Aaron dan Ayana menangis kencang dalam dekapan Mike dan Rose. Bibir mungilnya berulang kali memanggil-manggilnya "Umi" pada Kanaya dicengkraman Felix. Senjata api berjenis G2 Premium ia arahkan tepat di kepalanya. Lengan kokohnya menahan pundak wanita bercadar itu.
Brian yang berada di ruangan keluarga menatap tajam Felix. Rahangnya mengetat marah. Kedua tangannya mengepal erat menahan gejolak emosi yang makin memuncak.
Puluhan boydugrad menodongkan senjatanya pada Felix, siap menembak kapan saja. Namun mereka harus memikirkan konsekuensi jika menembak pria beriris hijau itu. Nyawa Nyonyanya ada di tangan penjahat itu.
"Lepaskan dia!" Brian berseru. Wajah tampannya merah padam.
Felix menyeringai, menatap Brian remeh. "Mengapa kau terlihat marah, hmn? Dia hanya pengasuh anak-anakmu, bukan? Tidak apa, kan kalau aku membawanya?"
"Kau!"
"Tuan, saya tak apa. Tenang saja." Kanaya menangkan.
Wajah Felix menunduk---memandang wanita dalam cengkeramannya. Senyum miring tercipta. Jemarinya bergerak cepat menarik kain itu dari wajah Kanaya. Hutan hijau Felix termagu menatapnya. Wajah yang ia rindukkan tepat di hadapannya. Wanita yang membuatnya terusik kala malam. Wanita yang berhasil mencuri perhatiannya dan membuatnya kacau ketika mengetahui ia tiada karenanya.
Kanaya.
Wanita yang diam-diam ia cintai tepat berada di cengkeramannya. Persetan dengan statusnya telah bersuami. Demi cara apa pun ia akan mendapatkannya. Walaupun pada akhirnya ia akan ditentang keras Christina bahkan dikutuk Tuhan karena merebut istri orang. Ia hanya menginginkan Kanaya. Hanya Kanaya seorang.
Amanda menatap Kanaya terkejut. Lutut tuanya menyorot, tubuhnya bergetar. Wanita yang tadi ia goda tak lain istri cucunya sendiri. Mengapa ia tidak peka. Suaranya jelas-jelas milik Kanaya.
"Jangan sakiti mereka, cukup saya saja," katanya.
Kejora kecoklatan miliknya menatap sendu buah hatinya. Tak sampai hati ia melihat mereka menangis seperti itu. Ingin rasanya ia merengkuh dan menciumi mereka satu persatu menyampaikan betapa ia mencintainya.
Tapi apalah dayanya. Ia tak bisa melakukan itu sekarang. Keselamatan keluarga dan anak-anaknya terancam. Mungkin ini saatnya ia berkorban sekali lagi. Demi keluarga dan kedua buah hatinya. Hanya demi mereka ia rela.
"Kau gila Kanaya! Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu?" Joanne berteriak. Sebelah tangannya memegang erat lengan kanannya yang tertembak. Wajah tampan memerah padam, napasnya memburu.
"Maafkan aku, Kakak." Hanya itu yang bisa ia katakan.
Perlahan Felix mundur. G2 Premium miliknya sesekali ia arahkan pada bodyguard di sesekalinya. Bodyguard Brian refleks membuka jalan, senjata digenggamannya tak sekalipun mereka turunkan.
"Biarkan mereka pergi." Brian berkata dengan wajah datarnya. Aura musk miliknya mengaur ke penjuru ruangan itu. Semua bodyguard terdiam di tempat. Sniper yang telah siap dengan laras panjangnya terpaksa mengurunkan niatnya menekan pelatuk.
Dengan tergesa Felix membawa Kanaya ke dalam mobilnya. Dengan diiringi tatapan seluruh bodyguard Brian, mobil itu meluncur cepat meninggalkan rumah besar berlantai tiga tersebut.
"Harus bagaimana kita?" Joanne menoleh pada Brian.
"Biarkan saja."
Netra Joanne mengerjab kemudian membeliak mendengar ucapan santai dari seorang Brian Alexander.
"Kau gila, ha?""Kau belum mengenal siapa Kanaya, Jo," katanya.
"Dia Adikku."
"Aku Suaminya. Sudahlah, kita masuk sekarang."
Tangan Joanne terkepal. Wajah tampan semakin memerah marah. "Kau benar-benar gila. Ba---bagaimana bisa kau setenang itu ketika Istrimu diculik, ha? Kau tidak mencintainya, ya?"
Brian menghela napas, pandangannya kini beralih pada pria bodoh yang sayangnya kakak iparnya. Jemarinya merogoh ke saku jasnya mengeluarkan senjata api miliknya yang sedari tadi ia simpan.
Wajah Joanne memucat. Kening sebesar biji kecambah mulai menetes di keningnya.
"K---kau mau apa dengan senjata itu?""Menembakmu." Senjata api miliknya ia arahkan pada Joanne. Perlahan pelatuh ia tarik, dan ....
Dor!
***
Pajero metalik berhenti di depan beranda rumah besar. Bodyguard berlari membuka pintu mobil tersebut. Dua orang manusia berjenis kelamin berbeda keluar dari dalam mobil. Wanita itu menepis tangan kasar pria itu.
Dengan berani ia berkata, "Jangan sentuh saya. Saya bisa masuk sendiri." Kemudian dengan ajaibnya tanpa diperintah dia masuk ke rumah besar itu yang notabenenya merupakan tempat ia disandera.
Pria di belakangnya menyeringai. Dalam hati ia menertawai tingkah menggemaskan tahanannya itu. Kaki panjangnya melangkah membuntuti wanita bercadar itu. Tanpa kata di antara mereka. Hanya keheningan yang mengelilinginya. Lalu suara lembut wanita itu mengalun membuatnya menaikkan sebelah alisnya.
"Di mana saya akan ditahan?" Kanaya menoleh ada Felix di sampingnya. Tanpa menunduk, kejora kecoklatan itu bersirobak dengan hijaunya hujan rimbun di mata pria itu membuat yang ditatap salah tingkah.
"Sebalah sini." Felix berbelok ke lorong panjang rumah itu.
Berbagai lukisan pelukis ternama mengisi tiap dinding lorong itu. Namun tak sekalipun membuat Kanaya berpaling untuk sekedar menganti. Di kediaman Solfatara juga banyak terdapat lukisan maupun furniture mahal lainnya. Tak heran jika dia terlihat biasa saja.
Pria itu berhenti di depan pintu bercat putih. Dua pria berbadan kekar yang menjaga pintu tersebut lantas membuka.
"Jangan ikat. Saya tidak akan kabur. Percayalah," katanya menyakinkan.
"Baiklah."
"Anda percaya?"
"Tentu, kau tidak bisa berbohong, bukan?"
"Mengapa Anda seyakin itu?" Kanaya menaikkan sebelah alinya.
Felix menaikkan bahunya, acuh. "Karena aku percaya padamu."
Tawa indah wanita itu mengalun. Kejoranya berubah menatap serius padanya. "Apa yang mendasari Anda percaya pada saya?"
"Kau wanita yang baik. Dan aku suka wanita baik sepertimu."
"Sayangnya saya tidak suka pria jahat seperti Anda."
"Aku bisa berubah jika kau mau asalkan kau mau menjadi Istriku. Bagaimana?"
"Sampai mati pun saya tidak mau menjadi Istri Anda."
"Memangnya apa yang tidak aku miliki dari Brain itu? Tampan, jelas masih tampan aku."
"Ya, Anda memamg tampan. Tapi, tampan saja tidak akan menjamin kebahagiaan. Dia jauh lebih baik dari pria yang saya temui di dunia ini. Dia mencintai saya bukan karena saya cantik atau nafsu semata. Dia mencintai saya tulus seperti saya mencintai saya. Jadi mohon maaf, Tuan Felix yang terhormat. Saya menolak."
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI SATU MILYAR
De TodoBrian terpuruk setelah kematian Kanaya. Rasa cintanya tidak sama sekali memudar walau usia sudah tidak lagi muda. 37 Tahun. Usia matang seorang seharusnya membina rumah tangga namun tidak untuk Brian sendiri. Berbagai usaha telah Amanda lakukan namu...