Tiga: Fusi

2.4K 261 10
                                    

Ternyata apa yang Shareen katakan benar-benar terjadi. Nggak sampai tiga hari setelah Naya kirim resume kerjanya ke sebuah surel, seseorang meneleponnya. Tepat ketika Naya baru beres meeting penting dengan klien yang baru dimenangkannya. Untung saja saat itu Naya nggak lagi bareng sama head-nya. Naya lagi di toilet dan timnya lagi makan di restoran lantai dasar gedung klien mereka. Naya kaget bukan main karena nomor yang menelepon masih pakai nomor operator jadul.

"Nayara Autumn, ini saya Firas, dari Sekoci," kata orang ini memperkenalkan dirinya di telepon. Sebelumnya, Naya memang sudah dikasih aba-aba akan ditelepon dalam waktu dekat. "Ada waktu sebentar buat ngobrol?" tanyanya lagi.

Naya mengintip dari kejauhan, kemudian memandang sekelilingnya, memastikan nggak ada orang lain dari timnya di toilet ini. "Boleh," jawabnya.

"Suara kamu menggema. Kamu lagi di gua?" tanya orang bernama Firas itu di seberang sana. Nggak ada nada canda sama sekali, sampai-sampai Naya bingung, ini gayanya berhumor demi suasana cair atau gimana.

"Bukan, Mas," jawab Naya yang pada akhirnya memutuskan untuk tertawa kecil. Tawa sopan-santun. Tawa basa-basi.

"Boleh cari tempat lain? Saya agak terganggu sama gema suara kamu," jawab orang di seberang dengan nada serius. Di sanalah Naya baru sadar kalau omongannya barusan lebih seperti sindiran dibanding candaan.

"Sure, sebentar ya," jawabnya kemudian melipir ke area merokok.

Merelakan dirinya dikelilingi asap, padahal itu hal yang paling nggak disukainya. Itu juga sebabnya Alden selalu berusaha nggak merokok kalau lagi sama Naya. Damn, kenapa masih saja ingat cowok itu sih, Nay?

"Saya sudah baca semua dokumen dari kamu. Terimakasih sudah kirim serinci itu. Sangat membantu."

Naya menelan ludah. Sudah lama rasanya Naya nggak dengar orang ngomong bahasa Indonesia sebaku dan serapi ini. No wonder, usahanya penerbitan.

"Saya dengar, kamu sedang di Jakarta sekarang. Berarti kita hanya bisa ngobrol di telepon. Tapi seharusnya sudah cukup," jelas Firas dengan suara tegas dan lugas, "Oh ya, saya ijin rekam percakapan ini."

Seperti kebanyakan wawancara awal yang super mendasar, Firas menanyakan hal-hal yang bagi Naya sangat mudah menjawabnya. Selama ini, Naya nggak pernah kesulitan melalui fase wawancara. Apapun. Tapi kali ini, Naya dihadapkan pada satu pertanyaan yang belum pernah ia terima sebelumnya.

"Terakhir, boleh kamu kasih tahu saya, kenapa harus Sekoci? Bukankah kerja dan tinggal di Jakarta jauh lebih menjanjikan daripada di sini?"

Naya tertegun. Shareen sempat memberitahu, Naya harus bilang kalau bekerja di sana, di bidang itu, adalah mimpinya sejak kecil. Yang mana memang benar adanya. Dengan jawaban ini, Shareen yakin, sepenuhnya dia bakal diterima. Namun detik ini, Naya mendadak ingin mengatakan alasan lain yang lebih jujur dari hatinya. Alasan utama ia pada akhirnya tergerak lepas dari zona nyamannya selama ini. Haruskah Naya mengatakannya?

"Autumn?" panggil Firas lagi. Baru kali ini ada orang memanggil nama belakangnya.

"Sori, Mas, barusan sempat hilang sinyal," kilahnya, "Hmm—saya dengar Sekoci adalah salah satu publisher lokal terbaik yang sedang berkembang di sana. And I've been wanting this kind of opportunity from long time ago—"

"Bahasa Indonesia saja. Kamu nggak bakal ditugaskan untuk urus bidang terjemahan. Saya nggak harus tahu kamu jago bahasa Inggris atau tidak," potong Firas menghujam tepat ke jantung Naya.

Naya yang sehari-hari memang suka ngomong campur-campur ini sontak merasa tersindir. Naya menghela napas. Sebenarnya sudah beberapa kali sepanjang interview tadi Firas menegur penggunaan bahasanya. Dan awalnya Naya pikir, ya ini bagian dari kualifikasi kerja di publisher-nya. Tapi lama-lama Naya kesal. Kenapa perkara gini saja dipermasalahkan.

"Oke," tegas Naya, "Sesuatu baru terjadi dalam hidup saya. Bikin saya sadar. Saya butuh keluar dari hidup saya yang biasa banget. Dan nggak ada alasan lagi buat saya bertahan di Jakarta. Lalu teman saya kasih tau soal Sekoci ini. I think, why don't I give it a try?" jawab Naya pada akhirnya jujur dan tak mampu menutupi kebiasaan ngomongnya.

Sejenak hening di seberang sana. Lalu Firas tertawa. Tawa pelan yang Naya tahu itu bukan karena sesuatu yang bagus.

"Jadi, kalau suatu saat nanti kamu merasa sudah nggak ada alasan lagi buat bertahan di kota ini, kamu bakal keluar dan pergi begitu saja?" tandas Firas. "Oke, terimakasih buat waktunya. Selanjutnya tunggu kabar saja," tutup Firas tanpa menunggu Naya selesai menjawab.

Gila, ya. Sepanjang sejarah karir dan pencapaian Naya, nggak pernah sekalipun dia diperlakukan macam barusan di interview kerja. Bahkan di perusahaan sekelas multinasional sekalipun. Ini, cuman di sebuah publisher, lokal, di kota kecil pula. Bodo amat lah kalau memang Naya nggak diterima di sana. Bodo amat kalau Naya harus melanjutkan harinya yang biasa saja di ibukota ini. Mungkin memang sudah nasibnya.

🚽

Years of Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang