16. sepi sejuk

320 63 35
                                    

Di hadapan cermin, Neira berkaca. Mengenakan gaun hitam selutut dengan rambut hitam terurai sebahu, ia baru saja melepaskan perban di kepala. Sudah tak ada luka, tak ada yang harus diobati.

Huft.

Sejak pulang dari rumah sakit dua hari lalu, Neira tak bisa berhenti memikirkan banyak hal tak masuk akal namun tetap terjadi di sekitarnya. Seperti, pelaku pembunuhan yang akhirnya mengakui semua kejahatan yang telah dilakukannya, manusia keji itu bahkan berkata ia tak memiliki alasan khusus untuk membunuh Noile atau blonde girl. Celakanya, semua hal itu ia lakukan sendiri, tak sama dengan perkiraan polisi dan membuat kasus ini masuk jajaran berita nasional dengan kejahatan tingkat tinggi. Terkadang, bulu roma Neira berdiri saat tak sengaja membayangkan kengerian yang harus dialami gadis-gadis tak bersalah itu.

Sebagai manusia yang masih memiliki perasaan, Neira berencana berziarah ke makam Noile. Sekedar kunjungan dan do'a baik agar temannya tenang di tempat nan jauh, meski Neira terlambat satu Minggu.

"Udah siap, sayang?" Tanya Ayah, di ambang pintu, hendak mengantarkan Neira.

"Ayah..."
"Ya, Nak?"
"Tahun ini Neira dua kali pakai baju hitam buat ke pemakaman." Ucap Neira, tak beranjak menatap cermin. "Neira gak mau sering-sering pake baju ini atau pergi ke pemakaman." Lanjutnya, kini berbalik lalu menatap Ayah.

Ayah mendekat, kemudian memeluk dan mencium puncak kepala Neira.

"Kita bakal nikmatin sisa tahun di hidup kita dengan lebih bahagia. Gak ada lagi kematian untuk siapapun atau kapanpun. Kita bakal hidup tenang untuk waktu yang lama."

Neira balas memeluk ayah, erat. Dalam hati Neira amarah dan kecewa itu masih bersisa namun entah mengapa ia memilih mengalah begitu saja tanpa alasan dan membiarkan Ayah memberikan segenap rasa sayang seperti sedia kala, ah, atau mungkin jauh lebih besar dari sebelumnya.

"Ayah. Sampai kapan Siren sama Sidney bakal tinggal sama Luna?" Tanya Neira tiba-tiba, um, atau sebenernya memang sudah cukup lama Neira memikirkan keadaan adik tirinya yang terpaksa Ayah sembunyikan agar tak mengundang amarahnya. "Mereka udah kehilangan Mamahnya, Neira rasa gak adil kalau mereka harus kehilangan Papahnya juga. Ajak mereka ke sini Ayah, tinggal sama kita. Neira gak janji bisa nerima mereka dalam satu malam, tapi Neira bakal nyesuaiin diri sama mereka. Neira bakal berusaha sebisa mungkin."

Ayah... tersentuh, hingga menitikan air mata. Penyesalan terdalam karena telah mengecewakan Neira mencuat begitu besar. Jika... jika Ayah bisa kembali memutar waktu ia mungkin tak akan mengulang sebuah kesalahan yang membuatnya nyaris kehilangan Neira. Walau, ia tak pernah membeci kehadiran Siren dan Sidney.

"Makasih sayang."
"Jangan selingkuh lagi ya Ayah, kecuali Ayah mau secepetnya pake baju hitam di pemakaman Neira."

Deug.

"Nak..."
"Neira sayang Ayah."

Perjalanan menuju makam, bertambah satu personil, Winter.

Neira sengaja menelpon Winter mengajaknya untuk bertemu sekaligus berpamitan pada Noile. Mereka hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, terlepas bagaimanapun Noile saat hidup Neira tak ingin menyisakan hal buruk untuk dikenang.

Sesampainya di komplek pemakaman, Winter dan Neira mencari batu nisan Noile tanpa Ayah yang sedang menunggu di salah satu warung kopi masih di dekat pemakaman. Ayah dengan berat hati mengikuti permintaan Neira yang tak ingin jika Neira menangis di makam Noile akan membuatnya khawatir. 

"Ini Ra, bener namanya." Ucap Winter seraya menunjuk sebuah nisan.

Neira mendekat lalu menaruh bunga, ia diam sejenak menatap hamparan rumput hijau di atas gundukan tanah yang belum mengering.

PalindromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang