3

9 3 0
                                    

Hawwysia Freya

Kubuka hp ku untuk mengajak ketiga teman yang sudah kuanggap saudara sendiri itu ngobrol untuk mengusir kebosanan dalam group chat tapi tak ada yang menjawab. Maklum sih, Eila tidak tahan dalam pesawat, bisa dipastikan dia lebih memilih tidur. Godehyda tidak terlalu sering buka hp, dan data nya selalu mati. Val apalagi, anak itu pasti lebih suka menatap pemandangan dari jendela yang menurutku itu sedikit memacu adrenalin.

Setelah tanpa sadar dua jam aku meneror mereka dalam private chat, aku baru sadar kami sudah sampai ke negara tujuan. Negara kesukaan adik bungsuku, Jepang. Aku hendak berdiri tapi lupa akan kenyataan bahwa aku duduk di pojokan, dan harus menunggu orang di sebelahku berdiri dulu. Ya, aku tidak duduk sendiri, melainkan bersama manusia laki laki yang kira kira seumuran denganku. Padahal dari tadi aku sudah gatal ingin bangkit dan keluar tapi masih harus menahan sabar.

Beberapa menit berjalan, nyaris semua kursi sudah kosong dan lorong untuk berjalan cukup luas untuk sekadar berjalan tapi orang ini tidak berdiri juga. Aku menyipitkan sebelah mata, sopankah kalau aku minta permisi duluan? Karena pasti yang lain sudah menungguku juga.

Dua menit lagi berjalan, setelah kabin benar benar kosong, aku bertekad untuk minta permisi walau mungkin agak tak sopan. Ya gimana lagi, daripada ditinggal berduaan dengan cowo ga dikenal...

Baru aku ingin membuka percakapan, kami saling menoleh. Yang mana mata kami jadi saling bertatapan. Dari sekian banyak anggota tubuh, kenapa aku harus seketika menatap iris mata itu? Agak aneh, arah pandangan kami saling terfokus pada mata satu sama lain. Yang membuatku sedikit gusar, kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari dia.

Aku mencubit tanganku sendiri tanpa sadar, fokus sia fokus! Akhirnya aku buka suara "maaf, saya mau keluar! " kataku agak ketus.

Tapi dia tidak bergerak, malah menatapku semakin intens dan membuatku semakin waspada. Apa yang akan dilakukannya? Bisa saja dia kutonjok, tapi hei. Kami masih duduk, di kabin pesawat, tempat umum. Mengingat ancaman Eila yang selalu bilang untuk tidak menarik perhatian umum, aku bersabar, dan berkata tegas "Tuan! Tolong, saya buru buru nih! "

Dia memutus kontak mata kami, kemudian perlahan berdiri. Aku yang sudah nyaris bersorak dalam hati ingin buru buru meninggalkan kabin, lagi lagi terpaku di ambang kursi. Dia masih menghalangi jalanku. Astaga, kita bahkan tak pernah bertemu. Bisa ya bersikap seperti ini? Seakan paham arti mataku, dia menjawab terlebih dahulu sambil mendekatkan wajahnya padaku "We'll meet again soon! "

Dan dia pergi begitu saja. Yah aku tidak terpaku atau sejenisnya mendengar tuturannya yang menurutku terlalu random itu. Karena aku lebih khawatir pada ketiga saudaraku yang pasti sudah meninggalkanku kalau aku tidak muncul. Aku langsung berlari keluar pesawat dan menuju ke tempat pengambilan barang. Lorong saat itu cukup sepi, bahkan batang hidung cowo tadi tidak terlihat. Tapi baguslah, akan canggung dan aneh kalau kita bertemu lagi setelah dia bertutur seperti itu.

Aku membuka hp dan menemukan sebuah panggilan dari Eilaria lalu langsung mengangkatnya. "Dimana kau? Boker di toilet? "

"Nope! Tadi pas mau keluar, aku ketinggalan charger jadi aku balik lagi buat ngecek. Ternyata tidak ada, charger ku masih di dalam tas! " kataku berdusta, maafkan aku ya. Kalau aku cerita barusan ada cowo random yang menebar 'teror' tak berbobot mereka pasti sudah gencar mencari informasinya.

"Cepet ke pintu keluar gih! Sudah kubawakan barang barangmu, taksinya juga sudah sampai! "

"Oke sip, mantap! " kataku bergurau sambil mempercepat langkah. Beberapa menit akhirnya aku sampai di lautan para manusia, menerobos mereka sambil mengucap maaf berulang kali, hingga sampai di depan pintu keluar yang terbuat dari kaca dengan huruf kanji yang tentunya tak bisa kubaca.

Four Flowers Against Four Eagles : Abyss of Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang