"Sori, siapa, Son?"
"Namanya—Alden atau Alben gitu," jawab Sono mengingat-ingat. "Tadi pas Mbak Naya lagi makan siang di luar, dia ke sini."
Naya tertegun. Buminya rasanya berhenti sejenak. Napasnya tertahan. Mustahil. Mau apa cowok itu ke sini?
"Sendirian?" tanya Naya lagi.
"Tadi sih, sendirian, ya. Terus katanya nanti mau balik lagi ke sini," jelas Sono.
Naya mengangguk kemudian naik ke lantai dua. Kantornya. Sambil terus melamun. Ngapain sih orang itu ke sini? Bukankah dia lagi anget-angetnya di tiga bulan pertama pernikahannya? Tiga bulan pernikahannya berbarengan dengan tiga bulan masa percobaan kerjanya Naya. Sama-sama lagi dicoba. Tapi, kalau memang dia lagi ke sini sama istrinya, kenapa harus ke sini, gitu? Ada banyak kafe lain di sekitar sini. Kenapa harus ke sini dan mencari Naya? Nggak masuk akal. Mau pamer?
"Dompet saya, dong," Firas mengulurkan tangannya. Mengembalikan fokus Naya.
"Oh iya," ucapnya mengambil dompet Firas dari clutch bag-nya kemudian menyerahkannya. "Makanan barusan ada yang salah? Kamu kayak mendadak lemas gitu?" Firas meletakkan punggung tangannya di dahi Naya.
Untung yang lain lagi fokus sama laptop dan kerjaan masing-masing. Jadi nggak kelihatan sungkan dengan gestur dadakan Firas barusan.
"Ngg—gak, sih. Apa karena kopi, ya?" kilah Naya berusaha menepis pikirannya.
"Kopi racikannya Sono yang salah?" tanya Firas.
Lah, kasihan banget bocah itu. Nggak salah apa-apa kena juga. Naya buru-buru menggeleng. "Nggak, bukan. Nggak kok, saya nggak pa-pa. Kamu langsung ke tempat meeting?" tanya Naya mengalihkan topik.
"Iya. Beres meeting nanti saya kabarin, ya. Jangan pulang dulu. Katanya mau cobain garang asam itu?" ujar Firas lagi sambil bersiap memasukkan laptopnya ke tas.
"Siap!" jawab Naya berlagak antuasias. Padahal pikirannya sama sekali nggak fokus.
"Ya udah, saya pergi dulu," pamit Firas sambil mengusap rambut Naya kemudian berlalu meninggalkannya.
What the hell was that? Pikir Naya melihat punggung Firas menghilang di balik pintu. Wah, kacau nih. Kalau terus menerus dibanjiri gestur dan perlakuan ambigu, batas ekspektasi Naya bisa tergerus. Nggak berapa lama dari Firas pergi, Sono muncul mengetuk pintu.
Damn. Jangan bilang kalau—
"Mbak Naya, temannya sudah ada di bawah," kata Sono memberi tahu.
Dan anak-anak di ruangan ini menoleh menatap Naya. Cuman sebentar, lalu balik lagi fokus dengan laptopnya. Awalnya, perlakuan ini bikin Naya berpikir kalau ada yang salah dengannya. Dia nggak disambut hangat. Bisa jadi karena dia terlalu sering dekat sama Firas mungkin dikira caper.
Tapi ternyata, memang pembawaan anak-anak di sini saja yang nggak terlalu akrab satu sama lain. Sejenak Naya terdiam di kursinya, manatap ke jendela, mobil Firas baru berlalu dari depan sana. Naya lalu meraih ponselnya dan menatap chat dari nomor yang tak ia simpan itu.
Oke, terakhir. Apa sih mau kamu, Al? Pikir Naya kemudian bangkit dari bangkunya, membawa tumbler dan ponselnya.
Saat Naya mengintip dari separuh anak tangga yang dilaluinya, memang benar, seorang Alden Raga Pradana duduk di sana. Sibuk menatap ponsel di tangannya. Seorang diri. Santai, Naya. Bereskan ini semua. Lalu lupakan.
"Hai, Al," sapa Naya berlagak riang seolah semua nggak ada artinya buat dia. Kejadian malam itu. Pernikahan Alden. Dan segalanya. Seolah itu semua nggak berimbas apa-apa padanya. "Lagi ada kerjaan di sini?" tanyanya beranjak duduk.
"Nay," panggil Alden lirih.
Beda banget sama kali terakhir Alden menyambanginya di apartemen. Kantung hitam muncul di wajahnya. Seperti baru dicukur, garis-garis halus terlihat di dagunya. Rambutnya kelihatan lebih gondrong.
"Kok, bisa pas banget ya, kamu ke kafe ini?" ucap Naya memainkan tali tumbler-nya, masih memajang senyuman di wajahnya. "Apa kabar istri kamu? Apa dia mau nyusul ke sini juga?" tanya Naya sambil menoleh ke luar kafe ini.
Alden mencondongkan tubuhnya. Kedua tangannya terulur di atas meja. "Aku nggak sama dia," jelasnya.
"Oh, urusan kerjaan, ya?" ucap Naya menyandarkan tubuhnya ke belakang, melipat tangannya di dada.
Alden menggeleng. Naya mengerutkan dahi. "Udah nggak sama dia."
"Sori?" Naya memicingkan matanya.
"She's not that good, I was wrong, for thinking, she's the one," jelas Alden membuat Naya tertegun.
No way. Masa sih sudah pisah lagi? Tapi benar kan, kalau Alden sempat menikah dulu? Naya lihat sendiri acaranya di medsos Alden. Dengan caption yang bikin Naya mendadak mual.
"I've been wrong, this whole time," renung Alden dengan senyuman canggung di wajahnya. "Terus kepikiran pengen escapism aja. Main ke mana, ya? Terus inget kamu. Di sini."
Naya terdiam. Escapism. Rupanya nasib dia di dunia Alden cuman sebagai pelarian. Dulu juga gitu. Waktu Alden gagal pitching, Alden datang ke apartemen Naya. Cuman buat pelarian. Dari kesedihannya. Lalu sekarang, ketika Alden gagal dengan hubungannya. Naya harus jadi pelarian lagi, gitu?
No thanks.
"I'm sorry," gumam Naya kemudian tersenyum kelu. "Ya selamat menikmati kota Semarang. Semoga semuanya pulih lebih cepat. Aku balik kerja dulu ya," pamitnya bersiap bangkit dari meja ini.
"Nay, malam ini. Kamu ada acara?"
Naya bangkit dari duduknya, menghampiri Alden di bangkunya. "This won't work, Al. Kamu cuman lagi kalut aja. Take your time alone," bisik Naya kemudian pergi.
☕
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
ChickLitNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...