"Apa kau sama sekali tidak ada namaku di hatimu, Bri?" tanya Tania pada pria di sampingnya. Kejoranya nampak berkaca-kaca dengan apa yang dilakukannya.
Brian menghela napas, mematikan puntung rokok yang hampir habis. Memandang Tania, tajam. "Sudah berkali-kali kukatakan padamu, Nona Winston. Aku sudah menikah dan memiliki anak. Apa kau amnesia hingga melupakan statusku, he?"
"Yaa ... aku tahu! Aku tahu, Bri. Lagipula, Istrimu sudah lama meninggal. Bisakah kau membuka hati untukku?"
"Tutup mulut sampahmu atau kujahit nanti! Istriku masih hidup. Dia masih hidup."
Brian melenggang pergi setelah meluapkan emosinya. Niat ingin membahas pekerjaan dengan wanita itu, namun pada kenyataannya hanya ungkapan cinta yang ia dapat.
Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam dari restoran yang terletak di kawasan UFO bright, Pajero yang dikemudikan Mike berbelok memasuki pelataran rumah besar Salfotara.
Tanpa kata, Brian melangkah masuk meninggalkan Mike di belakangnya. Bara api dalam dadanya seolah menyala-nyala, mengingat pengutaraan cinta Tania padanya.
Dada Brian terus bergetar ketika tidak sengaja ia melintasi kamar putrinya. Gadis bercadar berstatus sebagai pengasuh Anaya terlihat tengah menimang putrinya dengan shalawat mengalun indah di telinga. Tanpa sadar hatinya begitu sakit melihat bagaimana perlakuan pengasuhnya.
Mengapa harus dia? Mengapa tidak kau yang mengasuh anak kita, Sayang? Mengapa Tuhan begitu menyayangimu hingga kau harus pergi menghadap-Nya dan meninggalkan kami? Mengapa, Kanaya? Mengapa? gumannya, sembari menengadah mengingat wajah wanita cantiknya.
Kaki jenjangnya melenggang cepat meninggalkan kamar sang buah hati. Pikirannya kalut. Hanya Kanaya, Kanaya, dan Kanaya yang ada di hati dan otaknya.
Salju mulai turun ke bumi Bratislava. Kaki berbalut sepatu pantofel itu tak hentinya melangkah menyusuri area pemakanan di kota itu. Kemudian berhenti di salah satu makam dengan bunga mawar putih tumbuh di samping nisan dengan bertuliskan nama sang kekasih. Kanaya Alexander.
Tangan dengan cincin melingkar di jemari itu perlahan mengusap huruf demi huruf nama pemilik nisan itu dengan air mata mengalir.
"Sayang, aku merindukanmu," ucapnya, pelan.
Air mata terus mengalir dari pelupuknya. Rindu yang ia rasa tak bisa dibendung hanya dengan menyebut ataupun hanya berkunjung saja. Ia perlu memeluk tubuh wanitanya. Namun, ia tidak mungkin melakukan hal itu.
Mereka sudah berbeda dunia. Ia tidak mungkin menggali kubur dan memeluk jasad wanitanya hanya karena rindu semata. Jika ia melakukan hal itu pun, Kanaya pun tidak akan bisa hidup dan kembali bersamanya.
"Aku rindu kamu, Sayang." Kembali ia berucap.
Wajahnya menunduk, tangan besar itu mencengkeram rumput yang menutupi pusara Istrinya kuat-kuat. Luka hati, kehancuran ia rasakan. Betapa berharganya Kanaya dalam hidupnya baru Brian rasakan. Berkali-kali ia menepis rasa cinta untuknya. Namun, berkali-kali pula rasa itu menghangatkan dadanya.
Ketika ia mengakui bahwa rasa itu benar untuk wanitanya, dia pergi membawa segudang luka mengangga dalam dada. Membuatnya menggila jika sehari tidak bertemu.
Apakah ini hukuman yang pantas ia dapatkan? Tapi, ia tak sanggup menerimanya. Ia pria berhati iblis namun pada kenyataannya, dia hanya seorang pria yang berusaha untuk tetep terlihat tegar. Sekejam apa pun manusia, pasti memiliki titik lemah yang hanya dia sendiri yang tahu.
Di seberang sana tak jauh dari pusara Kanaya, seorang pria berdiri dengan teropong di tangan tengah mengawasi gerak-gerik.
"Lapor, Bos. Tuan Brian sedang di makam Istrinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI SATU MILYAR
DiversosBrian terpuruk setelah kematian Kanaya. Rasa cintanya tidak sama sekali memudar walau usia sudah tidak lagi muda. 37 Tahun. Usia matang seorang seharusnya membina rumah tangga namun tidak untuk Brian sendiri. Berbagai usaha telah Amanda lakukan namu...