PROLOG

4.5K 424 11
                                    

Seorang bocah lelaki berusia 6 tahun, sedang duduk di bangku panjang yang ada di halaman sekolahnya, menatap kearah teman-temannya yang sedang bermain dengan wajah di tekuk, tampak murung dan seperti ingin menangis. Dia adalah Raffael Ardhan. Bocah itu baru saja berkelahi dengan teman sekelasnya yang telah mengejek Mamanya. Selama ini dia selalu saja diam ketika teman-temannya mengatainya tidak punya Papa, dia tidak pernah melawan karena sang Mama selalu mengajarkannya untuk selalu berbuat baik dan tidak boleh membalas teman yang sudah berbuat jahat padanya.

Tapi hari ini, temannya yang bernama Berry sudah sangat keterlaluan, dia mengatainya anak haram. Meski ia masih kecil, tapi Raffa tahu arti kata tersebut, ia sering mendengar para tetangga menyebutnya demikian dan karena itulah Mamanya suka menangis diam-diam. Raffa tidak suka jika melihat Mamanya menangis, Raffa juga tidak suka jika ada yang menyebutnya dengan kata-kata seperti itu, ia takut Mamanya akan mendengar ejekan-ejekan itu dan membuatnya sedih lagi, dan untuk itulah ia marah pada Berry.

Apalagi Berry juga sudah merebut bekal makan siangnya dan di buang begitu saja ketempat sampah. Raffa jadi semakin marah karena teringat wajah sang Mama saat susah payah membuatkan bekal untuknya.

Jadi, Raffa yang sudah tidak sanggup lagi menahan kesal, akhirnya melanggar janjinya pada sang Mama-ia memukul Berry tepat di wajah, hingga membuatnya terjengkang. Dan gurunya yang terlambat datang pun langsung memarahinya dan menyuruhnya untuk memanggil sang Mama datang ke sekolah, besok.

Saat ini Raffa merasa khawatir dengan Mamanya, ia bukan terlahir dari keluarga kaya seperti Berry dan teman-temannya yang lain. Mamanya hanyalah seorang karyawati biasa, saat ini mereka hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan. Dan untuk makan sehari-hari saja seringnya mereka kekurangan, karena itulah Raffa lebih memilih untuk merahasiakan pembulian yang di alaminya di sekolah kepada sang Mama, ia tidak mau membuat wanita yang sudah melahirkannya itu semakin terbebani dengan masalahnya, karena dulu pernah sekali waktu ia bercerita dan malah membuat Mamanya sedih, Raffa jadi merasa bersalah karena hal itu. Dan sejak saat itu Raffa janji tidak akan menceritakan apapun lagi tentang yang ia alami di sekolah kepada Mamanya.

Namun sekarang ibu gurunya memintanya untuk memanggil Mamanya kesekolah atas insiden pemukulannya pada Berry. Sedangkan Raffa takut bagaimana jika hal ini bisa membuat Mamanya sedih lagi?

"Ini untuk kamu."

Raffa tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang menyodorkannya kotak makanan.

"Ini apa?" tanya Raffa bingung pada Nika yang kini sudah duduk di sebelahnya.

"Ini bekal makan siangku, tapi buat kamu aja, perutku masih kenyang," kata Nika dengan senyum secerah mentari.

"Nggak mau, itu kan punya kamu," tolak Raffa dengan tegas sembari melipat kedua lengan.

"Nggak papa Raf, ini buat kamu aja. Ini isinya roti sandwich, Mamaku buat banyaaaak banget, tadi aku udah makan satu, dan yang ini buat kamu. Enak deh rasanya," desak Nika sambil menarik tangan Raffa untuk menerima bekalnya.

Raffa tidak langsung menerima, ia menggigit bibirnya bimbang. Ia melirik Nika dan kotak bekal yang sudah di jejalkan ke tangannya. Perutnya memang sedang lapar mengingat bekalnya sudah di buang Berry ke tempat sampah, tapi ia pun merasa ragu untuk menerima pemberian Nika, karena didikan sang Mama yang lagi-lagi selalu membatasi sikapnya. Sekalipun selama ini Nika memang selalu baik padanya, bocah manis bermata cemerlang yang merupakan anak semata wayang dari gurunya tersebut adalah teman favorit semua orang, termasuk dirinya.

Tak jarang Nika juga selalu menolongnya saat ia sedang di bully oleh temannya yang lain, bahkan tadipun seperti biasa Nika juga membelanya di depan Berry dan hal itu pulalah yang membuat Berry semakin kesal pada Raffa, mengingat Berry selalu mengklaim Nika sebagai pacarnya, meski Nika tidak pernah menyukainya.

Melihat kegigihan dan juga ketulusan Nika, akhirnya Raffa pun dengan terpaksa menerima sandwich itu.

"Makasih," kata Raffa malu-malu.

"Sama-sama," sahut Nika dengan ceria. "Yodah di makan sekarang aja rotinya, ini aku bawain kamu susu juga untuk minumnya. Kamu pasti haus kan?"

Entah kapan Nika membawa minuman itu, tahu-tahu sekarang ia sudah menyodorkan sekotak susu UHT kepada Raffa, dan Raffa yang belum pulih dari keterkejutannya hanya pasrah saja saat Nika sudah menjejalkan minuman itu di tangannya yang lain.

"Aku seneng tadi liat kamu berani lawan Berry," kata Nika tiba-tiba. "Anak itu memang harus di lawan, biar nggak nakalin kamu terus Raf."

Raffa menipiskan bibir, wajahnya kembali di tekuk masam saat mengingat hal itu.

"Tapi gara-gara tadi, ibu guru marah sama aku."

Nika menatap Raffa kasihan. "Mama udah aku ceritain ko, sekarang Mama udah tahu siapa yang salah. Jadi besok kamu nggak usah panggil Mama kamu lagi ke sekolah."

Wajah Raffa langsung cerah. "Beneran?"

Nika langsung mengangguk dengan semangat, membuat senyum bahagia Raffa semakin lebar. "Makasih ya Nika, kamu selalu menolongku."

Usai mengatakan itu Raffa di buat terkejut oleh Nika yang tahu-tahu memeluknya. "Kita kan sahabat, aku senang sudah bisa menolongmu. Kata Papaku, sebaiknya kita nggak boleh takut kalau kita nggak merasa salah, jadi kalau nanti nggak ada aku lagi di dekat kamu, kamu harus berani membela diri sendiri, biar nanti nggak ada lagi yang bisa nakalin kamu."

Raffa sontak menarik diri. "Memangnya kamu mau kemana?"

Nika tersenyum. "Ya nggak kemana-mana, cuma kan siapa tahu nanti kamu ataupun aku yang akan pergi."

"Aku nggak akan pergi," kata Raffa dengan cepat sambil mengangkat bahu saat melihat Nika tersenyum menatapnya.

"Aku juga," balas Nika dengan senyum terkembang.

"Aku akan minta Mama untuk memasukkanku di SD yang sama kayak kamu, biar nanti kita bisa main bareng lagi kayak sekarang."

Nika terbelalak senang. "Janji?" Ia kemudian menyodorkan kelingkingnya dengan binar penuh harap.

"Janji." Raffa menyambutnya tanpa berpikir dua kali.

Mereka kemudian saling melempar senyum dengan kelingking keduanya yang saling bertaut. Wajah polos mereka yang tengah merajut mimpi untuk harapan di esok hari terlihat begitu bersinar di penuhi semangat, tanpa tahu bahwa dunia ini nyatanya begitu kejam untuk anak-anak polos seperti mereka. Mereka tidak pernah tahu bahwa harapan itu terkadang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Nika pikir Raffa akan menepati janjinya. Nika pikir Raffa tidak akan meninggalkannya. Tapi setelah janji kebersamaan mereka di ucapkan, esoknya Raffa tidak lagi datang ke sekolah. Berhari-hari sahabatnya itu tidak pernah muncul lagi di sekolah mereka, bahkan ketika Nika dan kedua orang tuanya mendatangi rumah Raffa, sahabatnya itu sudah tidak ada lagi disana.

Hari demi hari Nika terus menunggu kemunculan Raffa di sekolah, dengan harapan kalau Raffa tidak akan melupakan janji mereka di siang itu. Tapi hingga hari dimana terjadinya kecelakaan yang berhasil merenggut nyawa kedua orang tuanya, Nika tidak juga di pertemukan lagi dengan sahabat kecilnya itu.

Hai gaes, kita ketemu lg di cerita berbeda 😆

Btw, kalian masih ingat Raffa anaknya Dava-Alea di cerita love from the past? Nah ini dia ceritanya.

Ini prolog pas si Raffa belum ketemu sama Papa kandungnya ya dears, sedikit banyak untuk yg udah pernah baca cerita Love From The past pasti udah paham lah ya kalian😁😁

Love

Neayoz😘

(Un)Wanted BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang