Dibandingkan kantor lamanya, bekerja di Sekoci memang jauh banget. Kayak bumi dan langit. Kalau dulu, sepuluh orang itu cuman jumlah di timnya saja. Di sini, sepuluh orang itu sudah total semua staf di kantor ini. Bahkan mungkin kurang dari itu. Strukturnya tergolong sederhana banget. Naya sebagai digital manager, Saskia sebagai editor, Goro sebagai layouter, Dipo sebagai web admin, dan ada dua orang lainnya sebagai marketing yang jarang banget di sini.
Dan bicara soal pembagian peran kerja, bekerja di kantor penerbitan indie macam ini jelas nggak serapi kantor lamanya. Ya iyalah, indie kok dibandingkan sama multinasional. Nggak apple to apple alias nggak setara, lah. Awalnya, sebagai digital manager, Naya masih bingung dengan pekerjaannya yang lebih mirip seperti social media strategist. Itu loh, posisi orang yang membuat dan bahkan sering juga ikut langsung mengelola strategi media sosial sebuah akun atau merek. Naya pikir, lingkup kerjanya bakal lebih besar dari itu. Bikin kampanye digital, menentukan pergerakan kerja sama dengan talent digital, dan sejenisnya. Namun rupanya nggak sebesar itu lingkupnya.
Mungkin karena Naya baru dapat pesan ini dari atasannya, jadi Naya mulai membanding-bandingkan lagi. Sudah benarkah keputusannya pindah ke sini? Padahal dua minggu berjalan, Naya merasa nggak perlu lagi ia membandingkan terus menerus begini.
"Ikut saya, yuk," ajak Firas yang entah sejak kapan sudah balik dari pertemuannya dan kini berdiri mengejutkan Naya di meja ini.
"Kapan baliknya, Ras?" Naya mendongak heran, matanya mengerjap beberapa kali.
"Kamu sibuk di kepala kamu sendiri, sih. Nggak lihat saya datang," ujarnya lagi, "Yuk, saya mau ajak kamu bicarakan sesuatu," jelasnya sambil mendahului langkah Naya turun ke bawah.
Sebenarnya, kadang Naya nggak enak sama anak-anak lainnya di sini karena kelihatannya cuman dia yang sering pergi-pergi berduaan sama Firas. Nggak cuman urusan kerjaan, tapi juga pas makan siang atau nongkrong habis pulang kerja.
Saskia baru menikah, jadi suka buru-buru pulang. Goro juga baru punya anak dan anaknya sering sakit. Dipo sih kayaknya memang nggak suka interaksi sama manusia. Saking nggak ada orang lagi yang bisa jadi teman asik, Naya malah lebih akrab sama dua barista di kafe bawah, Sono dan Faris. Faris, namanya mirip banget sama suaminya Shareen. Kadang suka geli sendiri.
"Kayaknya mereka lebih akrab sama kamu ketimbang sama saya yang sudah kenal duluan," komentar Firas begitu mereka masuk ke mobil.
Ya, dua minggu berlalu, Naya juga nggak lagi banyak berdebat harus pergi naik motornya atau ikut sama mobil Firas ini. Sesuai mood dan situasi saja.
"Ya kan kamu jarang di kantor, saya yang lebih sering di sini. Kalau bosan di atas, saya turun, nongkrong di bawah. Ngobrol sama mereka. Sono anaknya seru banget. Doyan nonton film dan taste musiknya 11-12 sama saya. Jadi nyambung. Kalau Faris, dia doyan main sosmed, jadi suka banget diskusi sama dia," jelas Naya panjang lebar.
Firas menatap Naya yang terlihat semangat banget saat menjelaskan, kemudian tersenyum. "Syukur deh, setidaknya mereka bisa jadi obat bosan kamu. Kalau saya, nggak seasik dan seseru mereka, ya?" ucap Firas sambil mulai mengemudikan mobilnya.
Aku orangnya gak asik, tiba-tiba Naya teringat penggalan dialog dari sebuah iklan mobil dan tertawa sendiri.
"Kenapa?" tanya Firas.
Naya menggeleng kemudian menoleh, "Nggak pa-pa. Lucu aja barusan pertanyaan kamu. Harus banget kamu jadi orang asik?" tandasnya.
"Harus. Supaya bisa ngobrol lebih akrab kayak mereka sama kamu," jawab Firas naif sambil tetap fokus mengemudi.
Mendengar jawaban itu, Naya mendadak canggung. Apa kebosanannya terlalu kentara jelas di wajahnya sampai Firas merasa insecure sebagai atasannya?
"Kamu itu karakternya smart, Ras. Ngobrol sama kamu itu, selalu bikin saya punya perspektif baru," ujar Naya sambil tersenyum.
"Ya tetap saja, smart and fun are two different things," sanggah Firas.
Naya tertegun saat Firas ngobrol pakai bahasa Inggris. Pelafalannya di luar dugaan. Naya pikir, ketika selama ini Firas selalu mengkritiknya saat ngomong campur-campur berarti Firas nggak sefasih itu. Karena biasanya kan begitu.
"Kaget dengar saya bisa ngomong kayak kamu?" tukas Firas seolah membaca mimik muka Naya. "Dulu saya kuliah di Malaysia. Teman-teman saya ngomongnya kalau nggak bahasa Melayu yang bahasa Inggris," jelasnya lagi.
"Kagetnya lebih ke—bukannya selama ini kamu nggak suka ya kalau saya ngomong Inglish—Indonesian English?" ejek Naya sambil tertawa.
Belakangan, Firas memang suka memperhatikan Naya yang seolah nggak punya teman ngobrol kalau sedang di kantor. Lalu, Firas ingat bagaimana rasanya sendiri dan terasing saat kuliah dulu. Firas pikir, mungkin dia terlalu close-minded soal urusan ini doang. Terlalu keras juga sama Naya yang notabene pindahan ibukota. Pasti butuh waktu buat beradaptasi di kota yang jauh berbeda.
"Saya cuman kepikiran kata-kata kamu di telepon saat kita interview dulu," renung Firas. Naya memutar tubuhnya, menoleh padanya. "Nggak ada alasan bertahan di Jakarta," ulangnya. "Jangan sampai aja kamu pergi. Sebelum menemukan alasan. Bertahan di sini," lengkapnya.
Sisi lain Firas muncul lagi hari ini. Saat mengatakan itu, level keseriusan wajah Firas berkali-kali lipat dari biasanya. Nada yang mungkin pernah keluar dari mulut Naya saat melepas Shareen pergi dan mendapati Alden menikah dengan perempuan lain.
"Seenggaknya sampai masa probation saya beres, saya baru memutuskan, Ras. Apakah saya sudah atau belum nemu alasan itu. Lagian, lumayan PR juga harus pindahan lagi," jawab Naya sumringah.
"Kalau begitu, probation kamu saya perpanjang jadi enam bulan, ya?" ucap Firas dengan sorot mata yang lagi-lagi sulit Naya maknai. Bercanda atau memang serius.
🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
Chick-LitNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...