"Aku tak tahu." Ia menjawab. Kepalanya kembali tertunduk, tak mampu memandang wajah rupawan pria tua itu. "Kau harus secepatnya bertemu dengannya." Menghela napas, David kembali berujar, "Dia sudah cukup menderita sekarang."Wanita itu menyetujui apa yang dikatakan David. Dia tahu, bagaimana perasaan pria itu padanya. Dan dirinya pun tidak bisa membohongi hatinya tentang hal itu. Dia menyayanginya, begitupun Brian. Walau pria itu tidak mengatakan dengan langsung, dia bisa merasakan bagaimana sayangnya dia padanya.
"Nanti." Wanita itu menghela napas. "Setelah aku benar-benar siap. Aku akan menemuinya."
***
Untuk kesekian kali Brian tak hentinya tersenyum melihat tingkah manis putri kecilnya yang beranjak hampir setahun. Kaki mungil itu mulai belajar menapak ke bumi dengan bimbingan Zainab. Dari jendela ruang kerjanya, ia bisa melihat putri kecilnya tertawa bersama dengan Zainab membuat hatinya layu.
Bayangan akan senyum tipis milik wanita itu membuat senyuman di bibirnya terkikis sudah. Tawanya sama seperti tawa milik wanita itu. Kanaya. Entah harus berapa kali bayangan wanita cantik namun rapuh itu mengusik pikirannya. Beribu sesal menyeruak, menyesakkan dada. Tentang perilaku kejamnya membuat wanita itu menangis, merintih, memohon ampun padanya waktu awal pernikahan mereka.
Andai kau yang mengajari putri kecil kita berjalan. Aku akan menjadi pria paling bahagia, Sayang, gumannya dalam hati.
"Kau menyesal, Nak?"
Wajah sedih itu berubah datar. Dari ekor matanya ia bisa melihat Amanda memandang sendu cicit kesayangannya itu. Entah sudah berapa lama wanita tua itu berdiri di sampingnya. Bibirnya kembali melengkung, miris. Netra setajam pisau itu mulai berkaca-kaca.
"Yeah ... aku sungguh menyesal."
Tangan besarnya mengusap butiran berjatuhan tanpa permisi. Entah, mengingat wanita yang dicintainya membuat pria berhati batu seperti Brian menjadi rapuh. Untuk kesekian kali ia tidak bisa mengontrol dirinya agar tidak menangis. Namun sayang, kontrol dirinya selalu dapat dipatahkan hanya dengan mengingat Kanaya.
Pengaruh wanita itu terlalu kuat untuk dirinya. Pesonanya terlalu kuat untuk hanya sebatas wanita biasa. Wanita yang dia beli dengan harga 1 milyar dan berakhir menjadi wanita kedua yang dicintai selain Bundanya.
Menghela napas, Amanda berucap sedih, "Tapi, semua sudah terlambah, Nak. Dia sudah pergi meninggalkan kita menemui Sang Pencipta."
Tangis Brian pecah. Tubuh kekar itu merosot. Bahunya bergetar seiring keras ia menahan rasa sakit itu. "A--aku sungguh menyesal tidak mengatakan aku sungguh sangat mencintainya, Nek."
***
Ketukan sepatu menggema mengalihkan konsentrasi para manusia-manusia sibuk dari tugasnya. Netra mereka menatap tak berkedip ketika Tania--sang asisten manager yang digadang-gadang memiliki hubungan khusus dengan sang CEO melintasi ruangan mereka dengan setumpuk berkas di tangan.
Bibir merah darah itu menyunggingkan senyum menggoda. Bayangan wajah tampan sang Bos tergambar jelas di benaknya membuat tekad dalam dada tertanam kuat. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan duda kaya raya itu. Apa pun caranya. pikirnya positif thinking.
Senyuman di bibirnya semakin lebar ketika pintu ruangan pria tampan itu tepat menjulang di hadapannya. Rose dan Mike yang menjaga pintu ruangan sang Tuan, melirik wanita itu. Kening keduanya mengerut ketika melihat bluse yang wanita itu kenakan. Super ketat hingga mengekspos area terlarangnya.
"Apa dia berniat menggoda Mr. Alexander?" Rose berbisik ketika Tania masuk ke ruangan sang Bos.
"Dari pakaian yang dia kenakan mungkin saja jawabannya iya." Mike mendesah resah. "Semoga saja Mr. Alexander tidak tergoda dengan wanita sundal itu."
Tawa Rose pecah. Wajah datarnya memerah mendengar keluhan teman satu profesinya. "Mr. Alexander tergoda? Yang benar saja! Apa Anda lupa, Mike. Berapa kali kita menyeret wanita penggoda keluar dari ruangan Boss besar kita, hem? Dan, apakah kau masih ingat gaun yang mereka kenakan berlumur darah. Apa kau lupa?"
Mike mengiyakan apa yang dikatakan rekannya. Wajah tampan nan datar itu seketika berubah sendu. "Saya masih mengingat dengan jelas kemarahannya beberapa waktu lalu. Saya dengan jelas melihat luka mendalam dari sorot matanya. Bahkan saya bisa melihat kerinduan mendalam akan sosok wanita luar biasa seperti Miss Alexander. Mr. Alexander begitu mencintai Istrinya hingga tak mampu berpaling dari wanita manapun."
Helaan napas kasar keluar begitu saja dari bibir pria itu. Wajahnya menunduk, memperhatikan kedua tangannya. "Andai saja waktu itu tangan ini bisa menyelamatkan Miss Alexander. Saya tidak akan merasakan penyesalan sebesar ini."
"Tidak hanya Anda saja, ta--"
Dering panggilan mengalihkan kesedihan Rose. Beberapa kali ia menjumpai siapa penelepon sialan yang berani memotong perkataannya. Dengan marah ia mengangkat.
"Halo! Siapa ini?!"
***
"Di mana ruangan bosmu. Aku ingin menemui Boss kalian." Wanita berpakaian serba hitam itu memberi perintah. Netra berbingkai kacamata minus itu menyipit, mengamati penampilan absurd wanita itu.
Wanita itu mengenakan blouse hitam panjang tanpa lengan. Rambut pirangnya bersinar seakan dunia menyambutnya dengan senyuman. Wanita itu terlihat cantik namun di lain sisi, wanita itu terlihat menakutkan. Auranya kelam mengaur ketika hils berpijak di Alexander Corp.
"Maaf, Miss. Apakah Anda sudah membuat janji sebelumnya dengan Mr. Alexander?" tanya sang resepsionis.
Wanita dengan mata sebiru lautan itu mendekat ke meja resepsionis, tangannya bertopang dagu, menatap wajah resepsionis rempong itu. Wajah anggunnya lenyap terganti dengan wajah penuh arogansi. "Coba kau amati wajahku."
Bibir tipis wanita itu kembali meluncurkan perintah. Kening sang resepsionis yang diketahui bernama Gabriella mengeryit tak mengerti. "Anda cantik, Miss."
Jawaban Gabriella membuatnya mendengus tak sopan. Apa minus sang resepsionis bertambah hingga tak mengamati lebih detail wajahnya.
"Thanks, tapi bukan itu maksudku. Apakah wajahku tidak mirip dengan Bosmu?" Dengan berat hati, Gabriella menggeleng. "Anda dan Bos kami tidak ada kemiripan sama sekali. Kecuali ...."
"Kecuali ...?" Gadis cantik itu menunggu dengan sabar. Kejoranya berbinar mendengar pengecualian yang akan dilontarkan sang resepsionis.
"Mata kalian yang berwarna kebiruan. Tapi ...."
Gabriella terlonjak kaget ketika wanita cantik di hadapannya menggebrak meja. Lalu lalang para pegawai berhenti, beralih melihat pertikaian yang akan terjadi.
"Tapi apa lagi! Kau ingin mengatakan kalau warna rambut kami berbeda, iya? Aku beritahu padamu. Aku ...." wanita itu menunjuk dirinya sendiri. "Brianna Alexandra Georgia Morgan, Adik kandung Bosmu."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI SATU MILYAR
De TodoBrian terpuruk setelah kematian Kanaya. Rasa cintanya tidak sama sekali memudar walau usia sudah tidak lagi muda. 37 Tahun. Usia matang seorang seharusnya membina rumah tangga namun tidak untuk Brian sendiri. Berbagai usaha telah Amanda lakukan namu...