win, terus dia juga bukan gebetan atau pacar gue."
"Ha? Emang suara dia yang bagus kali, jadi bikin Lo suka atau gak ya, mungkin karena Lo jomblo."
"Gue juga mikirnya kayak gitu, tapi aneh gak sih?"
"Coba deh Lo balikan sama mantan Lo, habis itu dengerin lagi suara dia. Masih terngiang gak? Masih suka gak?"
"Sembarangan!"
"Honestly, cuman itu yang bisa bikin Lo tahu kenapa Lo suka suara anon yang Lo denger."
"Gue ngerasa aneh."
"Menurut gue selama Lo gak jatuh cinta sama dia, gak aneh, biasa aja. Kecuali, Lo gak pernah ketemu... terus jatuh cinta cuman lewat suara, um I think is kinda weird."Asisten dosen tiba, Neira dan Winter mengakhiri obrolan mereka lalu mengumpulkan tugas, setelah itu mereka belajar bersama mahasiswa lainnya.
Usai perkuliahan, Winter mengajak Neira untuk menemaninya belanja beberapa aksesoris kamar di salah satu gerai ternama. Neira tak menolak, selama Winter juga mau menemaninya membeli sushi untuk ia dan sang Ibu.
Saat menunggu Winter mengeluarkan mobil dari parkiran, Neira melihat sesuatu yang mengingatkannya pada restoran tempo hari.
Ah, itu mobil gadis berambut blonde, bukan? Neira terdiam seraya memperhatikan gadis lain dengan rambut hitam sedada memasuki mobil lalu melenggang pergi. Mungkinkah, ia teman gadis berambut blonde? Mengingat ini kali pertama Neira melihat mobil mewah itu di sekitar kampus, Neira tak yakin gadis berambut blonde itu teman satu universitasnya.
"Ayo, Ra." Ucap Winter, menghampiri Neira.
"Win, dunia gak adil banget ya."
"Lha, Lo baru nyadar?"
"Kok bisa ya ada cewe cantik terus kaya, lengkap banget hidupnya."
"Sama aja kayak Lo, nilai Lo gede mulu meskipun males belajar. See? Gak adil kan."
"Julid banget sih, Lo! Terus aja ngatain gue."
"Ya, maaf gue kesel."
"Yaudah ayo, berangkat."Neira serius saat mengatakan dunia kadang bekerja dengan tak adil, tapi sepertinya ia keliru menjadikan Winter teman bicara. Hu, kadang ia hanya gadis biasa... merasa iri pada hal lain yang lebih indah, terutama saat itu bukan miliknya.
∆Palindrome∆
a usual story
KAMU SEDANG MEMBACA
Palindrome
Fanfiction𝙨𝙩𝙖𝙩𝙪𝙨 : 𝙤𝙣 𝙜𝙤𝙞𝙣𝙜 "Diuntai atau dirusak, hasilnya akan tetap sama. Aku dan kamu terikat, seperti awal dan akhir sebagai pelengkap." -Rasen, Neira. first series start : October 14th, 2020 finish : December, 21th 2020 second series star...