8. Kesepakatan

2.2K 363 48
                                    

Aku melihat ketulusan dimatanya sama seperti saat beberapa tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama kuliah. Akhirnya setelah pertimbangan yang cukup matang, aku pun menerima tawaran Mario. Entah mengapa Mario terlihat begitu senang dengan jawabanku, dia bahkan dengan salah tingkah menggaruk tengkuknya saat menghelaku menuju mobilnya. Mataku menyapu lahan parkir untuk mencari mobil Raffael, tapi karena parkirannya sangat luas aku tidak bisa menemukannya disana, atau bisa jadi Raffael juga sudah pulang. Menyadari itu dadaku kembali sakit, Raffael bahkan tidak peduli sekalipun aku kenapa-napa disini.

"Nay, ayo."

Aku terkesiap saat Mario menyentuh lenganku, dan saat fokusku kembali ternyata saat ini kami sudah berada di sisi mobil Mario dan ia membukakan pintunya untukku. Kesadaranku membuat genggamanku mengetat pada tali tas selempang milikku, aku reflek menarik nafasku perlahan, berharap bisa mengusir ketakutan yang kembali melandaku saat ini.

"Kenapa? Kamu masih takut naik mobil?"

Aku menunduk malu, ternyata Mario masih mengingat hal itu. Aku jadi tidak enak padanya, mengingat dulu aku sering memberinya jawaban yang sama tiap kali ia menawariku pulang dengan mobilnya.

"Jangan bilang kamu pingsan juga gara-gara ini?"

Aku masih meragu di depan pintu mobil, tak sepatahpun aku menjawab pertanyaan Mario. Tapi sepertinya ia mampu menafsirkan sendiri bahasa tubuhku.

"Shiitt!" Mario memekik. "Apa Raffael tahu soal ini?"

Aku menggeleng dengan mata memanas. Ya Tuhan, tolong jangan biarkan air mata ini jatuh di depan Mario.

"Dia tidak tahu dan mungkin nggak akan mau tahu soal ini."

Aku memberanikan diri untuk menatap Mario, lalu mengembangkan senyum untuk menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja saat ini.

Wajah Mario terlihat muram, rahangnya juga mengeras, dan aku tidak tahu dia kenapa?

"Sorry, karena dulu aku pernah nggak percaya sama ketakutan kamu. Aku pikir itu hanya akal-akalan kamu saja untuk menolak ajakanku. Tapi sekarang aku percaya, meski memang sudah sangat terlambat."

Aku tertegun dengan penuturan Mario, jadi inikah sebabnya dulu ia sempat menjauhiku setelah melakukan pendekatan yang tergolong intens padaku di saat tidak ada orang yang mau menjadi temanku? Dulu aku pernah berpikir, mungkin Mario tidak lagi mendekatiku karena ia sudah ilfeel padaku-sama seperti alasan teman-teman kampusku yang tidak ingin berteman denganku.

"Terlambat? Apanya yang terlambat?" Aku bertanya karena memang tidak mengerti dengan ucapan terakhirnya.

Mario tersenyum masam padaku, dan tatapannya mendadak menjadi intens, membuatku harus memalingkan wajah begitu merasakan wajahku mulai memanas.

"Nay Nay kamu kenapa tambah manis aja sih kalau lagi malu-malu gitu, bikin aku serba salah aja. Ayo masuk, baiknya kita pulang sekarang sebelum aku di tuduh udah menculik bini orang."

Aku terkesiap saat Mario mendorong pelan tubuhku untuk segera masuk kedalam mobilnya. Selama perjalanan Mario pandai sekali mencairkan suasana, hingga fobiaku pun teralihkan dengan obrolan yang mengalir ringan diantara kami. Sejak dulu, Mario memanglah pria yang humble hingga seringnya aku merasa nyaman saat mengobrol dengannya, hanya saja perbedaan status sosial kami yang berbeda membuatku merasa minder menjadi temannya.

Pernah sekali waktu tanpa sengaja aku mendengar teman-teman Mario menegurnya untuk menjauhiku, mereka mengatakan kalau aku tidak cocok berkawan dengannya. Sebenarnya tanpa adanya obrolan menyakitkan itupun aku sudah tahu diri, seorang mahasiswi dari program beasiswa sepertiku tidak cocok memiliki teman seperti Mario. Apalagi selain anak orang kaya, Mario juga sangat tampan, maka tak sedikit mahasiswi di sana yang ingin menjadi pacarnya. Aku malah tidak mengerti mengapa Mario malah sibuk mendekatiku yang bukan siapa-siapa ini, akhirnya setelah kejadian itu aku memutuskan untuk menjaga jarak dengan Mario dengan cara terus menolak apapun bentuk pertolongan yang ia tawarkan padaku.

(Un)Wanted BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang