"So, tell me about him. Udah lebih baik sekarang hubungan lu sama dia?" Shareen lagi sibuk mengeringkan rambutnya sambil bolak-balik memandang ke jendela luar di video ini.
"Sama Alden? Nggak pernah lagi gue kontak sama dia," jelas Naya menggeser jamu kunyit asam kesukaannya itu ke depannya dan melepas kacamatanya.
"Why should I care about him anyway? Males banget!" rutuk Shareen. Belum saja dia tahu soal kejadian beberapa bulan lalu, sesaat sebelum Naya pindah. Di malam itu. Di jendela balkon itu. "Firas, dong. Siapa lagi?" pekiknya.
Mulut Naya mengerucut, "Ya nggak pernah nggak baik juga sih, gue sama dia. As it is saja dari awal."
"Cuman as it is?" tanya Shareen dengan nada ambigu dan arah yang sulit dimaknai. "Dia udah married atau udah punya pacar nggak, sih?"
"Mohon maaf, Ibu Shareen Almira. Penting sekali saya mempedulikan statusnya?" ucap Naya dengan nada formal.
"Penting dong, Nay. Kalau ada yang bisa diprospek, kenapa nggak? Bukannya lu bilang di kantor cuman elu doang yang suka dia ajak kemana-mana berdua?" tandas Shareen semangat.
Gini nih yang nggak Naya suka. Ketika orang lain yang merusak ekspektasi Naya. Sudah baik-baik Naya jaga ekspektasi ini karena dia nggak mau dikecewakan lagi. Urusan hatinya dan Alden saja belum beres. Nggak perlulah menambahkan dengan berandai-andai yang lain.
"Gue dan dia kemana-mana berdua karena anak lain secinta itu sama bangkunya. Lagian, selama ini juga sekalian ngobrolin kerjaan. Cuman karena gue sama dia lebih suka suasana luar kantor, ya lebih seringlah kami keluar."
Dengar-dengar dari Saskia dan Dipo, Firas juga sudah ada gandengan, sih. Teman kuliahnya dulu. Hal itu juga yang mungkin langsung bikin Naya menarik batas sejak awal. Batas ekspektasi. Ada sih, rasa ingin tahu lebih di benak Naya. Soal status Firas. Tapi, dari mana pula dia bisa gali? Mahluk itu sama sekali nggak hidup di media sosial manapun. Cari informasi dari data kependudukan setempat? Ya kali.
Gila ya, orang ini punya radar atau bagaimana sih. Setiap kali lagi dibahas atau dipikirkan, pasti nongol dengan sendirinya. "Nay, nyambung nanti lagi, ya. Farid manggil-manggil, nih. Mau ke grocery soalnya," pamit Shareen buru-buru.
Pas banget. Nggak lama setelah Naya menyudahi video call-nya dan membalas pesan, Firas menelepon. Kalau bukan karena hal gawat, nggak mungkin Firas hubungi Naya di atas jam sembilan begini.
"Ada apa, Ras?" buka Naya tegang. Jangan-jangan ada masalah dengan kerjaannya.
"Hmm, saya ganggu kamu, nggak?" kata suara di seberang sana ragu.
"Ya kalau kamu ganggu pasti nggak saya angkat, sih. Kenapa, Ras?" sidik Naya serius.
Ada jeda cukup lama yang Firas isi cuman dengan berdeham. "Mulai dari mana ya ngomongnya," gumam cowok itu seolah bermonolog.
"Ras, tell me, kamu bikin saya makin overthinking, nih. Ada apa, sih?" ujar Naya nggak sabar. Duh, jangan-jangan Sekoci tiba-tiba harus ditutup, pula.
"Oke," Firas menarik napas, "Jadi gini. Kamu tahu kan, saya lima bersaudara cowok semua?" ucapnya.
Naya mengerutkan dahi. Pertama, Naya nggak ingat Firas pernah menjelaskan silsilah keluarganya. Kedua, apa kaitannya pekerjaannya dengan silsilah keluarga Firas?
Firas menghela napas, "Minggu ini, kami semua kumpul karena papa dan mama ada acara anniversary. Saya benci kumpul-kumpul begini sebenarnya. Tapi saya nggak bisa nggak datang."
Sampai sejauh ini, Naya masih menduga-duga. Minggu. Rasanya mereka nggak ada agenda kerja di Minggu ini. Awalnya Naya pikir, Firas meminta Naya mewakili dirinya karena dia harus datang ke acara keluarganya. Tapi rasanya nggak ada apa-apa di hari Minggu ini.
"Hmm, gimana ya ngomongnya," gumamnya lagi.
"Ya ngomong aja nggak sih, Ras? Sumpah, kamu udah tarik-ulur jantung saya, tahu! Ada apa, sih?" sergah Naya panik.
"Kedengarannya bakal drama banget," gumam Firas, "Tapi justru saya lagi menghindari drama itu. Saya kayaknya memang harus melakukan ini," ucapnya lagi ambigu.
"Sumpah ya, Ras, kalau kamu masih aja muter-muter gini, saya lapor ke reserse atas upaya menyalahgunakan fungsi ponsel dan alibi penipuan!" rutuk Naya kesal. Gemas banget sih dengarnya. Nggak bisa di-fast forward aja, nih?
"Oke, gini. Hari Minggu malam jam 7-an kamu ngapain?" tanya Firas serius.
Sebentar. Kok, kayak penyidik atau detektif, sih? "Minggu malam—kemarin? Saya lagi di angkringan Simpang Lima, cobain—"
"Bukan, Autumn. Minggu malam nanti," Firas yang sejak tadi tegang akhirnya tertawa.
"Oh, ya bilang, dong! Belum ada rencana apa-apa. Kenapa, kamu ada acara terus mau minta saya wakilkan?" ucapnya.
Firas kembali menghela napas. Entah sudah keberapa kali sepanjang telepon ini. "Saya justru mau ajak kamu datang ke acara papa mama saya," ujarnya tiba-tiba bicara dengan sangat cepat.
Naya terhenyak. "Gimana?" ucapnya bukan karena nggak paham, tapi lebih ke nggak percaya. "Ke anniversary papa mama kamu?"
"Iya. Tuh, kan. Nggak masuk akal memang. Maaf, saya memang agak melantur. Maaf banget sudah ganggu kamu malam-malam—"
"Oke," sela Naya memotong kalimat Firas. Giliran Firas yang terdiam di seberang sana.
"Kamu—mau?" tanya Firas nggak percaya.
"Ya walaupun saya bingung kenapa harus saya, ya. Tapi saya pengen coba Selat Solo mama kamu yang katanya enak banget itu," ujar Naya santai. "Jam 7, kan? Kirim aja alamatnya," ucap Naya.
"Nggak, lah. Apa-apaan?" pekik Firas, "Saya jemput kamu. Sudah saya yang minta, masa iya saya tega biarkan kamu pergi sendiri ke sini?" pungkasnya.
Terbersit sedikit pemikiran Naya, kenapa Alden selama ini nggak bisa bertindak seperti Firas. Setiap kali Naya ngide ketemu di tempat, Alden nggak pernah basa-basi memaksa buat jemput Naya. Harusnya dari sana pun Naya tahu. Bahwa Naya bukan poros semestanya Alden.
🕙
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
Literatura FemininaNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...