3. tanpa jarak

403 56 15
                                    

Hari kembali dimulai, pagi cerah menemani Rasen yang sedang berjalan menuju kantor.

Saat pintu ruangan kerja dibuka, Rasen menyadari kali ini bukan ia lah yang datang paling awal seperti biasanya.

"Oh, hai." Ucap Neira, berjalan tenang dengan segelas kopi di tangan. "Kopi?" Tanyanya, menyodorkan minuman itu pada Rasen yang masih diam, "Mau gue buatin juga?"

Seketika Rasen menggeleng pelan.

"Ok." Tandas Neira.

Pekerjaan yang telah menanti, satu persatu mulai diselesaikan. Terkadang Collete akan berbicara panjang lebar tentang perusahaan, sedangkan Neira dan Hiro menjadi pendengar setia.

Jam istirahat telah tiba, Neira dan Collete menuju lantai bawah untuk membeli makanan di sebuah restoran pinggir kantor.

"Kok Lo jadi pendiem sih, Sen?" Tanya Hiro, mendekati Rasen yang sejak pagi tak bergeming dari kursinya. "Lo gak suka ya ada Neira? Atau perlu gue minta Ka Bintang buat narik Neira, aja? Lagian kayaknya dia masih bisa kerja di perusahaan lain."

Wajah Rasen terlihat bingung, kemudian melihat Hiro di sebelahnya.

"Gue kayak pernah lihat dia, Hiro. Tapi, gue gak tau di mana. Apa mungkin dari film yang gue tonton ya?"

Hiro terlihat kesal dan mulai berdiri.

"Itu yang beberapa hari ini Lo pikirin? Karena Neira mirip artis?"
"Lo gak ngerasa emang?"
"Ya dia emang cantik, tapi gue gak tau dia mirip artis siapa. Buat gue, dia cantik aja. Lo suka banget sama tuh, artis? Sampe gak bisa lupa?"
"Namanya juga penasaran."
"Tanyalah sama Neira. Gue kira Lo gak betah di kantor karena ada dia. Kan gue jadi serba salah."
"Emang gue keliatan kayak yang gak suka?"
"Um... cuek banget anjir Lo sama dia. Kasian dia, bingung udah bikin dosa apa sama Lo? Sampai nanya Collete, Lo emang suka nyuekin orang?"
"Apa gue traktir dia makan aja kali, ya?"
"Udah telat berapa hari, woy!"
"Kalian udah makan bareng emang?"
"Lha?! Hari pertama dia ke sini juga kita langsung rayain, tapi malam itu Lo bilang pengen balik. Jadi, Lo gak join."
"Ah, yaudah deh. Gue traktir dia makan siang aja."
"Sekarang?"
"Iya,"
"Lo gak nyadar dia udah turun bareng Latte?"
"Eh? Anjir. Kok bisa?"
"Jangan lihat laptop mulu, makanya."

Hiro pergi meninggalkan Rasen seorang diri. Selanjutnya Rasen hanya menghela nafas panjang, ia memang cukup familiar dengan wajah Neira. Sungguh rasanya sangat tak memuaskan saat hingga detik ini, Rasen tak bisa mengingat siapa artis yang sangat mirip dengan Neira.

Kembali mengerjakan pekerjaan, Rasen menghampiri Neira yang sedang bergelut dengan komputer dan beberapa berkas.

"Gimana kerjaan, Lo?" Tanya Rasen, berdiri di hadapan Neira.

"Baik. Latte ngasih tau gue step buat bikin beberapa dokumen. Gue tinggal nyiapin berkas."

"Oh gitu."
"Iya."

Keheningan menyapa.

Sementara Neira fokus pada komputer, Rasen melihat ke luar jendela.

"Malam ini Lo, sibuk?" Tanya Rasen kembali.

Neira terlihat menghentikan aktifitasnya sejenak.

"Gue harus jemput adik gue habis pulang dari kantor, jadi... iya, gue sibuk."
"Bagus deh, good luck."

Ketika Rasen meninggalkan Neira, raut kebingungan tak bisa bersembunyi di wajah perempuan itu.

"Apa Lo mau ngajak gue atau bilang sesuatu?" Tanya Neira, menahan langkah Rasen.

"Hiro bilang gue bikin Lo salah paham," Jawab Rasen perlahan berbalik, "Jadi, gue mau ngelurusin beberapa hal sama Lo."

"Salah paham? Tentang?"
"Gue terlalu cuek?"
"Ah, itu... kalau Lo nyaman sama sikap cuek Lo, gue gak masalah tapi gue butuh waktu buat nyesuaiin diri."

Rasen terlihat diam sejenak.

"Lo gak perlu nyesuaiin diri sama gue. Selama di kantor gue pengen kita profesional dan gue mau nebus kesalahan karena berlaku sebaliknya."

Kini, Neira yang terdiam.

"Senin Minggu depan, gue free." Tandas Neira, kembali menatap komputer dan mengerjakan berkas sementara Rasen mengangguk pelan kemudian berlalu.

Hari terus berganti, pekerjaan semakin menuju titik terang akan usaha yang telah Rasen, Latte, Hiro dan Neira lakukan.

Dibanding semua orang di kantor, Rasen adalah yang paling terbiasa bekerja lembur. Namun kali ini sematan untuknya tergeser setelah Neira menjadi teladan yang menyelesaikan pekerjaan hingga larut.

Di kereta api, Rasen duduk terpisah beberapa kursi di hadapan Neira. Entah begitu lelah hingga tak menyadari, atau Neira bersikap acuh dan tak mempedulikan Rasen. Tapi, Neira tertidur pulas sepanjang perjalanan.

Rasen tak menegur atau menyapa, ia diam seolah tak mengenal Neira. Hanya saja, tatapan mata Rasen seringkali tak teralih dari Neira.

"Huft." Keluh Rasen, cukup terganggu dengan kondisi Neira yang terus menjatuhkan kepala ke sisi penumpang di sebelahnya. 

Kereta sampai di stasiun pemberhentian terakhir, Neira terbangun sendirian di dalam gerbong dengan sebuah syal di antara kepala dan dinding baja di sampingnya.

"Oh?" Setengah sadar ia melihat warna syal itu, "Rasen?" Ucapnya, mengingat siapa pemilik syal yang sedang ia pegang.

∆Palindrome∆
a usual story

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PalindromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang