part 5 - Mencintai Dalam Diam

102 9 0
                                    

Langit tak pernah meninggalkan bumi. Begitu denganku. Aku tak pernah meninggalkanmu. Cintaku sama halnya cintamu. Sayangku, sama besarnya seperti kau menyayangiku sebagai wanitamu. Hanya satu kata yang mewakili rasaku selama ini padamu. I love you ... Sayang.


***

Minggu pagi, kediaman Salfotara sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Brian tengah menemani putri kecilnya bermain. Keceriaan nampak di wajah Anaya.

Kadang kala gadis kecil itu tertawa akan tingkah sang Ayah yang konyol. Berbanding terbalik dengan sikap kejam nan dingin yang selalu ia tunjukan pada semua orang. Hanya karena putrinya, ia rela bertingkah aneh sekedar membuat Anaya tersenyum bahkan tertawa bahagia.

Sepasang kejora menyipit, memandang Ayah dan anak di sampingnya. Ia bahagia, melihat suasana di hadapannya. Selama hidupnya, baru pertama kali dirinya melihat sang Tuan bertingkah aneh seperti itu pada putri kecilnya. Ia yakin, Tuhan telah membuat hati sekeras batu itu lunak dengan kehadiran makhluk kecil itu di sisi mereka.

"Kau menangis?" Brian bertanya, seketika membuatnya tergagap. Entah sejak kapan ia menangis hingga membuat sang Tuan melihatnya.

Dengan gerakan cepat, Kanaya menghapus air mataya kebahagiannya. Lalu menggeleng pelan. "Ti--tidak, T--tuan. S--saya tidak menangis," katanya, dengan terbata-bata.

Kening pria itu mengerut. Entah mengapa ia jadi mengingat Kanaya dalam diri pengasuh putrinya. Dari cara dia berbicara hingga gesture tubuhnya persis sepertinya. Apa mungkin dia ...? Brain menggelengkan kepalanya, mengusir opini dalam kepalanya. Tidak mungkin Kanaya hidup kembali. Dengan mata kepalanya, ia melihat sendiri bagaimana Istri tercintanya dikebumikan. Dia bukan Kanaya, dia Zainab. Pengasuh putrinya.

"Lalu mengapa kau mengeluarkan air mata?"tanyanya, tak mengerti.

"S--saya teringat anak Bibi saya yang diculik. Sampai sekarang belum ditemukan, makanya tanpa sadar saya menangis," kilahnya.

Brian memandang prihatin pada wanita bercadar di hadapannya. Dia belum memiliki anak. Namun, hatinya mudah tersentuh. Sama halnya seperti Kanaya. Ah, mengapa selalu saja dia menghubungkan Zainab pada sosok bidadari tak bersayap seperti Kanaya. Apa ia begitu merindu akan sosok wanita luar biasa Istrinya itu?

"Anda sosok Ayah yang hebat, Tuan," ucap Kanaya, keceplosan.

Brian menggeleng lemah. Raut wajahnya seketika berubah menyedihkan. "Aku bukan Ayah yang hebat, El. Aku Ayah yang tak berguna untuk putriku," katanya.

"Mengapa Anda mengatakan begitu, Tuan. Menurut saya, Anda Ayah terhebat di dunia ini. Apalagi, mengingat Anda sesibuk apa bisa menyempatkan waktu menemani Nona Anaya. Apa Anda tidak termasuk dikatakan Ayah terhebat?"

Brian terdiam. Pandangannya beralih pada Anaya tengah merangkak menghampiri Zainab. Memanggilnya Bibi. Kedua tangan wanita itu terlentang, menyambut tubuh kecil Anaya masuk kepelukkannya.

"Di luar sana, banyak seorang Ayah lebih mementingkan kepentingan pekerjaannya dan melupakan fakta bahwa anaknya perlu perhatiannya. Anda Ayah yang hebat, Tuan. Pasti Nyonya bahagia memiliki Anda sebagai Suaminya," katanya, dengan menatap netra tajam kebiruan sesaat sebelum menyuapkan sendok ke mulut mungil gadis kecilnya.

"Aku tidak tahu dia bahagia atau tidak ketika menikah denganku. Seumur hidupnya, aku hanya bisa membuatnya menderita tanpa kurasa kebahagiaan dari sorot matanya. Aku tahu, dia sering berbohong di depan Nenek hanya untuk menunjukan kalau dia bahagia hidup bersamaku. Tapi ...."

Kepalanya menggeleng, netra yang biasanya menatap tajam padanya berkaca-kaca. Kanaya tertegun, hatinya sakit. Seakan dihujam ribuan pedang.

"Pada kenyataannya dia sama sekali tidak bahagia hidup bersamaku. Aku bahkan belum mengatakan perasaanku padanya sebelum dia pergi meninggalkan kami menghadap Tuhannya."

Kening Kanaya mengeryit. Perasaan? Maksudnya?

"Aku sangat mencintainya." Brian menengadah, tangan kanannya dengan kasar menghapus air matanya yang menetes. Kemudian meraih Anaya, menciumnya penuh kasih sayang memeluknya erat.

Kanaya terdiam tanpa mampu berkata. Kejoranya masih setia memandang lurus ke depan melihat bagaimana pria itu melampiaskan rasa cintanya pada sang buah hati. Hatinya mencelos melihat bagaimana cintanya pria itu padanya.

"Maaf, aku jadi terlalu banyak bicara?"

Maaf, sejak kapan pria itu bisa mengucapkan kata maaf?

Kanaya mengangguk. Tersenyum tipis. Aku sudah memaafkanmu sejak dulu, Tuan. "Anda tak perlu minta maaf pada saya, Tuan. A-nda sama sekali tidak pernah berbuat salah pada saya. Saya bisa memaklumi mengapa Anda melakukan hal itu. Anda mencintai Nyonya hingga lupa bagaimana rasanya dicintai. Sepertinya kita sama, Tuan."

"Maksudmu?"

"Love in silence. Anda mencintai Nyonya walau Anda tidak tahu dia mencintai Anda atau tidak. Seperti halnya saya mencintainya." Kejora itu menatap lembut netra tajam sang Tuan. Ia bisa merasakan bagaimana pria itu mencintainya. Bibirnya kembali berucap, "Suami saya."

Brian membeku mendengar ucapan Kanaya. Mendadak hatinya merasa sakit ketika kejora itu menatapnya lekat. Seakan mengatakan bila dia memang begitu mencintainya hingga rasanya lupa akan caranya bernapas.

"Dia menikahi saya karena keluarga saya menjual saya padanya. Saya masih bersyukur, dia tidak menjadikan saya pelacur di klub malamnya. Dari situ saya mencintainya walau dia begitu membenci saya. Dia pria brengsek yang pernah saya temui juga saya mencintai."

Entah mengapa Brian merasa wanita bercadar di hadapannya tengah mengingatkannya pada Kanaya. Mengapa kisah hidupnya sama persis seperti apa yang dilakukannya pada Kanaya?

***

"Apa ada kabar dari Eliza? Apa si Alexander itu mati apa tidak?" Arthur bersuara.

Felix menghela napas lelah. Ia memijat keningnya yang terasa dihantam batu berukuran besar. Entah berapa kali ia menghabiskan sampanye yang diberikan bartender padanya semalam dan bangun dengan kepala sakit tak tertahan.

Gaya hidup bebas serta kekayaan melimpah membuatnya tak memikirkan akan rencana awalnya. Membuat seorang mafia kejam berhati iblis itu mati mengenaskan. Setengah membuat Kanaya mengalami kecelakaan 1 Tahun lalu membuat hatinya bimbang. Rasa cinta timbul begitu saja tanpa ia sadari hingga membuatnya galau karena wanita pujaan hatinya telah meregang nyawa karena perbuatannya sendiri.

"Jika aku tahu, aku tidak akan menemuimu, Arthur."

"Ah, benar. Tapi, tumben dia 2 hari tidak memberi kita kabar apa-apa. Apa dia ketahuan oleh Brian atau ...."

Ting!

Arthur merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya. Membaca pesan baru saja masuk ke ponselnya.

[Brian sudah mati]

Kembali ponselnya berdenting. Sebuah foto menampakan Brian tengah terbaring dengan darah mengalir di beberapa bagian tubuhnya membuat dadanya berdesir bahagia. Tidak salah ia merekrut Eliza sebagai pembunuh bayaran walau bayaran yang ditawar wanita gila itu terbilang selangit.

"Brian sudah mati." Arthur berseru, sembari menunjukkan foto yang dikirim Eliza sebagai bukti otentik. Dengan cepat ponsel itu berpindah tangan. Dengan kepala sakit Felix mengamati hasil kerja keras Eliza dengan senyum mengembang.

Di tempat lain, seorang wanita menyeringai dibalik penutup wajahnya memandang benda pipih di tangannya. Dengan sedikit mengeluarkan modal membayar salah satu bodyguard berpura-pura menjadi Brian dan  beberapa botol saus sambal ia berhasil mengelabuhi Felix dan Arthur.

Tak lama ponsel di genggamannya berbunyi.

[Good job, El! Kamu memang bisa diandalkan]

Kanaya menghela napas lelah. Diletakan kembali ponsel milik Eliza ke dalam laci. Kini, pikirannya kembali bekerja tentang bagaimana membuat sang Tuan tetap tinggal di rumah dan bersikap seolah-olah dia memang benar telah mati.

Bersambung

ISTRI SATU MILYAR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang