Kebiasaan ibukota masih terbawa di hari pertamanya kerja. Masuk jam setengah sepuluh, Naya sudah berangkat sejam sebelumnya. Alhasil, jam sembilan kurang, dia sudah sampai di depan kafe ini yang sampai sekarang masih berusaha Naya terima sebagai kantor barunya. Susah memang untuk nggak membandingkan apa yang dimilikinya di Jakarta dan apa yang dihadapinya di sini. Beda banget.
In less we can find more, mantra barunya. Lagi pula, Naya juga pernah dengar. Ada istilah, kita harus melangkah mundur sejenak untuk bisa melihat sesuatu dengan perspektif baru. Bagi Naya, mungkin ini langkah mundur yang tepat. Ya walau sampai sekarang masih saja terbersit pikiran kembali ke Jakarta. Apalagi dengan chat dari atasannya yang masih membukakan pintu.
Yang setiap kali dibandingkan dengan chat satu ini selalu bikin Naya berpikir lagi. Nggak, ini sudah keputusan terbaiknya. Karena kalau dia sekarang ada di Jakarta, peluangnya untuk jadi cewek brengsek sangat besar. Cukuplah Alden sebagai cowok brengsek. Jangan sampai Naya terseret ikut juga.
"Rajin, ya," kata seseorang dibarengi deham setelah sempat Naya dengar suara pintu mobil ditutup. "Mau sekalian sambilan sebagai petugas bersih-bersih?" katanya lagi kali ini sambil melepaskan kacamata hitamnya.
Sejenak Naya menatap Firas yang tampil jauh lebih rapi dibanding kemarin. Setelan anak indie seketika berubah jadi mas-mas kantoran bank. Rambutnya juga tertata lebih rapi.
"Kaget ya, lihat saya beda?" ujarnya sambil membuka pintu, "Hari ini ada meeting sama salah satu penyuntik dana bisnis ini. Harus kelihatan rapi sedikit," jelasnya tanpa diminta, "Tapi bagus, nggak?"
Deg.
Seketika Naya teringat cara Alden menanyakan hal yang sama. Terutama ketika dia akan pitching atau meeting dengan orang penting. Naya menelan ludah. Kemudian menggeleng mengibaskan lamunannya.
"Nggak bagus?" tanya Firas lagi masih menegang knop pintu yang kini sudah ia buka, "Bohong sedikit kek, biar saya semangat."
Naya tersenyum, "Bagus, kok," jawabnya.
"Bohong saja harus diminta," ucap Firas sambil geleng-geleng kepala.
"I'm being honest actually," gumam Naya santai sambil berlalu ikut masuk.
Firas lalu mengarahkan Naya ke tempat duduknya. Sebuah meja yang nggak begitu besar dengan latar jendela di belakangnya. Benar-benar beda sama kantornya yang lama. Sederhana, tapi entah kenapa, Naya suka. Mungkin karena dekat jendela. Dulu, Naya nggak pernah kebagian spot dekat jendela di kantor lamanya. Spot paling mahal karena bonus ngelamun. Kalau bukan head-nya ya tim lainnya yang dapat tempat itu.
"Beda sama kantor lama kamu ya, pastinya," suara Firas mengembalikan lamunan Naya.
Ia menoleh dan mendapati Firas duduk tepat di bangku sampingnya. Kepala Naya tertunduk. Satu-satunya yang sama cuman nasibnya yang selalu dapat tempat duduk pas di sebelah atasannya sendiri. Heran, nggak di sini, nggak di Jakarta. Seolah Naya sudah ditakdirkan disupervisi lekat-lekat.
"Saya cuman formalitas saja taruh meja di sini. Tenang, saya nggak akan banyak diam di sini. Saya lebih sering ke luar," lagi, tanpa dipinta Firas menjelaskan.
Naya manggut-manggut kemudian menyamankan dirinya di bangku barunya. Ia mengeluarkan sebuah pot bunga artifisial kecil dari tasnya dan sebuah figure Stitch. Sejenak Naya sibuk membersihkan dan menata mejanya sedemikian rupa. Tanpa sadar, sejak tadi Firas memperhatikannya. Naya baru ngeh setelah mendengar suara tawa pelan. Saat menoleh, benarlah Firas yang baru beres ambil minum sedang tersenyum dengan wajah jahil sambil memperhatikannya.
"Kamu nggak tahu mitosnya, ya?" katanya tiba-tiba. Naya mendongak heran. "Kalau kamu sudah taruh barang di meja kerja kamu, kamu bakal susah keluar dari kantor itu," ucap Firas kemudian duduk dan membuka laptopnya.
Naya langsung tertegun. Nggak. Naya nggak bakal selamanya ada di sini. Sampai Naya merasa baik-baik saja, Naya akan balik ke Jakarta. Sampai Naya punya perspektif baru soal hidupnya, Naya bakal kembali jadi anak ibukota yang setiap ngomongnya dicampur-campur nggak bakal dikatai berlagak.
"Malah bengong. Belum sarapan kan, pastinya? Lah wong, pagi banget sampainya. Yuk, ikut saya makan pecel," ajak Firas yang rupanya sudah siap membawa ponsel dan dompet bersamanya.
"Itu semicolons ya, Ras?" Nggak tertahankan, setelah mereka pesan makanan, Naya menanyakan hal itu begitu saja.
Firas beranjak duduk sambil memandangi Naya heran. "Maksudnya?"
"Tato yang ada di kaki," jawab Naya santai, tangannya mengelap-lap meja dengan tisu basah yang selalu dibawanya. Kebiasaan masa pandemi yang terbawa sampai sekarang.
"Kamu fetish kaki, ya? Nggak banyak loh, orang yang seksama seperti itu memperhatikan tato saya," pungkas Firas sontak bikin Naya salah tingkah.
Naya merasakan pipinya kembali menghangat karena malu. "No way!" pekiknya sambil menundukkan kepala, "Udah kebiasaan aja observasi sedetil itu. Kebiasaan cari insight dari orang," kilahnya.
"Iya," jawab Firas pendek bersamaan dengan pesanan pecel mereka yang sudah jadi.
Baunya enak banget sampai Naya rela obrolannya terhenti. Padahal dia masih ingin tanya satu hal yang penting. Sesaat sebelum Firas menyendokkan piringnya, Naya langsung menahan tangannya dan meraih sendoknya.
"Bersihin dulu, dong," ucapnya sekonyong-konyong merebut sendok dan garpu Firas. Mengelapnya sampai bersih. Kemudian mengembalikannya. "Selamat makan," ujarnya kemudian nyengir lebar.
"Jadi ada baunya dong, Autumn," keluh Firas.
Diam-diam, ada perasaan aneh di diri Firas. Belum pernah sebelumnya ada orang yang sebegininya pada dia. Ah, mungkin cuman karena Naya sudah kebiasaan pas pandemi dan terbawa sampai sekarang.
🍴
KAMU SEDANG MEMBACA
Years of Autumn (Completed)
ChickLitNayara Autumn selama ini memiliki hidup yang mulus dan lurus saja di mata orang. Sampai sesuatu terjadi dan Naya sadar, dia sudah nggak punya alasan lagi bertahan di ibukota. Kalau selama ini dia selalu menunggu, kapan waktunya ia cari suasana baru...