16. Rasa yang tak semestinya

2.4K 380 90
                                    

"Oke, keluarlah! Aku butuh mandi sekarang," titahnya dengan suara yang lebih lembut dari pada biasanya. Aku sempat tertegun karena hal itu, namun saat fokusku sudah terkumpul kembali, aku pun segera bertolak meninggalkannya.

Aku menyandarkan tubuhku pada pintu kamar mandi yang sudah tertutup. Nafasku memburu, dengan dada yang naik turun aku berusaha mengendalikan degup jantungku akibat kejadian tadi. Dengan alami aku menyentuh bibirku, rasa manis mulut Raffael masih membekas di ujung bibirku. Ini kedua kalinya kami berciuman, dan kedua kalinya pula aku tidak bisa menolak ciumannya. Sebenarnya ada apa dengan hatiku? Mengapa hatiku sakit dengan melihat kehancurannya? Apakah ini murni karena perasaan bersalah, atau ada perasaan lain yang kini tengah berkembang di dalam diriku?

##

Setelah kejadian di pagi itu, aku tidak pernah lagi berani membahas soal perceraian. Meski hubungan kami tidak berubah menjadi lebih baik, tapi setidaknya Raffael tidak pernah lagi berkata maupun bersikap kasar padaku. Jika kebetulan kami bertemu di dalam kamar, dia hanya diam tidak berkata-kata, dan begitupun dengan yang ku lakukan padanya. Kalau bukan Raffael yang memulainya lebih dulu, aku tetap bungkam seribu bahasa karena takut suaraku akan kembali memancing kemarahannya.

"Sebaiknya lo kemasi pakaian-pakaian lo, besok kita akan pindah dari sini."

Gerakanku yang tengah mengambil pakaian ganti di lemari terhenti, saat Raffael mengajakku bicara. Tadinya saat melihat keberadaannya di kamar ini, aku berniat akan mandi di kamar sebelah--dan mendatangi kamar ini hanya untuk mengambil beberapa potong pakaian milikku saja. Kami sudah berhari-hari tidak saling bertegur sapa, ku pikir Raffael akan kembali mengabaikan keberadaanku seperti yang di lakukannya belakangan ini, tapi ternyata sekalinya ia kembali bicara, ucapannya langsung membuat jantungku menghentak.

"Ma-maksud kamu?" tanyaku seraya menoleh kearahnya yang kini tengah menatapku dengan datar. Datar? Ya, akhir-akhir ini dia lebih sering menatapku dengan sorot mata datar seperti itu, bahkan seringnya aku kebingungan saat menafsirkan jenis tatapannya yang tak lagi sama dengan yang dulu.

"Gue akan bawa lo pindah ke rumah baru."

"Pindah? Rumah baru?"

Raffael berdecak, ia mulai terlihat kesal. "Iya pindah, apa omongan gue masih kurang jelas?"

Aku mengerjap bingung, berusaha memahami maksudnya, tapi sayangnya apa yang Raffael sampaikan masih terlihat abu-abu di mataku. "Tapi kenapa?"

"Gue cuma butuh privasi, dan disini gue nggak bisa mendapatkannya," akunya dengan murung.

Sekarang aku mulai paham, Raffael pasti mengajakku keluar dari rumah ini, agar tidak akan ada yang membelaku disana ketika ia mulai bersikap semaunya padaku.

"Jangan berpikir macam-macam! Kalo gue ingin melakukan hal-hal kejam seperti yang ada di pikiran lo, gue nggak perlu nunggu sampai pindah rumah untuk melakukannya!"

"Eh, itu...." Aku yang disindir seperti itu oleh Raffael sontak merona, tidak menyangka kalau ia bisa membaca pikiranku.

"Rumah itu adalah rumah impian gue dengan Monika, tadinya gue membangun rumah itu untuk kami berdua tinggali. Tapi karena sekarang dia udah nggak ada...."

Tatapan Raffael berubah sendu, dan itu langsung menembus hatiku. Aku tiba-tiba bisa merasakan kesedihannya sekarang.

"Karena lo yang udah buat gue kehilangan dia, makanya lo harus temanin gue tinggal di rumah itu. Gue nggak mau buat Monika sedih dengan melihat rumah itu kosong, tanpa adanya gue disana," katanya dengan nada sarkasme yang kentara.

Hatiku mencelos mendengar alasannya, ku pikir Raffael sudah berubah, tapi nyatanya dia tetap saja menyalahkanku atas kematian Monika. Haruskah aku memberitahukan kejadian yang sebenarnya padanya? Tapi bagaimana jika hal itu malah akan membuat Raffael semakin sedih? Lagi pula, aku tidak bisa mengatakannya karena aku sudah berjanji pada Monika untuk tidak mengatakannya pada siapapun, termasuk pada Raffael.

(Un)Wanted BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang