dokumen #11 : aquarius

390 43 13
                                    

Sore jatuh pada tubuh kota yang menyembunyikan kekurangannya. Bangunan-bangunan tinggi berjejer memeluk jalanan yang tak pernah sepi oleh manusia. Rintik gerimis pun ikut menerjang tubuh kecil dua insan yang sedang berlarian bersama, menyelamatkan diri dari hawa dingin yang menerpa.

"Ke halte itu, Ve!" Pemuda bernama Rigel itu akhirnya menyeru.

Kaki kecil mereka berdua berusaha melangkah lebar-lebar agar cepat sampai pada tempat meneduh. Keduanya basah kuyup namun untungnya tak satupun dari mereka menggigil.

Sesampainya di halte, mereka duduk berdampingan. Masing-masing menggosokkan kedua telapak tangan mengharapkan sedikit kehangatan.

"Aku itu lagi pengin sendirian. Kamu kenapa ikutin aku sih?" tanya Ve dengan nada separuh kesal.

Ri menolehkan kepalanya ke sembarang arah. "Aku khawatir," jawabnya pelan.

"Aku udah gede tau, aku bukan anak kecil yang bisa nyasar. Jangan berlebihan kayak gini, Ri." Ve nampak tak puas dengan respon yang diberikan oleh sahabatnya.

Di antara titik-titik gerimis yang kian menderas, di tengah-tengah deru angin yang kian menusuk tulang, Ri memberanikan diri untuk menatap mata pemudi cantik itu.

"Iya, aku tau kamu udah dewasa. Tapi emangnya salah kalo aku khawatir sama sahabatku sendiri? Apalagi kita udah sahabatan dari kecil, bahkan udah kayak saudara kan?" Bola mata Ri nampak memerah. Sementara helaan nafasnya tak beraturan.

Ve mengangguk. Perihal fakta yang pemuda itu ucap, ia setuju. Perihal afeksi yang pemuda itu beri, ia sepakat. Akan tetapi, ia perlu ruang untuk sendiri. Ia pun perlu validasi atas setiap tindakan dan keputusan yang ia pilih. Ve bukanlah anak kecil lagi.

"Tapi gak selamanya kamu harus ikut campur di setiap urusanku kan?"

Kening Ri mengerut, ia kebingungan. "Aku ikut campur apa?"

"Sekarang ini namanya apa kalo bukan ikut campur?"

Mulutnya menganga tak percaya mendengar kalimat itu muncul dari bilah bibir Ve. "Kamu serius ngomong kayak gitu?"

"Ya serius lah, Ri. Di mana letak bercandanya sih?" Ve membenahi anak rambutnya yang menutupi pandangan. Kemudian ia melanjutkan, "Aku nggak suka sama orang yang selalu ikut campur sama urusanku tanpa izin dari aku. Sekalipun itu orang tua aku sendiri."

"Kamu kenapa sih, Ve?"

"Aku nggak kenapa-napa. Mungkin kamu cuma kaget lihat aku kayak gini. Kamu selalu mikir kalo aku bakal selamanya diem aja kan? Kamu salah. Aku juga bisa berani menyuarakan isi hati aku, mungkin bukan lewat gesture kayak kamu, tapi harus verbal kayak gini," tandas Ve dengan mata yang berkaca-kaca. Dadanya naik turun mengatur nafas.

Ri terdiam. Entah apa yang ada di pikirannya setelah mendengar isi hati Ve.

"Kamu itu pengecut, Ri, persis kayak Ares. Mungkin kamu kira aku itu nggak peka sama tingkah laku kamu. Tapi aku ngerti, Ri. Selama ini aku diem aja karena aku nunggu kamu bilang duluan ke aku, sama kayak Gam dulu." Air mata yang telah ia bendung akhirnya mengalir begitu saja melewati pipinya yang pucat.

Mungkin saja Rigel tidak tahu bahwasanya lengkungan senyum manis yang terhias pada wajah Vega hanyalah tipuan belaka guna menutupi luka di dada. Tetapi, mungkin Vega juga tidak tahu jikalau setengah sayap Rigel telah habis dilahap pilu.

Keduanya bahkan tak berusaha untuk saling memahami.

"Aku takut, Ve... Aku takut kalo aku bilang sama kamu yang sesungguhnya, gimana nanti persahabatan kita?"

Ve tertawa dalam tangisnya. "Ketakutan kamu nggak berdasar. Kamu lihat aku sama Gam, nggak ada yang berubah."

"Kenapa kamu membandingkan aku sama Gam sih? Kamu nggak paham gimana perasaan aku, Ve," tuturnya mulai terpancing emosi.

Pemudi yang ditanya tak merespon apa-apa. Ia terlihat sibuk dengan smartphone-nya.

Ri kembali bersuara, "aku nggak terima ya kamu bandingin diriku sama Gam. Meski kita sahabatan, tetep aja kita itu beda. Aku ya aku, Gam ya Gam. Nggak akan pernah sama, Ve."

Raungan Ri nampaknya menguap begitu saja tanpa ditanggapi. Sementara tak lama setelah itu, sebuah mobil sedan putih yang begitu familiar berhenti di depan mereka berdua. Sesuai dugaan, Ve pun segera berlari dan masuk ke dalamnya, meninggalkan Ri yang terlihat seperti pecundang bodoh.

"Fuck you, Gama Alfian."

*

Al menuruni anak tangga di fakultasnya, sendirian. Langkah kecilnya membawa ia ke sebuah gazebo yang nampak sepi. Al duduk di sana dan mulai berkutat dengan laptop miliknya, terlihat sangat serius. Setelah menyelesaikan magang, kini ia harus mulai bersiap untuk menghadapi KKN.

Tiba-tiba ia berdecak. "Kenapa ya kok aku harus sekelompok sama Gam, bosen banget ih."

"Emang kenapa kalo sama aku?"

Yang ditanyai terperanjat. Untung saja ia tidak latah.

Tangannya dengan enteng menampar lengan pemuda yang sudah duduk di sampingnya. "Ngagetin aja sih!"

"Jawab dong pertanyaan aku."

"Ya bosen aja, ketemu kamu terus dimana-mana. Penginnya kan kenalan sama orang baru gitu, biar dapet temen banyak," jawabnya.

"Enakan sama aku lah, ada yang bisa kamu repotin," goda Gam.

Al melebarkan matanya. "Oh, jadi aku ngerepotin ya selama ini? Ya udah, aku nggak mau repotin kamu lagi, tenang aja. Mendingan aku repotin A—"

Ia tak melanjutkan ucapannya dan malah menampar bibirnya sendiri. Merutuki diri dalam hati sebab hal-hal seperti ini sering sekali terjadi.

Gam nampak mengerti. "Ares?"

Yang lebih muda hanya diam, berpura-pura kembali fokus pada laptopnya. Jantungnya berdebar takut ketahuan.

"Hapus rasa cinta kamu buat Ares, Al."

Maka tidak mungkin bagi Al untuk diam saja kala telinganya menangkap sebuah kalimat yang sedikit mengejutkan jujur saja.

Al ingin bertanya namun ia urung, takut juga kalau-kalau pertanyaannya justru menjebak dirinya sendiri.

"Kelihatan jelas kok, Al. Aku yakin Ares juga sadar. Bahkan Ve dan Ri pun pasti tahu," tandasnya.

Pemudi itu akhirnya mendongak. "Nggak mungkin." Al menggelengkan kepalanya. Seketika wajahnya memucat.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Kalo Ares tahu perasaan aku, kenapa dia pacaran sama orang lain? Kenapa, Gam? Kenapa?" tanyanya menuntut jawaban.

"Kamu yakin kamu nggak tahu jawabannya?"

"Maksud kamu apa?" Hatinya bergejolak, perutnya mual.

Gam menatap matanya dalam-dalam. "Al, jawabannya simple. Dia emang cinta sama pacarnya. Sorry kalo ini nyakitin hati kamu, tapi kamu juga harus sadar. Laki-laki di dunia ini nggak cuma Ares."

Sejujurnya Al pun mengerti hal ini. Al paham apa alasan Ares berpacaran dengan Mora, tentu saja karena cinta. Namun, Al hanya berusaha menampiknya, ia hanya berusaha untuk tak percaya dan tak mengerti.

Kepingan hatinya yang sudah retak kini hancur berantakan.

Tanpa sadar, air mata mengalir deras dari kedua matanya. Tetapi, tatapannya kosong. Hal ini membuat Gam panik.

"Al, your feelings aren't wrong. It's okay. Nangis aja nggak apa-apa."

Cinta memang rumit. []

*

Basa-basi :
Udah keliatan kan
persahabatan mereka itu
kekuatannya seberapa? wkwkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

harmoni.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang