#9 IBF | The Nearest - Revisi ✔

29 6 1
                                    

Lim Sora tengah serius mendengar penjelasan Bu Gain lebih lanjut saat karyanya direview oleh guru gempal itu. Gadis itu berulang kali mengangguk, terkadang berarti paham, terkadang juga berarti ia takut dimarahi oleh Bu Gain karena tidak mengerti maksudnya.

Sedangkan seperti hari sebelumnya, Hwang Renjun tidak terlalu menaruh peduli. Pemuda satu itu hanya membolak balik bukunya, atau terkadang menulis dan mencoret asal kertas kosong di halaman paling belakangnya.

"...dalam penulisan puisi, biasanya sikap artistik lebih ditangkap, dimana keindahan permainan kata benar-benar diperhatikan bahkan jika pembaca belum menangkap maksudnya. Rima dan kosakata yang seimbang juga menentukan..."

Renjun diam-diam menguap, matanya sampai berair mendengar seluruh omongan Bu Gain mengenai puisi Sora. Ia mengetahui bahwa gadis yang duduk disampingnya dengan tatapan sama bosan itu tengah sibuk mencari celah untuk tidak mendengarkan lebih lanjut hal yang sudah lima belas kali Bu Gain ulang untuk materi mereka.

Hwang Renjun menarik napas, "Menurut saya, daripada artistik, akan lebih baik memberikan perspektif tertentu di masyarakat, bu."

Bu Gain menoleh, bersamaan dengan Sora yang tampak kaget kala mendengar pemuda itu tiba-tiba berbicara.

Pemuda yang tidak nampak serius itu, menggerak-gerakkan pulpennya, memainkan benda itu untuk menujukkan betapa santainya ia melawan apa yang Bu Gain tengah terangkan. "Puisi yang indah, tapi hanya sedikit yang paham, bukannya bakalan jadi karya ga berguna, ya bu?"

Sora menaikkan sebelah alis, menunggu maksud Renjun.

"Puisi menurut saya adalah sindiran, peringatan, atau bahkan bisa jadi bingkai untuk sebuah momen yang dapat 'mengingatkan'." Pemuda itu menoleh, tersenyum simpul. "Menurut saya, bakalan percuma kalo nulis puisi yang penuh dengan rima super, serta penggunaan kosakata 'jarang-didengar' dan membuat diri kita nampak profesional tapi hanya ada satu diantara sepuluh pembaca yang mengerti pesan yang kita sampaikan."

"Puisi tentang menceritakan, bisa pula bersifat mengkampanyekan seperti puisi-puisi bertema kesengsaraan. Apa yang saya maksud adalah, penggunaan kosakata tak perlu digunakan terlalu berlebihan, sebab kalau seperti itu takkan ada yang menangkap maksud yang kita coba sampaikan." Renjun kini menatap wajah Bu Gain dengan percaya diri, ia bertanya, "Gimana menurut ibu? Sederhana, tapi mengena. Itu salah satu prinsip saya."

Bu Gain terdiam, beliau mengangguk. Sekilas senyum dipatrinya, menatap bangga pada anak didiknya. "Benar, menurut saya kamu benar. Mari kita gunakan prinsip kamu, sederhana tapi mengena." Wanita dewasa yang mungkin jauh lebih tua daripada orangtua Lim Sora itu kemudian menatap pada anak didiknya yang lain.
"Gimana kalo kita bahas tentang 'alur' dalam puisi sekarang?"

Lim Sora mengangguk, ia kini kembali bersemangat. Sedikit banyak merasa berterimakasih pada pemuda minim perhatian pada Bu Gain tapi mampu memberikan opini pribadi dengan percaya diri dan tegas. Salah satu hal yang baru bagi Sora ketahui dari lelaki itu tentu saja.

Sesi konseling ke-dua mereka cukup menyita banyak waktu, jauh berbeda dengan jam pulang mereka kemarin yang hanya sampai pukul 5 petang. Kini, ketika mentari tenggelam, mereka membubarkan diri.

Yang Lim Sora ketahui adalah bahwa Renjun bukannya segitu tidak perhatiannya pada pelajaran Bu Gain, namun cenderung karena ia bosan tidak melakukan hal-hal yang menurutnya menyenangkan.

"Nulis puisi masih gue anggap menyenangkan, tapi dengerin ocehan orang ga terlalu. Gue demen belajar, tapi menurut gue lebih seru kalo gue cari sendiri daripada dikasih tau. Kedengeran kaya gue cowo bebal, kan?" tanya Renjun, ia menoleh.

Sora yang tengah berjalan berdampingan dengan pemuda itu di tangga hanya tersenyum samar, ia memfokuskan diri untuk melihat anak-anak tangga yang tersebar dihadapan mereka.

imperfect : beauty flaws | ©crushparisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang