4. dua jalan

286 76 7
                                    

Hujan dan payung. Musik dan lampu temaram. Neira dan ketenangan. Semua adalah paket lengkap untuk menangisi hati yang patah di balik jendela kamar yang berembun.

Menjalin hubungan dua tahun lamanya tak mungkin bisa dilupakan semudah hilang ingatan, bukan? Neira menghabiskan sisa kesedihan di hati, mau bagaimanapun ia harus menghadapi sisi emosional diri. Itu mutlak.

Huft.

Setelah merasa cukup mamandangi halu lalang manusia dan payung mereka dari atas jendela kamar, Neira beranjak, ia menanggalkan selimut lalu pergi ke bawah.

"Ayah mana, Bu?" Ucap Neira, pada Ibu yang sedang menonton tv.

"Di kamar, lagi masukin baju ke koper."
"Ayah, mau pergi lagi?"
"Iya Neira."
"Rumah udah mirip terminal ya Bu, cuman tempat singgah aja." Tandas Neira, mengambil segelas air putih lalu meneguknya.

"Kata siapa rumah ini cuman terminal?" Balas Ayah yang tak sengaja mendengar seraya berjalan ke arah ruang keluarga. "Rumah ini tempat paling indah dan nyaman buat Ayah pulang, tapi Ayah harus cari uang supaya kita semua tetep bisa hidup dengan nyaman. Nanti, kalau kamu udah dewasa kamu bakal ngerti, Nak."

Neira diam, melihat senyuman Ayah yang melewatinya sebelum duduk di sebelah ibu untuk menonton tv bersama.

Ya, memang tak semua hal di dunia ini gratis, beberapa butuh pengorbanan. Seperti Neira yang ingin Ayah dan Ibu selalu ada di rumah, nyantanya harus rela terbiasa dengan ketidakhadiran Ayah agar ia tetep bisa hidup sejahtera tanpa takut kelaparan.

"Kapan Ayah pensiun?" Tanyanya dengan polos membuat Ibu dan Ayah segera menengok terkejut tanpa berucap. "Nanti kalau Neira udah selesai kuliah, udah wisuda, biar Neira aja yang kerja. Ayah sama Ibu di rumah aja atau liburan, Ayah gak usah dinas-dinas lagi."

Tak ada keraguan dalam raut wajah Neira, ia bersungguh-sungguh dan orang tuanya tahu betul akan hal itu.

"Kalau gitu selesein dulu kuliah kamu. Ayah titip nilai yang bagus, biar wisuda nanti Ayah bisa pamer sama temen di kantor." Jawabnya, memberi sedikit guyon untuk menghilangkan kecanggungan.

"Ayah gak usah khawatir, nilai aku pasti sempurna. Lihat aja nanti."

Sekarang Neira memilih pergi, menyusuri tangga lalu masuk kamar. Sementara Ayah dan Ibu kembali menonton tv seraya diam-diam membicarakan putri mereka yang mulai beranjak dewasa.

Di meja belajar, Neira membuka laptop lalu kembali mencari nama Rasendra pada kolom google. Namun, di sana terlalu banyak nama dengan akun tak jelas. Tak ada gambar sebagai petunjuk, link, bio atau apapun. Hm, apa Rasen tak mengikuti arus digital? Apa ia tak memiliki media sosial?

Apa yang sebenarnya Neira ketahui tentang Rasen selain nama universitas dan statusnya sebagai informan tugas besar? Setelah dipikir dengan serius, jawabannya, tak ada. Neira tak tahu apa-apa tentang Rasen.

Neira mengambil telepon, melihat layar di sana dengan nama Rasen dalam daftar panggilan. Ia ingin sekali menelpon lelaki itu, mendengar suaranya lalu diam dan menikmati monolog Rasen yang akan berbicara panjang lebar saat menjelaskan sesuatu. Namun sayang, Neira tak berani, ia terlalu pecundang untuk diberi label penganggu atau mesum. Oh! Tidak. Jangan sampai.

Setelah membuang nafas panjang, sepertinya ia tak berniat melakukan kegiatan apapun hingga pagi tiba dan kembali berkuliah seperti biasa.

Ddrtt...

Ddrtt...

Tapi, wajah sumringah Neira saat melihat nama Rasen di layar membuatnya tak perlu berpikir dua kali untuk membatalkan jadwal tidur cepat dan kegiatan do nothing dihari libur.

"Ya, Rasen?"
"Halo, Neira."
"Hi! Ada apa?"
"Oh? Gak ada apa-apa, Gue cuman pengen nelpon Lo aja. Lo lagi sibuk?"
"Tumben? Enggak kok. Gak ada tugas atau apapun, dari pagi Gue cuman ngelamun liatin orang kehujanan."
"Ha? Sumpah? Lo lucu banget sih! Emang gak ada kegiatan lain?"
"Sumpah! Gak ada, lagi males aja. Lo sendiri gimana? Sibuk?"
"Lagi istirahat, free kok."
"Ngomong-ngomong, Lo punya Instagram gak?"
"Ada. Kenapa? Lo mau follow?"
"Ha? Ah, um, itu..."
"Apa nama user Lo? Biar Gue follow."
"Serius?"
"Iya dong, masa becanda."
"Symn, itu nama user Gue."
"User Lo unik. Bentar ya, Gue follow dulu."

Luar biasa. Neira sampai senyum sendiri tak mengira Rasen bergerak cepat untuk mengetuk pintu hatinya.

Oh? Tunggu dulu, bukankah ini akun tak jelas yang dilihat Neira beberapa hari lalu?

"Udah Neira. Follback ya."
"Ok. Ok."

Neira pun menekan tombol ikuti balik.

"Kenapa semuanya warna item, Rasen?"
"Instagram Gue?"
"Iya."
"Warnanya lebih netral aja, lagian media sosial kan gak merepresentasikan 100% diri kita, cuman tempat aktualisasi doang. Gue rasa gak perlu sesuatu yang lebih dari pada ini."
"Gitu ya. Soalnya gak ada satupun foto Lo."
"Oh... Kalau itu, Guenya aja yang gak sering difoto jadi gak ada yang bisa diupload."
"Oh... Ok. Ok. Ngomong-ngomong, Lo tuh anak jurusan apa?"
"Bukannya Gue udah bilang waktu wawancara? Gue anak kedokteran."
"Enggak ada Rasen, Gue dengerin hasil wawancara tapi Lo gak nyebutin jurusan kuliah. Berarti bentar lagi Co-Ass dong?"
"Gitu ya... Gue mulai Co-Ass bulan depan."

Obrolan Neira dan Rasen merubah durasi detik menjadi jam. Mereka bicara banyak hal, terutama hal favorit di antara keduanya, seperti ; makanan, film, tempat, hobi atau kegiatan tak karuan yang dilakukan saat libur. Di sela percakapan selalu terselip tawa, entah Rasen yang merasa lucu dengan tingkah polos Neira atau justru Neira yang geli dengan sikap terus terang Rasen.

"Gue boleh tanya sesuatu?"
"Boleh dong, apa?"
"Tipe pasangan ideal Lo, kayak gimana?"
"Gimana ya... Gue gak suka terikat, selama dia gak posesif dan berusaha ngerti diri Gue dengan baik, udah cukup. Selebihnya yah standar. Kalau Lo gimana?"
"Gue suka sama orang yang bisa diajak komunikasi dengan baik, gak mengekang dan ngasih ruang buat diri Gue. Kalau tentang fisik, Gue gak punya kriteria khusus."
"Well, bukannya Gue mau niru tapi Gue juga gak punya kriteria khusus buat fisik. Btw, gimana kalau pas kita ketemuan entar sekalian main aja? Gue pengen jalan-jalan."
"Lo mau main kemana?"
"Bebas. Gue ikut aja kalau Lo punya rekomendasi."
"Ok. Kebetulan ada tempat yang pengen Gue datengin, nanti kita ke sana aja."
"Ok. Lo sering jalan-jalan ya?"
"Gak sering. Biasanya, kalau lagi pengen pergi ya Gue pergi nyusurin jalanan kota, habis itu ke kafe nongkrong, terus pulang."
"Sama temen-temen Lo?"
"Sendirian. Lagian, kadang Gue pengen pergi mendadak jadi susah kalau ngajak orang lain."
"Oh gitu... Kayaknya asik ya."
"Tapi Gue selalu jalan pas malem, siang kadang gak ada banyak waktu."
"Wajar sih, kuliah Lo emang nyita waktu."
"Ya, kurang lebih."

Setelah tiga jam lamanya. Neira mengakhiri obrolan hangat dengan Rasen, mengingat ia harus segera makan malam bersama kedua orang tua di lantai bawah.

Simpul senyum mengembang sempurna. Menakjubkan, saat Rasen dengan sabar mendengar semua cerita Neira, memuji bahkan bersikap humoris, membuat hatinya sedikit terisi walau sempat patah beberapa saat lalu.

Neira tak ingin menghindar, ia sadar, Rasen membuatnya sangat nyaman untuk sekedar bersandar sebagai teman cerita.

catatan akhir kuliah; have you ever get experience like Neira? Interested with someone voice even you never meet him/her?

∆Palindrome∆
a usual story

PalindromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang