10

2 0 0
                                    


"Grrrrr rrrrr. "

"Tidak, jangan takut! Aku akan melindungimu, aku akan membawamu pergi! "

Aku yang masih muda, dan dalam wujud binatang itu jelas tidak mempercayai ucapan manis itu. Instingku terus memintaku waspada dan terus meraung ganas memberi peringatan. Sontak aku langsung menggigit tangannya yang berusaha menggapai tubuh adikku yang lain.

Darah memercik dalam jumlah yang tidak sedikit, juga lengannya yang terkoyak, gadis manusia itu tampak kesakitan. Jelas dari cairan bening yang keluar dari pelupuk matanya. Tapi dia tidak mundur.

"Tidak apa apa. Kau bisa percaya padaku. "  suara letupan senapan yang menggelegar membuatku semakin emosi. Belum selesai masalah dengan para pemburu itu, masih kedapatan dengan gadis kecil ini. "Aku tidak akan menyakitimu. Percayalah. "

Lagi lagi gadis itu menawarkan tangannya, kali ini tangan kiri yang tidak terluka. Refleks aku mengendus tangan yang gemetar itu, entah dari rasa takut aku akan menggigitnya lagi atau dari hawa dingin ini. Tiga menit nyaris terasa seperti berabad abad, aku tahu anak ini tidak bermaksud jahat. Tapi sayangnya waktu itu lebih dari cukup untuk mendatangkan kerumunan pemburu yang mengincar ku tadi.

"Miss, sebaiknya kau menjauh dari mereka. "

Aku langsung kembali pada posisi menyerangku sambil meraung lagi. Melindungi keranjang rotan kecil yang berisikan adik adikku yang lain.

"Pemburu liar eh? " tanya gadis itu dengan aura yang entah bagaimana berubah 180 derajat lebih dingin.

"Kau sudah terluka, lebih baik kau menyingkir sebelum kami bunuh juga. "

"Atau kau lebih ingin ikut bersama kami? Kau cukup cantik untuk gadis seumuranmu Miss. "

DOR!

Aku melangkah mundur selangkah saat mendengar suara keras itu lagi. Gadis itu mengacungkan revolver hitam yang masih berasap. Peluru yang ditembaknya bersarang tepat di tengah dahi pemburu yang menggodanya tadi.

"Well well, aku pernah melihat wajah kalian dari pengadilan setempat. Para pemburu illegal. " katanya sambil mengeluarkan pistol lagi dari saku kirinya. Kini kedua tangannya bersenjatakan revolver. "Dan tahukah kau? Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kalian padaku. "

"Kau perempuan sialan! Beraniny–"

DOR!

Gadis itu lagi lagi menembaknya tanpa menunggunya selesai bicara.

Aku sempat terdorong takut, mencoba tetap tegar untuk mengintimidasi mereka. Tapi gadis itu lebih dulu bicara, "kalau kau bisa mengerti ku, bawa saudara saudaramu pergi sekarang. "

Belasan peluru ditembakkan ke arah gadis itu, tapi dia turut melempar sebuah benda mungil ke depan. Bola itu meletus kecil sebelum memunculkan sebuah tembok kokoh dari besi. Gadis itu sontak berlari sambil mengacungkan kedua tangannya, menembak dari balik tembok pelindung otomatisnya tadi.

Aku tak bisa berpikir lagi. Aku menarik keranjang rotan itu menjauhi area pertarungan sejauh mungkin, memasuki hutan gelap. Beberapa meter, aku menyembunyikan keranjang itu di sebuah semak rimbun dibawah pohon kemudian berlari cepat menyusul gadis tadi. Nyaris beberapa menit kuhabiskan untuk bolak balik, pada saat aku kembali gadis itu tengah terduduk dengan tangan dan kakinya yang berdarah. Tapi semua pemburu yang melawannya dalam keadaan tergeletak di tanah berumput–entah masih hidup atau mati aku tidak peduli.

Aku berjalan pelan melangkahi orang orang itu dengan telinga yang tertunduk, aku merasa bersalah pada gadis itu karena membiarkannya menghadapi belasan orang dewasa sendirian. Sepertinya aku percaya anak ini adalah anak baik, aku menyundul lengan kirinya yang menumpu tubuhnya.

Four Flowers Against Four Eagles : Abyss of Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang