Prolog

37 4 1
                                    


20 April 2018

"Nih! Giliranmu! " kata Go— sambil melempar dua buah dadu

Aku menangkapnya dan langsung melemparnya tanpa mengocok. Kedua buah kubus putih itu bergerak berputar di atas meja kayu sebelum berhenti dan menunjukkan hasilnya. Satu titik dan tiga titik. Empat langkah.

Kuangkat pion hitamku yang berbentuk seperti anak perempuan manis berkacamata, melangkah sebanyak empat kotak ke depan. Mendarat di sebuah kotak dengan ilustrasi berupa rumah anjing dan seekor anak anjing jantan berjenis mini pom yang sedang duduk manis di sebelah mangkuk makanannya.

"Wah, rumah anjing! Apa dia bisa menebak langkah berikutnya kali ini? " tanya Go—. Gadis beramput pendek sebahu itu membetulkan penutup sebelah matanya, kemudian mendorong tumpukan kartu challenge ke arahku.

"Seharusnya bisa! Setidaknya dia cukup pintar mengartikan clue yang kuberikan! " aku tersenyum saat mengambil kartu berwarna putih itu dan membaca beberapa baris sajak teka teki di dalamnya.

"Enak ya? Pion pion kalian pada pintar semua, bahkan punyaku belum ada yang maju sampai sekarang! " gerutu Ha—.

Aku nyengir, sepertinya gadis pemilik sekolah musik terkenal itu sedang marah atau bad mood. Wajahnya mungilnya tersembunyi di balik kegelapan ruangan yang dingin. Secara lampu yang menyala hanyalah lampu temaram yang bergantung di atas kepala kami, menyinari seluruh meja segi empat dimana masing masing orang duduk di satu sisinya. Tapi tidak menyinari para pemainnya. Walau aku juga bingung kenapa kami harus bermain dengan background seperti ini, seperti aksi film horror saja.

"Kalau begitu kita lanjutkan ronde berikutnya beberapa hari lagi? " tanya Va—

Aku menatap lurus iris mata gadis itu meski tersembunyi dalam hitamnya kegelapan. Dia pun tahu aku menatapnya dan tersenyum–aku tahu itu, dia selalu tersenyum begitu padaku.

"Waktunya bisa diperpanjang ga? Pionku ini bener bener... Hhhh. " Ha– mendesah, berusaha bersabar dan tidak mengumpat kasar

"Tapi dari awal permainan kita sudah menjanjikan waktu tiap ronde, tidak bisa diganti! Kalau dia stuck disitu terus, berarti kita akan umumkan ancaman pada pemain lainnya supaya tidak meremehkan apa yang kita berikan! " balas Va–

Ancaman, aku tahu betul apa maksudnya. Yang pasti bukan sekadar bentakan semata atau kalimat berisi akibat apa yang akan mereka terima kalau berani melawan, lebih dari itu.  Rambut putih panjangnya menjuntai ke atas meja ketika gadis itu memajukan wajahnya, supaya bisa melihat ketiga saudarinya yang lain, termasuk aku. Helai helai rambut tipis itu tersampir ke samping bahu. Pakaiannya yang putih dan kulitnya yang putih pucat benar benar khas, membuat penampilannya seperti boneka putri es yang dingin. Meski pun rambutnya sudah dua tahun dirubah dari warna aslinya.

"Kalau dia tidak bisa menebak clue terakhir sampai batas waktu selesai, kita anggap dia gagal dan keluar! " lanjutnya sambil berdiri, dia melangkah pelan ke sebuah daftar gambar di dinding belakang dan menggoreskan pisau kecilnya ke salah satu gambar anak laki laki.

Satu garis.. Batinku, kesempatan anak itu tinggal satu kali lagi.

"Adeh, berarti aku kalah? " tanya Ha— sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Kau masih ada dua pion! Belum kalah sepenuhnya. " balas Go— datar

"Iya sihh... Tapi kan... "

"Kau cukup diam hari ini! " tanya Va— menyela perkataan Ha–

Aku tahu kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Aku.

Sekarang ketiga saudariku atau tepatnya adik adikku–karena aku adalah yang tertua di antara mereka–memandang ke arahku. 

"Tidak! Hanya pusing, ayo makan dan tidur! Ronde hari ini sudah selesai kan?  " jawabku

Gadis berambut putih, adik bungsuku itu berjalan agak cepat ke arahku dan menyentuh jidatku. Rasanya aneh diperlakukan seperti ini padahal aku yang tertua.

"Kau lumayan panas. Jangan bilang kau membawa pekerjaan lagi? "

"Seperti biasa! "

"Kali ini biarkan anak buahmu yang bekerja, mereka kelihatannya juga khawatir denganmu! "

Pikiranku teralih ke anak buah 'khususku' itu. Mereka berlima pastinya sedang berkumpul bermain dengan anak buah dari pihak ketiga adikku juga. Lagipula jarang jarang mereka bertemu bermain seperti ini, lebih baik aku berkerja sendiri saja daripada menggangu reuni mereka.

"Kaya ga tahu aku saja! Akan kukerjakan sendiri! " aku menarik tangannya dan ikut berdiri, disusul dua adikku yang lain. Aku mengajak mereka makan di salah satu restoran bernuansa tradisional yang enak. Dua jam kami habiskan disana sambil bersenda gurau sebelum pulang ke hotel.

"Haku! Dimana berkas berkasku? " tanyaku pada salah satu anak buahku

"Ah, pelayan kak Val— sudah membawakannya ke kamar kakak! " jawab laki laki dengan fisik seperti pemuda dua puluh tahunan itu.

"Oh, kalau begitu ya sudah! Makan malam dan ingat, besok kita ada urusan lagi! "

Mereka berlima mengangguk. Aku melirik mereka yang beranjak dari taman hotel ke kafetaria, memastikan mereka benar benar akan makan. Kemudian aku lanjut berjalan dari lobi naik lift ke kamarku. Untungnya kami tidur sendiri sendiri, kalau tidak salah satu dari ketiga bocah itu pasti akan mengusikku sepanjang malam saat aku bekerja.

Waktu yang terus bergerak semakin larut membuat angin yang berhembus terasa semakin dingin. Kubuka buru buru pintu kamarku itu tanpa menghiraukan suara dengkuran yang nyaris sama dengan suara drum ditabuh di kamae sebelah sebelah.

Untungnya kamarku hangat, kulepaskan segala jenis barang yang mengapit tubuhku dan berganti baju santai sebelum mengedarkan pandangan ke penjuru kamar, dan menemukan folder folderku tergeletak di atas meja.

Bagus, siap siap lembur lagi.

Baru saat aku hendak menyiapkan mental untuk begadang dan mengecek isi isi kertas itu, aku setengah terperangah. Semua sudah selesai. Semuanya dari ajuan produk ini itu, ajakan kerjasama, semua sudah dipilah dan ditanda tangani–dia dapat tanda tanganku dari mana lagi? Aku menghela napas dan meletakkan sembarang semua kertas itu.

Pasti kerjaan dia nih

Si gadis berambut putih.

Padahal sudah kubilang biar aku yang kerjakan sendiri, ah ya sudahlah! Kepalaku pusing.

Entah apa yang dilakukan badanku, bukannya melangkah ke kasur aku malah keluar kamar. Berjalan berkeliling sekitar lantai ini dan tiba tiba menemukan lima ekor serigala berusia remaja.

Salah satunya yang paling kecil berlari semangat memanjat ke bahuku. Tak merasa terusik atau apapun aku hanya mengelus kepala salah satu 'anak buah' ku itu. "Tidur yuk! " ajakku

Kelimanya mengangguk, kemudian kami berjalan beriringan ke kamar masing masing.

Sebelum besok pergi melanjutkan ronde berikutnya.

Permainan milik gadis berambut putih,
sahabatku, juga saudariku.

***

Four Flowers Against Four Eagles : Abyss of Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang