Naya pikir, sebulan adalah waktu yang lama. Tapi dengan aktivitasnya yang seolah semakin padat menjelang cabut, tanpa sadar tiba-tiba ia sudah last day saja. Memang ternyata benar, takaran waktu cuman masalah persepsi. Dan nggak bisa dipungkiri, kepergian Naya bikin banyak pihak kaget. Sudah pasti, timnya dan atasannya. Pasalnya, tim mereka lagi naik daun banget.
Nggak cuman mereka, kakaknya dan ayahnya juga ikut kaget. Untung saja nggak pakai bumbu debat segala. Ya gimana, apa pula hak mereka mendebat keputusan Naya di saat mereka selama ini juga selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Cuman ingat Naya di momen ulang tahun, lebaran, dan hari-hari khusus saja. Ayahnya sudah sibuk dengan keluarga barunya. Kakaknya sibuk dengan istrinya.
Dan nggak terkecuali Alden. Orang yang sebenarnya nggak ingin Naya beritahukan soal kepergiannya. Toh, Alden juga nggak peduli. Jadi, Naya pikir nggak ada gunanya kasih tahu mahluk yang satu itu. Namun tepat di malam sebelum kepindahan Naya, Alden memunculkan batang hidungnya di apartemen.
"So you leave," gumam Alden sambil memperhatikan Naya yang baru beres menggeser barang-barang terakhirnya. Beberapa sudah dikirim lebih dulu.
Setelah bergelut dengan dirinya, Naya akhirnya memutuskan untuk mempersilahkan Alden masuk ke apartemennya. Seperti dulu. Biarlah. Untuk terakhir kali. Toh, mereka juga nggak bakal ngapa-ngapain. Cuman cowok brengsek yang ngapa-ngapain di sebulan menjelang pernikahannya, bukan?
"Yeap, I'm leaving," balas Naya sambil tersenyum lebar. "Kamu pasti tahu dari story aku, ya?"
Alden mengangguk. "Kenapa kamu nggak kasih tahu? Sebelumnya? I mean, you have at least a month. To tell me," ungkapnya.
Bisa banget cowok ini ngomong begini. Lantas, bagaimana dengan dia yang punya waktu hampir setahun buat kasih tahu Naya kalau finally dia menemukan sosok yang dia pikir the one tapi nggak kasih tahu Naya? Memang ngomong buat orang lain lebih mudah ketimbang lihat diri sendiri, sih.
"Nggak ada bedanya juga, kasih tahu kamu hari ini, kemarin, atau sebulan lalu, kan? You've been busy, so do I," tandas Naya sambil tertawa getir.
"Ya," Alden yang awalnya bersandar ke meja pantri, berjalan mendekat pada Naya yang terduduk di dekat jendela balkon, "You've been busy avoiding me, aren't you?" Alden berlutut kemudian ikut terduduk di depan Naya.
"Perasaan kamu doang, Al. Ngapain juga aku menghindar? Emang aku buronan?" canda Naya.
Biasanya Alden menimpali dengan tawa juga. Namun kali ini cowok ini cuman menatap Naya tajam. "A month, Naya. Much thing I could do for a month," gumamnya dengan sorot mata penuh penyesalan. Entah apa yang ia sesali.
Naya kembali tertawa getir.
"Seenggak penting itu aku sampai kamu menomorsekiankan aku buat kasih tahu hal gini? Moving out is a big thing, Naya," ucapnya.
"Al, nggak usah mendramatisasi keadaan, deh. Selama ini aku aja nggak pernah masalah kamu sering menomorsekiankan aku dalam banyak hal. Lagian, udah cukup lah," Naya menahan kalimatnya.
Sudah cukup lah bertahun-tahun Naya habiskan untuk menomorsatukan Alden, ketika nyatanya Naya nggak pernah jadi poros di semestanya Alden.
"Carry on, Naya. Udah cukup apa?" tantang Alden.
"Nothing," sergah Naya kemudian beranjak bangkit. Namun rupanya Alden nggak sepasrah itu.
Alden meraih lengan Naya, menahannya untuk tetap duduk di posisinya. "Kita belum beres ngomong."
"Nggak ada lagi yang harus diberesin, Al. Kecuali kardus-kardus ini. Other than that, already clear now. You move on, I move out," tegas Naya seraya melepaskan tangan Alden dari lengannya dan beranjak berdiri.
Belum sampai selangkah Naya beranjak, Alden sudah ikut berdiri dan kini menghimpit Naya ke tembok dekat jendela balkonnya.
Instingnya mengatakan ini nggak bakal benar. Jarak terdekat yang pernah ada di antara mereka selama bertahun-tahun saling kenal. Terlampau dekat untuk dua orang yang cuman sebagai teman saja. Terlebih dengan kondisi Alden yang bakal menikahi perempuan lain.
"Don't. We're gonna regret this, Al," gumam Naya.
Ini nggak bakal benar. Karena kini Naya semakin bisa mencium aroma mulut Alden yang kental dengan rokok mentolnya.
"I'm gonna regret this if I don't do this," ujar Alden lirih sebelum kemudian ia mendaratkan bibirnya. Menenggelamkan wajahnya ke wajah Naya.
Ini nggak benar. Dan Naya tahu itu. Tapi satu sisi Naya merasa lelah untuk selalu berusaha kelihatan benar di saat hidupnya nggak pernah sepenuhnya berjalan dengan benar.
👣📦
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
Literatura KobiecaNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...