Ekspektasi dan gengsi adalah dua hal yang jadi lawan berat setiap manusia. Banyak dari kita yang akhirnya jatuh cuman gara-gara kalah melawan dua hal ini. Nggak bisa mengelolanya dengan baik. Nggak bisa berkawan dengan ramah. Karena Naya sudah sempat nggak bisa menjinakkan ekspektasinya, waktunya Naya mengelola gengsinya lebih baik. Setelah berdiskusi dengan Shareen panjang lebar, akhirnya Naya tiba pada keputusan putar balik.
Awalnya, Naya pikir, Firas bisa kasih alasan atau bahkan jadi alasan baginya bertahan di kota ini. Tapi rupanya nggak. Baik Firas maupun situasi di kantornya, nggak ada yang kasih harapan apa-apa. Seolah jadi jawaban atas doa Naya pada Tuhan, hari demi hari, Naya seperti diyakinkan bahwa sudah waktunya dia balik ke Jakarta. Dengan segala rupanya yang meninggalkan luka, Jakarta tetap rumah baginya.
"Si anjir emang ya, rasanya baru kemarin gue lihat elu repot urus perpindahan. Sekarang, udah mau balik lagi aja, gitu?" Shareen geleng-geleng nggak habis pikir. "Nih ya, gue kasih tahu, wahai Libra sang penimbang. Mending, barang elu nggak usah dikirim dulu. Siapa tahu, sebelum tiga bulan, elu berubah pikiran lagi."
Naya tertawa memandangi barang-barangnya yang siap dikemasi. Lagi.
"Untung aja apartemennya belum ada yang sewa lagi. Benar sih, kata Farid. Jangan dulu. Tahu banget dia, temen gue yang satu ini ababil," keluh Shareen. "Terus, gimana? Pas elu bilang nggak bakal lanjut di sana? Firas nggak ngapa-ngapain?"
Naya menyampaikan keputusan itu kemarin sore. Sesaat sebelum ia pulang dan Firas akan cabut lagi. Sangat lugas tanpa basa-basi, Naya sampaikan ketidakbisaannya untuk lanjut lagi. Pasalnya, di awal mereka memang sudah sepakat. Setelah masa percobaannya berlalu, Naya berhak memilih mau lanjut atau tidak. Dan sore itu, nggak ada perlawanan apapun dari Firas. Hanya saja, Firas mengatakan satu kalimat yang bikin Naya kepikiran sampai sekarang.
"Kamu nggak akan pernah bisa menemukan alasan bertahan di manapun sampai kapanpun kalau sifat kamu masih kayak gini. Lari di setiap lara."
Sebenarnya Naya nggak paham kenapa Firas yang sempat baik-baik saja dan seolah menjadi harapan baginya, berubah tiba-tiba. Semua berawal dari candaannya. Tapi masa iya cuman gara-gara candaan itu. Kekanak-kanakan banget. Firas harusnya paham, kalau Naya cuman mau mereka semua, satu tim, lebih akrab. Kenapa jadi orang sensitif banget, sih? Sedih juga sih, menyadari Firas nggak melakukan apa-apa. Seperti pernyataan Shareen barusan. But come on, wake up, Naya. Nggak akan pernah ada orang yang memperjuangkan kamu.
"Mbak, temannya datang," suara Mbok menghentikan percakapan Naya dan Shareen.
Shareen ikut mendelik penasaran. Siapa temannya. Apakah itu Firas? Bukankah selama ini Firas seolah punya radar setiap kali diomongkan? Nggak bisa dipungkiri, ada secercah harapan terpantik di benak Naya begitu Mbok kasih tahu seseorang menunggunya di teras rumah ini. Someone might fight for her.
"I know you'd come back," sambut sosok itu saat Naya menjejakkan kaki di terasnya.
Adalah Alden Raga Pradana, orang yang dulu melepaskan kepergiannya dan kini juga menyambut kembalinya. Anehnya, perasaan yang muncul beda. Beda dengan detik-detik Naya cabut di malam itu. "Kamu—"
Tanpa menunggu Naya mengijinkan, Alden langsung merengkuh tubuh Naya dan mendekapnya. Tak mengatakan apa-apa, Alden menghikmati peluknya yang sudah lama ia nantikan. Sebelum kemudian ia menyentuh kedua pundak Naya dan menatap wajahnya. "I was wrong this whole fucking time. And I don't wanna be wrong again," bisiknya kemudian merengkuh Naya kembali.
Entah apa yang membuat Naya justru menitihkan air mata diam-diam. Apakah rengkuhan yang selama ini Naya harapkan dan akhirnya ia dapatkan setelah sekian lama. Atau justru rengkuhan yang Naya pikir akan ia dapatkan dari orang lain. Dari nama lain yang akhirnya muncul setelah bertahun-tahun hidupnya cuman ada di semesta Alden Raga Pradana saja. Entahlah.
Lalu dalam samar air matanya yang perlahan ia hapus, Naya melihat seseorang berdiri di pagar rumahnya. Terdiam menghikmati pemandangan di hadapannya. "Firas," gumam Naya seraya menjauhkan tubuh Alden darinya dan berjalan menghampiri pagar itu begitu saja.
Giliran Alden yang sekarang nggak paham dengan situasi ini. Ia kira, kemenangan sudah mutlak ada di tangannya ketika Naya sudah kembali ke rengkuhannya. Alden nggak sadar. Banyak hal yang bisa terjadi dalam kurun waktu lebih dari tiga bulan ini. Salah satunya kehadiran nama lain dalam hidup seorang Nayara Autumn.
"Maaf sudah ganggu," ujar Firas memutar tubuhnya.
Seketika Naya menggapai lengan Firas yang terjatuh di atas pagar ini. "Jangan bego, deh," kutuknya membuat Firas tertegun. "Balik sini, nggak?" ancamnya.
Firas menatap laki-laki yang ada di teras kemudian menatap Naya bingung.
"Don't be fucking stupid, Firas. I was wishing it was you," kutuknya geram sambil menatap mata Firas tajam.
Sejenak suasana di teras ini jadi kaku dan canggung. Alden yang terdiam di posisinya dan Firas yang bingung melihat Alden di sana.
"Okay, I'm too tired to explain," desis Naya menghela napas. Ia lalu menatap ke balakang tanpa melepaskan tangannya dari lengan Firas. "Al, saya udah bilang. This ain't gonna work. Saya. Kamu. Kalau kamu aja bisa ninggalin dia dalam tiga bulan, bisa aja kamu juga ninggalin saya hanya karena kamu pikir I'm not that good. So, please," Naya menarik pagar kemudian mengodekan Alden untuk lebih baik pergi dari sana.
"Nay, banyak yang belum kamu dengar dari aku," pinta Alden.
Naya menggeleng sambil mengerjapkan matanya. "Take a step back and clear your mind alone," gumam Naya getir.
Mundur selangkah memang bisa bantu kita melihat segalanya dari kacamata yang berbeda. Melihat segalanya lebih menyeluruh. Lebih objektif. Dan Naya mungkin baru sadar, bertahun ia habiskan untuk berkutat di semesta orang yang sejak awal mungkin nggak pernah berpikir bahwa Nayara Autumn orang yang diinginkannya. Orang yang ketika mau pelarian baru akan memilihnya.
📦
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
Literatura FemininaNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...