part 6 - Adopsi

94 11 2
                                    


Beberapa kali Brian melirik wanita bercadar di sampingnya ketika tengah mengajak putri kecilnya bercakap-cakap. Walau masih berusia kisaran satu Tahun lebih, terlihat Anaya mulai merespons apa yang dikatakan pengasuhnya. Tawa bahagia, godaan, selalu wanita itu berikan pada Anaya.

Pagi ini ia meminta Zainab ikut serta ke perusahaan membawa Anaya menemaninya. Rasa cintanya pada sang buah hati kadang membuatnya merindu. Kejora kecoklatan itu mengingatkannya pada sosok Kanaya yang selalu menguasi pikiran dan hatinya.

Musik mengalun indah, membuat hati dan pikirannya tenang. Netranya tak sengaja bertemu dengan kejora kecoklatan milik wanita bercadar di sampingnya untuk sesaat. Entah mengapa, binar di mata itu mengingatkannya pada Kanaya. Bayang-bayang senyuman wanita itu terus menghiasi pikirannya.

"Kanaya ...." Brian mengguman, memanggil namanya.

Beberapa kali Kanaya mengerjab, kembali ia menunduk menemani Anaya bermain. Ia bersikap seolah tidak mendengar gumanan sang Tuan yang memanggil namanya. Apa begitu cintakah dia hingga sampai salah menyebut nama orang?

Mobil berbelok, memasuki kawasan perkantoran. Kemudian terhenti. Dengan sigap, Brian melangkah keluar, memutari mobil. Membuka pintu untuk pengasuh putrinya.

Sopir yang melihat perlakuan manis sang Tuan dibuat terheran-heran akan sikapnya yang tak biasa. Seingatnya, sang Tuan membukakan pintu hanya pada sang Nyonya. Kanaya. Namun, kali ini pada pengasuhnya? What's wrong Brain Alexander?

Brian meraih Ayana dalam pelukkannya, membawanya memasuki lift yang menghubungkan basement dengan lobi kantor, disusul Kanaya di belakangnya.

Di balik cadarnya Kanaya tersenyum bahagia. Sang Tuan telah berubah menjadi sosok Ayah yang baik. Berbeda ketika mereka bersama tanpa kehadiran makhluk kecil menakjubkan di antara mereka. Kanaya bersyukur Brian mencintai buah cinta mereka walau awalnya hanya sebuah keterpaksaan saja.

Lift berdenting terbuka, Brian melangkah keluar tanpa menghiraukan sapaan bawahannya. Fokusnya hanya pada putri kecilnya yang mulai aktif merangkak dan berceloteh dengan bahasanya sendiri.

Bawahannya khususnya kaum Hawa terkagum-kagum akan sosok sang Bos yang terlihat seperti model gentlemen tengah menggendong putrinya. Bisik-bisik mulai terdengar di indra pendengaran Kanaya membuatnya menggelengkan kepalanya, heran. Berbeda dengan Brian yang tenang tanpa mendengarkan ocehan bawahannya yang terkesan seperti angin lewat.

"Mr. Alexander!"

Brian menghentikan langkahnya, berbalik diikuti Kanaya membalikkan tubuh mereka. Seorang pria berpakaian perlente menunduk dengan tangan bertopang pada lutut. Napasnya terengah-engah, seakan baru saja dikejar anjing galak.

"Ada apa, James? Mengapa kau berlari begitu?" tanya Brian, heran akan sikap James.

"Itu ... diluar. Ada ...."

Brian melangkah diikuti Kanaya melenggang menuju pos sekuriti tanpa mendengar James melanjutkan perkataannya. James berlari, mengikuti sang Tuan.

Di pos sekuriti, karyawan maupun karyawati terlihat berkerumun. Entah apa yang mengundang mereka berkumpul hingga lupa jam kerja. Tangis bayi menggema, membuat para bawahannya kebingunan.

"Minggir!" Suara James menggema, membuat para bawahannya menyingkir memberi jalan.

Kanaya tertegun, kemudian berlari, meraih bayi itu dalam dekapannya. Ia meninang bayi itu dengan penuh kasih. Sesekali tangan berbalut heandshock itu menepuk-nepuk pantat anak itu pelan tanpa berniat menyakiti. Tangisan bayi itu reda. Semua orang yang berkerumun menghela napas lega.

Aksi Kanaya tak luput dari pandangan pria berwajah datar di sampingnya. Tanpa sadar bibir pria itu melengkung tipis melihat betapa piawainya Kanaya menenangkan bayi itu.

"Bubar." Brian berseru. Suaranya terdengar tenang namun terkesan mengintimidasi. Tanpa menunggu sang Bos mengulang kembali seruannya, mereka melenggang menuju ke dalam kantor. Setumpuk pekerjaan telah menunggu.

Brian melangkah mendekati Kanaya. Ia menelisik bayi dalam gendongan Kanaya tengah terlelap damai. Entah mengapa dadanya menghangat ketika menatap bayi itu. Seperti ada suatu magnet yang membuatnya seakan tertarik oleh bayi itu.

Beberapa kali pria berkacamata itu mengelap kacamatanya lalu memakainya kembali. Hanya untuk menyakinkan indra penglihatannya yang dirasa rabun mulai menambah atau tidak. Namun, tetap saja sama. Fitur anak itu sama persis dengan wajah pria penuh arogansi di sampingnya.

"Entah ini penglihatanku yang salah atau memang bagaimana. Dia sangat mirip dengan Anda, Tuan. Apalagi bentuk wajah, warna rambut, dan juga warna matanya," bisik James.

Brian menoleh padanya. Wajahnya terlihat tidak suka dibanding-bandingkan dengan seseorang, apalagi bayi mungil didekapan Kanaya.

"Sebaiknya setelah ini kau pergilah ke poli mata. Cek berapa minusmu itu, James. Bertambah apa tidak!" desisnya, tak suka.

James menunduk, tak mampu mencela perkataan sang Tuan. Membantah tak ada untungnya sama sekali malah akan memperkeruh suasana hatinya.

"Aaron sangat tampan." Kanaya mengguman, sesekali menciuman bayi dalam gendongannya.

Alis Brian naik sebelah. "Aaron?"

Kanaya meraih sepucuk surat dalam pakaian bayi itu, memberikannya pada sang Tuan. Ayana diserahkan pada James. Dengan tak sabar, ia meraih kasar kertas itu, membacanya. Wajah datarnya berubah memarah. Diremasnya sepucuk surat tersebut, dengan kesal membuangnya asal.

Brian mengusap wajahnya marah frustasi. Mengapa Ibu dari bayi itu tega membuang anaknya sendiri dengan alasan tak mampu? Lalu, mengapa ia membiarkan seorang pria menaburkan benih ke rahimnya? Wajah tampannya merah padam.

"Tuan, sebaiknya kita lapor ke polisi atau bagaimana?" James bertanya setelah diam cukup lama.

"Jika mau melapor buang-buang waktu saja. Ibunya saja tidak punya otak hingga membuang bayinya sendiri dengan asalan tidak punya biaya menghidupi anaknya." Brian menghela napas kesal.

"Apa tidak mengasuhnya saja, Tuan." Kanaya memberi usul.

"Ide bagus." Brian menoleh pada James. "James, Bawa saja dia pulang ke rumahmu dan akui jika dia sebagai putramu. Kamu 'kan sangat menginginkan anak laki-laki."

James menggeleng teratur. Wajahnya memucat membayangkan rentetan pertanyaan dan amukan sang Istri jika membawa Aaron pulang. "Ah ... tidak, Tuan. Saya bersyukur memiliki 3 orang putri. Dan kabar baiknya Istri saya tengah mengandung anak laki-laki. Sebaiknya Anda saja yang mengadopsinya, Tuan. Anak Anda 'kan hanya Nona muda Anaya."

"Benar, Tuan. Kasihan Tuan James." Kanaya mendukung.

Brian mengangkat tangannya. Wajahnya terlihat kesal dengan wajah memelas James yang sudah mulai mengeriput. "Okey, okey, aku akan mengadopsinya. Kalian puas?"

ISTRI SATU MILYAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang