Jauh sebelum Naya memijakkan kakinya ke sini, Naya sebenarnya sudah menyiapkan mental. Ketika akhirnya mbok membukakan pintu dan menyambutnya dengan wajah yang masih saja nggak menyangka. Bahwa Naya akan balik ke rumah ini. Harusnya dengan persiapan mental, Naya nggak sebegini guncangnya. Tapi, rupanya persiapan Naya tetap masih kalah dengan kekuatan memori yang dibawa rumah ini.
Naya nggak pernah menyangka bahwa sebuah rumah bisa punya kekuatan sebesar ini. Meski tata letaknya sudah diubah karena permintaan ayah, tetap saja di pandangan Naya, semua masih sama persis seperti terakhir kali Naya tinggal di sini. Dekade lalu. Saat ibu masih ada.
Naya masih bisa melihat dirinya yang masih kecil berlarian ke sana kemari di area ruang makan bersama kakaknya. Berebut pisang plenet yang mereka beli di depan mall Sri Ratu. Naya masih ingat terakhir kali di ruang tamu ini ia ribut dengan ibu. Memaksa ibu untuk ikut pergi bersama ia dan kakaknya, jalan-jalan ke Jogja. Ibu bilang ibu capek. Tapi Naya memaksa. Lalu akhirnya karena nggak tega lihat Naya nangis terus, ibu ikut.
Perjalanan ke Jogja yang nggak pernah Naya sangka akan jadi perjalanan terakhir mereka bersama.
"Sudah sampai, Nay?" tanya ayah lewat telepon.
"Baru, Yah. Ini mau cari makan," jawab Naya sambil merebahkan tubuh di sofa.
"Memangnya Mbok nggak masak?" ujar ayah kaget. Pasalnya, ayah sudah menghubungi mbok, memintanya masak spesial. Gudeg krecek kesukaan Naya.
"Masaknya besok, Yah. Naya yang minta. Biar hari ini Naya kangen-kangenan dulu sama makanan di sini," jawab Naya santai.
"Oh, ya sudah. Pokoknya, kalau ada apa-apa, ada bingung apa, whatsapp ayah atau kakakmu saja, ya," ujar ayah sesaat sebelum obrolan mereka berakhir.
Naya kembali membaca pesan singkat ini. Entah sudah ke berapa kalinya sejak turun kereta. Bayangan kejadian semalam langsung berputar di kepalanya. Di dekat jendela balkon itu. What the hell were you thinking, Nayara?
Kalau dipikir lagi, penyesalan memang selalu datang belakangan. Ya kalau di depan sih namanya pendahuluan. Tapi kenapa? Kenapa juga Naya kehilangan akal sehatnya dan melakukan itu pada orang yang jelas-jelas cuman bikin pikirannya makin ruwet saja. Belum saja Shareen dengar cerita ketololannya. Bisa habis dia.
Ya tuhan. Sepertinya memang Naya harus berhenti di sini. Nggak boleh menanggapi pesan apapun dari Alden. Atas dasar apapun. Meski keinginannya sudah nggak tertahan buat jawab setiap pesan darinya. Tapi Naya harus berhenti bermain air kalau nggak mau kebasahan. Buru-buru Naya meraih ponselnya. Menahan pedih di hatinya dan menghapus satu nama dari daftar pesan yang nggak pernah mau Naya hapus selama hampir satu dekade itu.
Lebih baik sekarang Naya pergi keluar saja. Cari makan. Cari angin. Toh, niat Naya pindah ke sini jauh-jauh pun untuk suasana dan kehidupan yang baru, bukan? Oh, sekalian saja, Naya cari lokasi tempat kerjanya itu. Biar besok nggak kesiangan di hari pertama kerjanya.
Jadilah penuh semangat setelah Naya mandi dan siap-siap, Naya berangkat mengendarai motornya ke alamat kantor barunya. Niatnya, barulah setelah itu dia cari makan. Yang penting cek ombak saja dulu.
Rasanya nyaman banget berkendara di Semarang untuk Naya yang sudah hampir lima tahun tinggal di Jakarta. Jalanan di sini nggak begitu ramai. Pengendaranya pun nggak nyolot-nyolot seperti di ibukota. Rasanya aman banget meski perempuan sendirian. Naya juga terpukau betapa majunya daerah sekitar sini sepeninggalnya.
Nggak jauh dari wilayah rumahnya, sesuai dengan titik peta di ponselnya, kantor barunya. It's not that big. Itulah kalimat yang bergaung bolak-balik di kepala Naya sepanjang perjalanan ke sini. Berusaha menjaga ekspektasinya supaya nggak terbanting. Tapi tetap saja, terbiasa ngantor di gedung puluhan lantai yang setiap pagi mesti rebutan dulu-duluan di lift, saat melihat sebuah kafe lantai tiga, rasanya langsung ciut.
Am I taking the wrong decision?
Kafe ini bergaya kedai kopi kekinian seperti kebanyakan dengan dua lantai lainnya di atasnya. Cuman ada palang kecil bertuliskan sekoci di dekat pintu masuknya. Sekoci, The Coffee and Roast. Sebelah mana publisher-nya? Kok, nggak ada palangnya sama sekali?
"Ada yang bisa dibantu? Sedang cari apa atau siapa, ya?"
Naya berbalik setelah seseorang dengan suara yang dikenalnya berdiri tepat di belakangnya ketika ia sedang mengintip-intip ke dalam. "No way," gumamnya pelan.
"Autumn?" panggil sosok itu yang wajahnya sama-sama ragu.
☕
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
Literatura FemininaNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...