"Harusnya sih, waktu permainan kemarin, mereka bisa kena peringatan dari wasit. Gue juga masih speechless karena kejadiannya emang cepet banget, Jaem!"
Na Jaemin mengangguk-anggukkan kepalanya dalam diam. Bahasan dari Haruto ini sedikit menyinggung dirinya, toh, dengan kata lain ia penyebab dari timnya yang kalah.
Berkat insiden sial itu, Jaemin belum bisa dipastikan untuk ikut dalam turnamen basket lainnya. Cederanya sedikit lumayan parah, jadi ia hanya datang hari ini ke lapangan latihan hanya untuk melihat-lihat saja.
"Overall, Pak Bancheol udah ngurusin segala keperluan lo buat tanding tahun terakhir di Incheon. Lo fokus aja buat nyembuhin diri, sekalian anggep liburan!" Haruto berusaha menyemangati. Ia sampai menghentikan langkah kakinya hingga sedikit tertinggal Jaemin yang terus berjalan dengan terpincang.
Lelaki itu mengejar, ia kembali memegang bahu partner basketnya. "Muka lo juga keliatan kusut banget. Coba cari hiburan, atau cari pacar!" godanya.
Mendengarnya, Jaemin sedikit terkekeh. Urusan pacar tak usah ditanya, Jaemin sudah mengambil start semenjak pertama kali ia berjumpa. Ah, cinta pertama benar-benar terasa menyeramkan baginya. Sebab entah kenapa, kalau memikirkan gadis itu, Na Jaemin jadi lupa kalau dunianya sudah gelap.
Kedua lelaki itu lanjur berjalan menuju tribun setelah tadi berjalan-jalan di sekitarnya. Jaemin memang sengaja hendak membiasakan kakinya untuk berjalan, lelaki itu tidak mau berlama-lama menggunakan tongkat, dan membuat dirinya jadi terlihat menyedihkan.
Lama bercakap-cakap dengan Haruot sambil masih menginspeksi insiden waktu itu, keduanya tiba di tribun. Jaemin kemudian menyadari ada seorang gadis tak asing duduk di tribun. Lelaki pincang itu segera menghentikan langkahnya, ia memanggil, "Sujeong?"
Jaemin menghembuskan napas lega saat itu benar-benar Sujeong. Yah, setidaknya bukan gadis-gadis bermulut ribut seperti yang lainnya. Lepas menyapa gadis itu, Haruto berpamitan padanya, dan meninggalkan ia berdua bersama 'temannya'.
Jaemin senang ada Sujeong. Gadis berkacamata itu pendiam, tidak terlalu mengusik hari Jaemin bila ia ada. Setelahnya, Sujeong bertanya perihal kakinya, san Jaemin menjawab singkat saja. Keduanya terbiasa seperti itu, dan akan lebih baik kalau terus seperti itu.
Tapi sepertinya, ketenangannya tak berlangsung lama. Jaemin yang dari tadi menggenggam ponselnya, kini sibuk mengintipi benda itu setelah duduk di sebelah Sujeong.
Lelaki itu... Menunggu waktu.
Ia menunggu waktu untuk mengungkapkan perasaannya. Bahwa apa yang selama ini ia pendam, bukan hanya rasa suka, Tapi juga cinta.
Yoo Jira namanya. Gadis berumur dua tahun lebih tua darinya itu adalah jelmaan sosok yang telah hilang dari hidup Jaemin. Yoo Jira sempurna berkamuflase menjadi sosok ibu bagi Na Jaemin, juga sempurna menduduki hati lelaki itu bertahun-tahun lamanya.
Awal berjumpa saat Jaemin kelas tiga SMP dulu. Yoo Jira yang dua tahun lebih tua diatasnya itu tengah menduduki bangku SMA, menjabat sebagai anggota osis aktif yang berpartisipasi menyelenggarakan lomba basket di sekolahnya.
Jira adalah sosok yang ceria, ramah, dan baik kepada siapa saja. Suaranya cukup keras, tapi itu yang Jaemin suka. Gadis itu cenderung terburu-buru, ceroboh, terkadang bahkan gemar merutuk kasar kepada sesiapa saja yang mengganggunya. Dan Jaemin suka.
Jaemin sudah dari lama meminta nomor Jira, sudah dari lama pula menjalin cerita. Jaemin suka menaburkan keluh kesahnya pada gadis dewasa itu, seringkali pula ia menangis didepannya. Jaemin merasa nyaman, sebab jika ia berada di dekat Jira, ia menjelma menjadi dirinya.
Jaemin tak perlu menjadi 'bedebah dingin' seperti yang orang lain sematkan padanya. Yoo Jira juga tidak gemar menyematkan hal-hal seperti itu sebagai nama panggilannya. Dan Jaemin... Jadi makin cinta.
Semakin mengenalnya, semakin Jaemin takut gadis itu akan lari darinya. Maka untuk menegaskan hubungan mereka, Jaemin berencana untuk segera mengakui perasaannya.
Untuk itulah, Na Jaemin terus gelisah dan tidak fokus pada arah percakapan Noh Sujeong. Ia menjawab seadanya saat ditanya, atau kadang-kadang hanya menggigit bibir bawahnya sembari menatapi notifikasi ponselnya.
Na Jaemin... Harus tahu dimana posisi gadis kesayangannya.
*ssan chat
Na Jaemin segera berpamitan kepada Sujeong yang tengah menelepon seseorang, ia setengah berlari setelah dengan singkat mengucapkan salam perpisahan. Tak memperdulikan kakinya yang sakit bila dipaksa, lelaki itu ingin sekali cepat-cepat mengakui perasaannya.
Dengan gugup, ia menekan tombol telfon untuk tersambung dengan gadis-nya.
"Saya masih di lapangan, Kak. Ini segera kesana, kok! Kakak tunggu saya, ya?"
"Serius? Gue bareng temen sih. Besok aja kalau enggak ketemuannya, gimana?"
Na Jaemin menghentikan perjalanannya. Menatap lurus dengan pandangan konsisten datar, ia berkata pelan, "Sekarang. Saya maunya sekarang kesana."
Terdengar suara diseberang tampak linglung dan sedikit bingung. Setelah deheman singkat, gadis di seberang telefon akhirnya hanya bisa pasrah.
"Oke, terserah lo."
Na Jaemin menutup telefon dan segera menghentikan taksi di pinggir jalan.
Duduk di dalamnya, pikiran Na Jaemin masih belum tenang sama sekali. Ada banyak hal berdesakan di otaknya, dan membuat lelaki itu tiba-tiba ragu.
Pernikahan ayahnya, kejanggalan pasca turnamen yang menimpanya, bagaimana karir atlet nya, atau apa yang akan terjadi padanya kalau Yoo Jira menolak pengakuannya?
Ah, sepertinya ia hanya akan fokus pada hal terakhir hari iniㅡ pengakuannya pada Jira.
Gadis yang lebih tua darinya itu belum benar-benar bisa ditebak secara keseluruhan, tapi Jaemin benar yakin bahwa ia akan mendapatkannya.
Maksudnyaㅡ akan benar-benar berusaha mendapatkannya.
Na Jaemin sengaja menyusun pengakuan hatinya dengan tergesa-gesa, sebab mau dipikirkan bagaimanapun, Jaemin merasa bahwa hanya Jira yang kini ia punya.
Ayahnya? Omong kosong! Lelaki itu hanyalah seorang pengkhianat cinta ibunya yang telah tiada, jadi Jaemin menolak menjadikan ia sebagai orang yang bisa digenggamnya.
Na Jaemin butuh penyangga saat ia jatuh, dan ia berpikir bahwa Yoo Jira adalah tongkat itu.
Maka ia sama sekali tidak pernah berharap Yoo Jira akan menolak pengakuannya. Lelaki itu akan menolak kenyataan, serta membenci dunia bila ia ditinggalkan sendirian lagi seperti yang ayahnya sudah lakukan padanya.
Meski dianggap sebagai bedebah dingin pendendam oleh seluruh dunia, Jaemin hanya seorang anak lelaki penakut yang akan menggetar bila ditinggalkan sendirian. Na Jaemin boleh ditinggalkan oleh semua orang, tapi salah satu dari mereka setidaknya harus selalu menemaninya.
Ia tak butuh banyakㅡ hanya satu. Dan menurutnya itu sudah lebih dari cukup sebagai pengganti ibunya.
Maka saat taxi yang ditumpangi anak lelaki itu berhenti di bahu jalan, ia segera berlari keluar menuju instruksi Jira sebelumnya. Langkah kakinya yang lebar seolah membelah jalanan, seolah memberi tahu dunia bahwa hari ini adalah hari yang paling bersejarah diantara semuanya.
Tetapi Na Jaemin lupa. Bahwa apa yang manusia inginkan, tak selalu sejalan dengan apa yang sudah ditakdirkan. Manusia kerap kali kecewa, sebab ekspektasi manusia sudah jauh sekali melampaui kenyataan yang ada.
Seperti Na Jaemin yang kini tergugu di depan etalase kaca cafè yang baru saja di datanginya. Tak banyak yang tahu kalau lelaki itu mempunyai hati kecil yang gampang terbakar oleh api amarah.
Namun meski begitu, ia menjaga sunyi.
Lelaki itu hanya terdiam, seolah sepasang kaki yang tadinya berlari semangat itu ditancapkan oleh paku raksasa tak kasat mata. Pupil matanya bergetar, menerawang jauh ke seseorang dengan tawa cerah di ujung sana.
Dibandingkan sakit, hatinya seolah sudah menetapkan diri untuk membenci. Seseorang di hadapan Jira adalah alasannya untuk menyakiti.
Zhong Chenle.
Lelaki sialan yang mengalahkannya dengan cara kotor di pertandingan, juga mengalahkannya dalam permainan perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
imperfect : beauty flaws | ©crushparis
Fanfictionnct dream au • renjun / chenle fanfict. completed story ©2020 Karena sejatinya, perpisahan, kehancuran, keretakan bahkan hingga kepergian, adalah salah satu bentuk kecacatan. Dan manusia takkan mampu menghindar, bahkan bila mereka mau. Suatu hari na...