17. Cemburu?

2.6K 407 74
                                    

Aku sampai melupakan fakta kalau Naya sedang palang merah, untung saja Naya mengingatkanku, jika tidak aku pasti sudah melakukan hal yang lebih padanya.

Aku yang mulai merasa bersalah pada Monika, kembali bersikap dingin pada Naya untuk hari-hari selanjutnya. Kejadian di kamar mandi pagi itu, masih membuatku bingung, serta memberikan efek tidak baik padaku setiap kali aku melihat Naya. Aku kian kesal karena tampaknya hanya aku yang merasakan hal tak nyaman seperti ini, sementara Naya tampak biasa saja, dia tetap pendiam seperti biasanya, menolak untuk menatapku dan bersikap seakan-akan ia tidak melihatku. Dan yang terburuk berada satu kamar dengannya seperti ini membuat naluri lelakiku meletup-letup.

Ini sungguh buruk bagiku, jika ini terus berlanjut bisa saja aku melewati batas yang sudah sejauh ini ku rentangkan di antara kami. Jadi karena itulah aku memintanya untuk pindah rumah agar kami bisa tidur terpisah di kamar yang berbeda. Pada mulanya Naya memang tidak setuju, dia sepertinya keberatan saat ku katakan kalau rumah itu adalah milikku dan Monika, aku bisa menangkap kilat kesedihan di kedua matanya, padahal aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa dia juga berharap akan di belikan rumah olehku?

Atau bisa juga, dia khawatir kalau aku punya maksud terselubung di balik permintaanku itu. Dan anehnya semakin aku mengenalnya, aku mulai sering menangkap kejanggalan-kejanggalan yang membingungkan, entah mengapa aku merasa sikap yang Naya tunjukan ini sangat berbanding terbalik dengan yang sering Monika ceritakan padaku, karena jika Naya memang seburuk itu tentunya Naya akan melawanku dengan mudah, tapi mengapa seringnya Naya bersikap pasrah dan mengalah tiap kali aku berusaha mengintimidasinya.

Ataukah benar seperti yang di katakan Mama dan Mario kalau Naya adalah wanita yang baik. Tapi jika aku mempercayai mereka, sama saja aku sudah mengkhianati Monika.

Ya Tuhan, mengapa Engkau menempatkanku di dalam posisi seperti ini, manakah yang harus ku percayai sekarang?

Pada akhirnya, aku pun memutuskan untuk kembali mengintimidasinya seperti biasa, tidak menyangka kalau akan semenyenangkan ini melihat ketidakberdayaannya. Dan sepertinya situasi ini akan terus aku manfaatkan untuk kedepannya, agar Naya bisa ku kendalikan dengan mudah.

Ketika dalam perjalanan ke rumah baru, aku menangkap keanehan didirinya. Kami memang tidak pernah banyak bicara, karena gengsi seringnya aku malas untuk menegurnya lebih dulu. Sengaja ku putar musik dengan keras, untuk mengusir rasa bosan yang datang menyerang namun anehnya tetap tak kunjung hilang. Dengan penasaran aku mencuri pandang kearah Naya-yang hari ini ku bolehkan duduk di samping kemudi. Di saat itulah aku baru menyadari ada yang aneh dengan dirinya, ku lihat wajahnya yang pucat di penuhi oleh keringat, sedang kedua matanya tertutup dengan rapat. Sepasang jemarinya mencengkeram sabuk pengaman dengan gemetaran hebat. Ada apa dengannya?

Dengan reflek aku membawa mobil ke tepi, lalu mencondongkan tubuhku kearah Naya untuk mengecek kondisinya. Ya Tuhan, seluruh tubuhnya menggigil dan dingin. Apa dia akan pingsan seperti waktu itu?

"Nay?" Aku menepuk-nepuk wajahnya yang pucat, ku tahu dia masih sadar hanya saja dia tidak sedang dalam kondisi normal.

Naya membuka mata dengan tatapan penuh ketakutan, matanya menyapu ke sekitar dengan was-was, lalu saat tersadar kalau mobil telah menepi iapun kemudian menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menangis tanpa suara.

"Nay, ada apa?" Ku sentuh pundaknya yang bergetar dengan lembut dan hati-hati, seakan aku takut menyakitinya. Aku tidak mengerti ada apa dengannya, bukankah sebelum berangkat Naya masih baik-baik saja. Lalu apa yang membuatnya menjadi seperti ini?

Naya bergeming seolah enggan untuk memberi tahu, dia membiarku berkutat dalam kebingungan untuk beberapa waktu lamanya. Dan anehnya, dengan reflek aku melingkarkan lenganku di pundaknya dan membawa kepalanya untuk bersandar di dadaku.

(Un)Wanted BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang