part 2 - Siasat

141 12 1
                                    

Zainab menyentuh dadanya yang berdetak kencang. Pria itu, Brian membuat apa yang selama ini ia sembunyikan hampir terbongkar.

Dering panggilan masuk mengalihkan pikirannya. Segera ia mengangkat ketika mengetahui siapa yang menelponnya.

"Halo, ada apa?" tanyanya, pada seorang di seberang sana.

"Bagaimana tugasmu? Apakah dia mencurigaimu?"

"Ya. Dia sempat mencurigaiku. Tapi aku sudah membuatnya menepis rasa curiganya padaku."

"Bagus, Eliza. Lanjutkan rencana selanjutnya. Bunuh Brian dan Keluarganya. Jangan meninggalkan jejak sedikitpun."

Membunuh Tuannya? Apakah dia sanggup? Sedangkan pria berstatus Mafia itu bukanlah orang yang mudah untuk mati. Diracun bahkan dipenggal sekalipun, dia akan tegap selamat dari maut.

Brian seolah memiliki 7 nyawa. Bila sampai Zainab menghabisinya, Brian akan kembali hidup. Jika dia sampai melakukan hal itu, kemungkinan besar pria dengan julukan a man for the hall itu akan menyeretnya, meminta pembalasan. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa. Begitulah yang akan terjadi.

Jemari itu meraba wajah, menarik kain suci itu dengan tangan gusar. Tangan berbalut heandshock itu berdecak kesal dengan ide gila sang Tuan. Menjadikannya sebagai pengasuh putri Mafia dan mengangganti identitas aslinya menjadi Zainab El Barra. Orang yang sejatinya menjadi pengasuh asli Anaya. Namun, berakhir tragis di tangannya demi melancarkan misi pembunuhan Brian.

"Ugh, ini sungguh menyiksa. Aku tidak sanggup jika harus memakai pakaian seperti ini lagi. Rasanya tubuhku terasa terbakar. Jika bukan karena bayaran tinggi. Aku tidak akan mau berpenampilan kuno seperti ini dan mengangganti namaku." Mendesah pelan, melepas kain yang membungkus kepalanya. "Eliza ... Eliza. Nasibmu sungguh malang."

***


Sekitar 5 orang berpakaian perlente terlibat perbincangan panas di ruang kerja Brian. Beberapa kali salah seorang di antara mereka mengemukan pendapat mengenai bisnis yang tengah ditawarkan. Hingga kesepakatan pun tercetus. Di atas sebuah kertas, mereka mulai menandatangani kesepakatan itu.

Setelah mendapatkan kontrak kerja, sang Tuan rumah menggiring para koleganya menuju meja makan yang berada di lantai 1.

Langkah Brian terhenti di lorong menuju tangga. Di sana, seorang wanita bercadar tengah menggendong putrinya dengan penuh kasih. Terdengar, Zainab mengajari Ayana yang berusia hampir 1 Tahun mengucap kata 'Abi' membuat Brian tersenyum tipis. Berkali-kali mahkluk mungil itu berusaha mengucap panggilan itu dengan wajah lucunya.

Mengerti akan arah pandang sang Tuan, James mengarahkan beberapa rekan kerjanya keluar dari situasi seperti ini. Ia memberikan waktu untuk Tuannya berdua bersama buah hati dan pengasuhnya

"Lihat, itu Abi." Zainab berkata dengan bahagia. Kejoranya menyipit memandang dari jauh pria itu berjalan mendekat pada mereka.

"Hai anak Abi."

Ayana tertawa bahagia. Tangan mungilnya terulur, minta digendong. Tanpa melepas senyumnya, Brian meraih putri kecilnya dari Zainab. Menciumnya dengan begitu posesif. Membawanya menjauh dari wanita bercadar itu.

Zainab menunduk, menyembunyikan seringai dibalik cadarnya. Berbahagialah kau Brian. Setelah itu temui ajalmu, gumannya.

Malam harinya Zainab alias Eliza mulai menjalankan misinya. Jam di dinding berdetak penuh irama, mengiringi langkahnya menelusuri lorong menuju ruang pribadi Brian.

Kejora setajam silet itu tak hentinya mengamati sekitar. Penerangan minim menguntungkan rencananya menjalankan misi pembunuhan. Beberapa kali dirinya melumpuhkan para penjaga yang bertugas di sepanjang lorong menuju raungan pribadi Brian. Hingga sampailah di depan pintu besar bercat hitam legam tanpa adanya tambahan aksen warna di depannya.

Tangan berkuteks merah itu perlahan menyentuh gerendel pintu, mendorongnya pelan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat suasana di sekitar lorong. Tak lupa, ia melihat ke arah kamera pengawas yang terpasang di sekitar sana. Pelan tapi pasti, Eliza mendorong gerendel pintu, masuk.

Pemandangan pertama kali yang ia lihat hanyalah ruangan besar dengan ornamen berlapis emas dengan sedikit sentuhan warna kuning gading. Terkesan mewah namun tidak bagi Eliza. Ruangan ini akan menjadi saksi busi--di mana seorang a man for the hall mati di tangannya. Membayangkan kematian mengenaskan yang dialami olehnya, seketika bibir itu tersenyum kejam.

Jeritan, rintihan, hingga teriakan pria itu mungkin mengalahkan alunan lagu rohani yang terbiasa dibawakan ketika ketika pemakaman tiba. Sungguh mengasyikkan jika dia bisa mengantarkan mematikan sang Casanova itu. Dengan tangan dan usahanya sendiri.

Di dalam ruangan tersebut, seorang pria tak lain Brian tengah terbaring tenang di atas ranjang. Matanya terpejam, napasnya teratur.

Tanpa menunggu waktu lama, Eliza merangsek ke dalam. Tak lupa menutup ruangan itu. Di tangannya kanannya, sebuah belati beracun ia arahkan tepat di jantung Brian.

Bibirnya menyeringai, membayangkan pria tampan itu mati di tangannya. Ke-2 tangannya menggenggam belati itu, mantap. Mengangkat tinggi-tinggi siap menghujam jantung mangsanya, dan ....

Bugh!

Brukkk!

Di dalam kegelapan, seorang wanita berpakaian putih dengan vas bunga di tangan kanannya memandang Eliza tengah terbaring pingsan sebelum pandangannya beralih pada Brian tengah terlelap tanpa terganggu akan suara bising akibat pembuatannya.

Semilir angin malam membuat kimar yang ia kenakan berkibar dengan anggun. Cahaya rembulan membias dari kaca ruangan itu hingga mengenai wajah cantiknya. Wajah sedatar kertas itu kembali memandang Eliza, tajam.

"Miss." 2 orang pria bertubuh kekar memanggil. Namun, wanita itu bergeming, tetap setia menatap tajam Eliza.

"Bawa wanita ini dan ikuti saya," katanya sembari beranjak meninggalkan kamar Brain.

***

"Apa kau tidak mau menemuinya, Nak?" tanya David, pada wanita di depannya.

Wanita itu tampak merenung, sebelum kepalanya menggeleng teratur sebagai jawaban atas pertanyaan pria berusia setengah abad itu.

David menghela napas berat mendapati jawaban yang tak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya. "Sampai kapan?" David kembali bertanya. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan wanita itu hingga enggan mau menemuinya.

Wanita itu mengalihkan pandangannya pada para pekerja di rumah David. Mengamati bagaimana mereka membersihkan maupun menyiapkan kebutuhan sang majikan dengan telaten sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada David.

"Aku tak tahu." Ia menjawab. Kepalanya kembali tertunduk, tak mampu memandang wajah rupawan pria tua itu. "Kau harus secepatnya bertemu dengannya." Menghela napas, David kembali berujar, "Dia sudah cukup menderita sekarang."

Wanita itu menyetujui apa yang dikatakan David. Dia tahu, bagaimana perasaan pria itu padanya. Dan dirinya pun tidak bisa membohongi hatinya tentang hal itu. Dia menyayanginya, begitupun Brian. Walau pria itu tidak mengatakan dengan langsung, dia bisa merasakan bagaimana sayangnya dia padanya.

"Nanti." Wanita itu menghela napas. "Setelah aku benar-benar siap. Aku akan menemuinya."

Bersambung

ISTRI SATU MILYAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang