7

3 2 0
                                    


Bunyi dari ketukan sepatu itu bergaung keras di sepanjang lantai marmer hitam. Image dari cardigan selalu lekat padanya, sehingga orang orang akan langsung tahu siapa dia hanya dari lambaian kain yang dia kenakan. Bunyi gemuruh petir yang menggelegar di angkasa hitam seakan tidak menyentuh telinganya, ataupun lambaian ranting pohon yang terus mengetuk kaca jendela karena kencangnya angin. Dia jauh lebih sibuk memerhatikan sekitar, mulai dari lorong yang hening, hingga di saat para maid dan bodyguard menyingkir kala dia melangkah menuju ujung ruangan dimana pintu raksasa bermodel rustic berdiri gagah di hadapannya.

Manor itu sangat dingin, seolah cahaya matahari tak pernah sudi menyentuhnya. Sama dinginnya dengan seluruh penghuni di dalamnya. Bahkan lampu di sepanjang koridor maupun lorong sengaja dibuat redup sehingga menambah aksen rumah angker yang sudah lama ditinggalkan.

Beberpa meter jauhnya sebelum melangkah masuk ke lorong, gadis itu terhenti sejenak saat melihat pemuda berjas rapi keluar dari lorong itu. Dia berjalan cukup cepat, sehingga dia tak bisa melihat wajahnya. Tak menghiraukan itu dia meneruskan jalan.

Gadis itu menoleh ke kanan dan kirinya, memerintahkan para guard yang berjaga di masing masing sisi pintu itu untuk menyingkir sejenak selama dia akan masuk ke dalam. Tak lama setelah itu seekor serigala berukuran sedang yang tadinya bernaung di bahunya manjatuhkan diri di lantai sebelum berubah wujud jadi pemuda usia dua puluhan.

Setelah suasana di manor itu sepi seperti kuburan, baru dia mengetuk pintu. "Saya sudah datang, tuan Aldrich. "

Di balik pintu itu, pria berusia setengah abad duduk dengan takzim di meja kerjanya. Dia berkedip puas sebelum menyuruh gadis itu masuk.

"Duduklah, Eila. " panggilnya pelan sambil menujuk ke kursi di depannya. "Selamat sore, Haku! "

Eilaria mengangguk, sementara Haku–serigala tertuanya–membalas sopan sapaan itu dan berdiri beberapa langkah di belakangnya. Mungkin kalian sudah bisa menebak makhluk apa Haku itu, karena dia bukan manusia sepenuhnya.

Eilaria menunggu dengan tenang, tak jarang dia dipanggil sendiri ke ruangan pria itu. Terkadang sebagai yang tertua dan yang paling dewasa, Aldrich suka meminta Eila untuk melapor soal keadaan anaknya berhubung putrinya sendiri tidak bisa dan tidak mau jujur pada ayahnya sendiri. Selain itu Aldrich sudah kenal lama dengan Eila, kemudian keluarganya, jadi dia percaya pada gadis itu sepenuhnya.

"Bagaimana kabar akhir akhir ini? " tanya pria itu sambil meneruskan menulis dan memilah berkas yang berantakan di atas meja.

"Baik, semuanya tak ada masalah. Profit perusahaan mengalir lancar, dan proyek proyek berikutnya masih menanti—"

"Bukan bukan, maksudku kabar kalian. Bukan gedung gedung sialan itu, kalau kabar mereka jelas aku tahu. "

"Oh maaf, semuanya baik. Val juga rutin mengerjakan pekerjaannya sesuai keinginan anda. "

"Tanpa memberontak lagi? "

Eilaria berdeham kecil. Kalau untuk itu, dia bingung mau menjawab seperti apa. Tapi Aldrich langsung paham apa jawabannya.

"Dan kau Haku? Bagaimana adik adikmu? Juga yang lainnya. "

"They're doing alright sir. "

"Bahasa inggrismu semakin bagus. Hebat, dengan begitu kau bisa lebih leluasa berbicara dengan orang lain tanpa repot menggunakan translator. " puji Aldrich. Eilaria ikut tersenyum pada Haku yang memerah.

Padahal image pria itu di depan para koleganya adalah pria galak tanpa hati. Tapi dia kentara menunjukkan perhatian pada orang orang kepercayaannya.

Four Flowers Against Four Eagles : Abyss of Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang